Ketiga sahabat yang berbahagia

1974 Kata
"Sayang, gimana Mama?" tanya Banyu yang langsung menghubungi Laura begitu pesawatnya mendarat. "Enggak apa-apa, Bang. Kata dokter Mama hanya perlu banyak istirahat dan makan makanan yang bergizi akan, tekanan darah Mama juga agak tinggi jadi harus diet garam," jelas Laura pada sang suami yang terlihat sangat mencemaskan keadaan orang tuanya. Miranda yang tergolek sakit hingga beberapa lama membuat dirinya merasa trauma, ia sangat takut jika terjadi hal buruk lagi pada kesehatan sang Mama. "Syukurlah kalau begitu, kalian masih di rumah sakit sekarang?" tanya Banyu lagi, sungguh jika rapat yang akan ia hadiri adalah rapat yang begitu penting tentu lelaki tampan berambut kecoklatan itu lebih memilih untuk berada di Jakarta dan mendampingi Miranda dan Laura di rumah sakit sekarang. "Iya, Bang. Aku lagi nungguin obat di apotek sekarang, Mama sama Mbak Tuti di ruang tunggu biar Mama lebih nyaman," jawab Laura sambil tersenyum meskipun ia tahu jika senyuman itu tidak akan bisa Banyu lihat. "Sayang, Abang titip Mama, ya, jagain Mama baik-baik," pinta Banyu, Laura malah merengut mendengar ucapan sang suami. "Abang, ngomongnya begitu seolah aku orang lain aja!" ujar Laura, Banyu yang di seberang sana bisa merasakan kekecewaan yang Laura rasakan. "Sayang, bukan begitu maksudnya. Abang cuma enggak enak aja enggak bisa ndampingin kalian, Annah enggak ada maksud kayak yang kamu pikirin, Sayang," ucap Banyu yang merasa bersalah karena ia yang salah berucap. "Iya, aku tau," jawab Laura, hati wanita itu sudah penuh terpenuhi rasa cintanya pada sang suami hingga tidak ada sedikitpun tempat untuk rasa lain menyelinap, kekecewaan yang tadi melintas sekejap telah berlalu. "Sayang, Abang mohon jangan ngambek, nanti Abang enggak konsentrasi kerja." Banyu terus saja membujuk sang istri meminta agar wanita istimewanya itu tidak lagi merajuk, Sella yang berjalan di sebelahnya seraya membawa tas kerja Banyu tersenyum mendengar setiap kata yang lelaki itu ucapkan pada istrinya. "Iya, Abang, aku enggak ngambek, Kok," jawab Laura, lagi-lagi dengan senyum manisnya walaupun senyum itu tetap tidak bisa memberi ketenangan pada hati Banyu yang tidak bisa melihatnya. "Beneran, 'kan, kamu enggak ngambek sama Abang?" tanya Banyu lagi, ia seperti anak kecil yang menuntut pada ibunya yang berjanji akan membelikan permen untuknya. "Iya, Abang, beneran. Udah dulu, ya, aku mau ambil obat Mama dulu," ujar Laura mengakhiri pembicaraan mereka. "Iya, Sayang, sekali lagi maaf, ya. Kamu doain biar kerjaan Abang lancar jadi Abang cepet pulang," pinta Banyu yang masih merasakan ganjalan dalam hatinya, ia memang seorang suami yang sangat peka, sedikit saja rengutan Laura maka akan terasa menjadi beban yang sangat berat baginya. "Iya, Abang, aku selalu doain Abang, kok. Kerjaan Abang pasti lancar, 'kan, Abang hebat," jawab Laura. "Terima kasih, i love you, Sayang," pungkas Banyu. "I love you too, Abang." Laly keduanya mengakhiri pembicaraan, Laura segera berdiri saat mendengar nama Miranda dipanggil oleh petugas apotek sedangkan Banyu melanjutkan perjalanan dengan mobil yang sudah biasa menjemputnya ketika di datang ke sana. Tanpa banyak bicara Sella memasuki mobil, wanita itu duduk di depan, sama sekali tidak mengambil kesempatan untuk duduk berdua dengan Banyu di belakang. * Dita Andriyani * "Banyu udah telpon, Sayang?" tanya Miranda pada Laura yang sedang menyuapinya di dalam kamar. "Udah tadi waktu di rumah sakit, kalau sekarang belum. Kayaknya Abang lagi meeting, belum selesai," jawab Laura ia tahu jika Banyu sudah selesai dengan pekerjaannya sang suami pasti akan terus meneleponnya. Laura kembali mengulurkan tangannya yang memegang sendok berisi nasi dan lauk pauknya, spontan Miranda membuka mulutnya, kedua wanita itu saling melempar senyum lalu terkejut saat mendengar suara Celine yang tiba-tiba berada di ambang pintu. "Tante, Tante sakit apa?" tanya Celine yang langsung meraih tangan Miranda dan menciumnya, gadis itu langsung menaiki ranjang Miranda di mana sang pemilik duduk bersandar dan Laura duduk di tepinya. "Mbak, kamu sakit? Kok enggak ngabarin aku, sih." Protes Rosa yang juga tiba-tiba muncul di ambang pintu seperti Celine tadi. Laura dan Miranda saling tatap lalu tersenyum bersama, satu pertanyaan Celine saja belum mereka jawab kini telah bertambah dengan pertanyaan Rosa yang kini mencium punggung tangan Miranda lalu mencium dan memeluk kakak semata wayangnya itu. "Kok kalian tau aku sakit?" tanya Miranda pada kedua wanita berbeda usia yang kini semuanya duduk di ranjangnya, seraya menatap khawatir padanya. "Aku dikasih tau Celine, makanya kami langsung ke sini. Mbak sakit apa? Tega banget enggak ngasih tau." Rosa memegang kening sang kakak yang masih terasa hangat. "Mbak enggak apa-apa, cuma masuk angin aja," jawab Miranda. "Angin itu kayak jin, ya, Tante," gerutu Celine membuat semuanya menatap padanya. "Kok kayak jin?" tanya Laura yang tidak mengerti dengan maksud sang sahabat yang kadang absurd itu. "Iya, suka masuk ke tubuh manusia," jawab Celine enteng, semua tertawa renyah mendengarnya. "Tekanan darah Mama naik, Tante, makanya harus diet garam," jawab Laura seraya kembali menyuapkan makanan pada sang Mama. "Iya, nih, makananku enggak ada rasanya," keluh Miranda pada sang adik yang tersenyum penuh pengertian padanya. "Di usia kita ini, memang sudah waktunya menjaga pola makan lebih baik dari sebelumnya Mbak. Yang penting kita harus selalu sehat, demi anak-anak," jawab Rosa, seraya mengelus punggung tangan Miranda sambil tersenyum manis. "Iya, apapun akan aku lakukan demi bisa terus menyaksikan kebahagiaan anak-anakku, Ros." Kedua kakak adik itu saling berpelukan. Laura dan Celine yang merasa haru juga kini saling merangkulkan tangan karena Laura yang masih memangku piring yang isinya sudah banyak berkurang. "Tapi ...." Laura dan Celine saling tatap sesaat setelah mengucapkan kata yang sama. "Kamu dulu!" Kini Miranda dan Rosa tertawa saat kembali kedua wanita cantik itu mengucapkan kata yang sama untuk kedua kalinya. "Yang tua dulu, deh," Rosa menengahi. "Kamu yang tua," ujar Laura mengingat Celine yang lahir beberapa bulan sebelum dirinya. "Mama bilang, usia Mama sama Tante Miranda cuma beda tiga tahun, tapi, jarak usia Bang Banyu sama Excel beda jauh?" tanya Celine, Laura juga tampak menunggu jawaban dari pertanyaan Celine. Miranda dan Rosa saling berpandangan sejenak sebelum Rosa mulai menjelaskan. "Mbak Mir, dulu nikah muda, kalau Mama enggak. Mama juga nunggu lama sebelum Tuhan kasih Mama Excel, makanya jarak usia Banyu dan Excel jauh." jawab Rosa, kedua wanita bersahabat itu menganggukkan kepala. "Kamu mau tanya apa tadi?" tanya Celine pada Laura. "Kamu kok tau Mama sakit, padahal aku belum sempet bilang-bilang," jawab Laura sebelum memakan wortel dari sayur sup yang ada di piring yang ia pangku. "Tadi aku ke kantor Bang Banyu, biasa, menjalankan tugas negara." Laura mengulum senyum mengingat tugas khusus yang ia berikan pada sang sahabat untuk sering-sering menengok Banyu di kantornya, "eh, ternyata Mbak Sella juga enggak ada, pas aku tanya OB katanya Mbak Sella ikut Bang Banyu ke Bali karena kamu enggak bisa ikut karena Tante Miranda sakit. "Celine telpon Tante, terus Tante jemput dia di restoran. Enggak apa-apa, 'kan, Ra, dia bolos kerja tanpa ijin dulu," tanya Rosa pada Laura yang tengah tersenyum mendengar penjelasan Celine. "Ya enggak apa-apa dong, Tante. Celine, 'kan, pegawai istimewa aku," jawab Laura sambil mencubit pipi sang sahabat. Semua perhatian beralih pada sebuah benda pipih yang tergeletak di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi, Laura segera mengambil ponselnya yang menyala. "Bang Banyu video call," ujar Laura sebelum menjawab panggilan. "Hallo Abang, kenapa udah kangen, ya, sama aku," ledek Laura pada sang suami yang langsung tersenyum lebar. "Iya, Sayang, sepertinya Abang memang terlahir untuk selalu merindukanmu," jawab Banyu. "Ehem ... ehem ... Nak, ada Tante juga lho di sini, jangan gombal-gombalan!" ucap Rosa, Miranda dan Celine tertawa kecil mendengarnya. "Eh, ada Tante Rosa. Mama gimana, Sayang?" tanya Banyu yang baru saja keluar dari ruang meeting lalu duduk di sebuah kursi di restorannya itu. "Mama udah lebih baik, Nak. Kamu jangan khawatir, ya," ucap Miranda agar sang putra tidak terus mencemaskannya saat Laura sudah menghadapkan kamera ke arah sang Mama. "Mama jaga kesehatan baik-baik, ya, minum obatnya, makan yang banyak, nurut sama Laura." Rentetan pesan Banyu membuat semua yang mendengarnya tersenyum. "Iya, Nak, ini juga Mama lagi makan disuapin Laura. Kamu udah makan?" tanya Miranda melihat Banyu yang duduk di restoran. "Belum, Ma, Banyu baru selesai rapat. Bentar lagi Banyu makan," jawab Banyu. "Sayang," panggil Banyu membuat Laura langsung memindahkan kamera ke kamera depan dan menampakkan gambar dirinya. "Iya, Bang," jawab Laura lembut, Rosa mengambil alih piring di pangkuan Laura dan menggantikan dirinya menyuapi Miranda. "Kamu udah makan, Sayang?" tanya Banyu yang merasa sudah sangat merindukan sang istri yang belum genap sehari ia tinggalkan dengan jarak yang lumayan jauh. "Belum, Bang, tadi aku nyuapin Mama dulu. Mbak Sella mana, Bang?" tanya Laura. "Sella tadi minta ijin ke pantai setelah rapat," jawab Banyu. "Kamu jangan lupa makan, dong, Sayang, Abang enggak mau kamu sakit." "Iya, Abang. Abang juga jaga kesehatan, ya. Dan ... jangan nakal!" tegas Laura. "Denger, Banyu? Kalau kamu nakal, Tante siap bantu Laura buat jewer kamu!" sambar Rosa membuat Banyu yang di seberang sana tertawa renyah. "Iya, Tante, Banyu enggak akan pernah nakal, kok!" jawab Banyu. "Ya udah, Sayang, sana kamu makan. Abang juga mau makan," pungkas Banyu. "Iya, bye Abang sayang." Laura melambaikan tangannya sebelum panggilan video terputus. "Udah sana, Laura sama Celine makan dulu, biar Tante yang suapin Mama," perintah Rosa pada kedua wanita yang duduk berdampingan itu. "Iya, Sayang. Kamu dari pagi belum makan, lho!" imbuh Miranda. "Iya, Ma." Kembali Laura dan Celine mengucapkan kata yang sama, sama seperti rasa bahagia yang ada dalam hati keduanya karena memiliki Mama mertua yang begitu menyayangi mereka. Sama seperti bahagia yang juga dirasakan sahabat mereka yang kini tinggal berjauhan dengan mereka, walaupun tinggal berjauhan tetapi keberuntungannya tidak jauh berbeda dari mereka berdua. "Sya, sini biar Abraar sama Mama. Mama, 'kan, jauh-jauh ke Surabaya karena kangen sama Abraar." Monika mengambil alih bayi gembul itu dari pangkuan sang Mama. "Jadi Mama kangennya sama Abraar doang, enggak sama Mamanya Abraar juga?" protes Meisya, pada sang mertua yang kini duduk di sebelahnya sambil menimang cucunya. "Ya kangen sama kamu juga, menantu Mama yang cantik dan baik hati ini." Monika mencubit gemas pipi Meisya yang lalu tertawa lebar itu. "Sana kamu makan dulu, Mama udah masakin kamu sayur katuk. Itu bagus, lho buat memperbanyak produksi ASI," sambung Monika. "Oh, jadi Mama kangennya cuma sama cucu dan menantu aja, enggak kangen sama anak?" Kini protes terdengar dari lelaki tampan yang baru menuruni anak tangga. Monika dan Meisya tertawa bersama mendengar Samuel menggerutu. "Ya enggak mungkin, dong, Mama kangen sama anak Mama. Mama ke sini karena kangen sama kalian semua, Papa juga padahal tadinya pengen ikut, tapi Mama disuruh nunggu seminggu lagi. Ya, Mama enggak mau, dong. Orang Mama udah kangen," ujar Monika, Meisya dan Samuel memeluk wanita itu bersama. "Udah, ah, sana. Mama mau berduaan sama cucu Mama!" protes Monika yang mendapat dekapan dari kanan dan kirinya, Abraar yang merasa tidak betah pun menggeliatkan tubuhnya. Meisya dan Samuel tertawa kecil lalu meninggalkan ruang tengah di mana Monika duduk memangku Abraar. "Sayang, ambil nasinya sepiring aja biar romantis," ujar Samuel begitu mereka sampai di ruang makan. "Romantis enggak perlu gitu juga kali, Kak. Nanti aku kurang kenyang kalau makannya barengan," jawab Meisya, Samuel tertawa mendengarnya. Ia mengerti jika sejak menyusui nafsu makan sang istri menjadi berlipat. "Ya udah kalau gitu biar romantis gini aja." Samuel memegang pinggang ramping sang istri lalu mendudukkannya di atas pangkuannya, lalu mengambil sendok untuk menyuapinya. "Kak, nanti Mama liat, aku malu," protes Meisya. "Kenapa harus malu? Seluruh dunia harus tau, Sayang kalau kita itu pasangan yang paling romantis," jawab Samuel yang sedang menyendok nasi dan menyodorkannya pada Meisya yang merangkulkan kedua tangannya di leher sang suami. "Kita enggak perlu membuktikan apa-apa, Kak. Seluruh dunia dan seisinya juga udah tau kalau kita suami istri," jawab Meisya di sela kunyahannya. "Iya, seluruh dunia dan seisinya pasti bisa merasakan cintaku padamu, tapi aku tetap harus membuktikan kalau aku suami paling menyayangi istrinya. Aku akan membuktikan kalau aku akan menjadi pengabdi cinta, untuk istriku yang cantik ini." Meisya mengulum senyum mendengar luahan perasaan cinta yang tidak pernah berhenti Samuel ungkapkan padanya. "Dan seluruh dunia beserta isinya juga harus tau kalau aku adalah istri paling beruntung karena memiliki suami seperti Kak Sam," jawab Meisya. Mereka menyatukan kening menikmati derasnya aliran cinta dalam hati keduanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN