Kegalauan Excel

1617 Kata
Dengan senyum manisnya Banyu menyambut sang istri yang baru pulang setelah sore menjelang, lelaki itu membukakan pintu mobil Laura begitu wanita cantik itu menghentikan mobilnya di dalam garasi, tepat si sebelah mobil Banyu yang telah dingin mesinnya karena lelaki itu sudah pulang dari kantor sejak siang. Sepulang meeting di gedung stasiun televisi tadi Banyu langsung memutuskan untuk pulang karena memang sudah tidak ada pekerjaan yang harus ia kerjakan. "Abang udah pulang dari tadi?" tanya Laura begitu melihat Banyu sudah memakai pakaian santainya, sebuah celana pendek dengan kaus berkerah berwarna hitam yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih, Laura langsung masuk ke dalam pelukan Banyu membiarkan sang suami mengecupi kedua pipi dan keningnya. "Udah, tadi abis meeting langsung pulang," jawab Banyu setelah menghentikan ciumannya di wajah sang istri yang terlihat lebih penuh make up setelah acara pemotretan bersama Abraar dan kedua sahabatnya. "Abang pulang dari tadi, kok, enggak telpon aku? 'Kan, aku bisa pulang," tanya Laura seraya mengikuti langkah sang suami menuju rumah tengah yang terhubung langsung dengan garasi melalui pintu samping, Banyu tetap merangkul tubuh mungil sang istri dari samping. "Enggak, Abang pengen kamu menikmati waktu kamu sama teman-teman kamu. Meisya juga udah mau balik ke Surabaya, 'kan," jawab Banyu yang memang selalu pengertian pada sang istri. "Ih, Abang keterlaluan, deh!" sungut Laura, membuat Banyu mengerutkan kening begitu juga dengan Miranda yang tengah membaca majalah di ruang tengah wanita itu bahkan sampai langsung meletakkan majalahnya di atas meja. "Keterlaluan kenapa Abang, Sayang?" tanya Banyu, hanya berjarak sepersekian detik dengan pertanyaan Miranda. "Banyu, kamu apain istri kamu?" "Enggak apa-apa, Ma, Banyu juga lagi tanya, perasaan Banyu enggak berbuat salah," jawab Banyu seraya menatap Laura yang tampak mengulum senyum. "Abang itu, keterlaluan baiknya. Terima kasih, ya, udah jadi suami yang super ... super ... super baik dan pengertian buat aku!" jawab Laura, Miranda hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala lalu kembali mengambil majalahnya. "Sayang, Abang sampe takut. Abang pikir kamu ngambek sama Abang karena enggak telpon kamu." Banyu mencubit gemas pipi Laura hingga kulit putihnya sedikit memerah. "Ih, Abang. Sakit!" gerutu Laura yang membuat Banyu tersenyum lebar. "Mama ... Abang, nih, pipi aku dicubit!" Laura berjalan sambil menghentakkan kakinya mendekati Miranda yang tampak tidak memperdulikan, ia sengaja berpura-pura cuek untuk menggoda menantunya itu. "Mama, kok, Mama diem aja! Mama kenapa?" tanya Laura seraya menggoyangkan lengan Miranda yang sedang memegang majalah begitu ia duduk di sebelahnya. "Mama juga ngambek, abis kamu tadi bikin Mama khawatir. Mama pikir kalian lagi berantem, 'kan, Mama sedih kalau kalian berantem," jawab Miranda yang tetap fokus pada majalahnya. "Ih, Mama maafin Laura, tadi, 'kan Laura cuma bercanda." Tiba-tiba mata Laura berkaca-kaca, melihatnya Miranda malah tertawa lalu memeluk Laura dengan hangat. "Mama juga bercanda, kamu jangan nangis dong, Sayang." Banyu hanya tersenyum melihat mereka. "Mana pipi yang dicubit Abang?" tanya Miranda yang lalu melepaskan pelukannya dan menatap wajah Laura. "Ini," jawab Laura seraya mengelus pipinya. "Oh, ini. Ini memang pantes dicubit, abis ngegemesin banget, sih!" Miranda malah mencubit pelan pipi itu, Laura malah tertawa lalu kembali memeluk tubuh Miranda. Bagi Miranda, Laura bukan hanya seorang menantu tetapi ia adalah seorang anak perempuan yang begitu ia rindukan kehadiran sejak dahulu. Keduanya terkejut saat tiba-tiba Banyu duduk di samping Laura dan memeluk kedua wanita itu, lalu bergantian mencium pipi keduanya. "Abang, ih, ikut-ikutan aja!" gerutu Laura seraya menggeliatkan tubuhnya agar Banyu mau melepaskannya. "Ya Abang pengen peluk juga, Sayang," jawab Banyu. "Enggak usah, aku lagi pengen peluk Mama aku," jawab Laura manja, tanpa melepaskan pelukannya pada Miranda. "Ya udah, Abang peluk bantal aja deh kalau gitu!" gumam Banyu seraya mengambil bantal sofa dan memeluknya. Lelaki itu dan sang Mama berpandangan lalu saling melempar senyum bahagia, adanya Laura benar-benar telah melengkapi hidup mereka sehingga ketidak sempurnaan karena belum adanya seorang momongan tidak pernah mereka rasakan. Banyu mengelus kepala Laura yang berada dalam dekapan Miranda, dengan rasa syukur yang terucap dalam hati karena ia bisa memiliki wanita itu dalam hidupnya. * Dita Andriyani * "Abang!" pekik Laura karena terkejut saat sang suami tiba-tiba membopong tubuhnya dari belakang saat ia baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan bathrobe berwarna putih dan handuk yang melilit kepalanya, setahu wanita itu sang suami masih di bawah berbincang-bincang ringan dengan Miranda saat ia berpamitan untuk mandi tadi tetapi kini saat Laura selesai mandi Banyu mengejutkannya seperti itu. Banyu tertawa renyah tanpa menurunkan Laura dari bopongannya tangan kekar itu melingkar di bawah d**a sang istri dan membawa tubuh langsing itu ke ranjang, masih dengan tawa cerianya Banyu membaringkan tubuh kekarnya di atas ranjang empuknya hingga tubuh Laura menindihnya. "Abang, iseng banget, sih. Kalau aku kena serangan jantung gimana?" tanya Laura dengan tersungut-sungut. "Tapi buktinya enggak, 'kan!" jawab Banyu masih dengan tawanya. "Ya enggak, tapi aku kaget!" Laura membalikkan tubuhnya hingga kini ia tengkurap di samping sang suami. "Kalau begitu sekarang Abang mau bikin kamu kena serangan yang bikin jantung berdebar-debar beneran!" ujar Banyu seraya menarik handuk yang melilit kepala Laura dan melemparkannya asal membuat rambut basah wanita itu menguarkan aroma segar dan wangi yang semakin membuat Banyu bergelora untuk mencumbunya. "Abang, aku baru aja selesai mandi!" protes Laura, walaupun dengan hati yang merasa senang tentunya. "Nanti mandi lagi, kalau males Abang mandiin kayak biasanya!" jawab Banyu sebelum menyatukan bibir mereka, tanpa banyak memprotes lagi kini Laura dengan senang hati menyeimbangi setiap gerakan bibir Banyu yang menggerilya di bibirnya. Merasa posisi mereka kurang membuat penyatuan bibir mereka mendalam dengan cepat Banyu membalikkan tubuh sang istri dan tubuhnya sendiri lalu kembali kembali melanjutkan ciumannya, bahkan dengan terampil tangan kekar Banyu membuat bathrobe yang Laura kenakan kini tidak lagi berada di tempat semestinya begitu pun dengan apa yang ia kenakan. Mereka menikmati keindahan yang tercipta oleh dasar cinta yang tidak pernah berhenti membara, seolah sungai dengan aliran madu yang tidak akan pernah puas mereka teguk setiap saat penyatuan mereka justru bagai air laut yang semakin diminum akan membuat dahaga kian menyiksa. . "Banyu ... ada Excel!" pekikan Miranda dari ujung tangga terdengar hingga kamar Banyu, membuat sepasang suami istri itu langsung menghentikan kegiatannya. Padahal Banyu dan Laura baru saja berencana kembali mandi bersama usai kegiatan yang menyita tenaga dan membuat peluh bercucuran beberapa saat yang lalu. "Ngapain, sih, itu anak ganggu aja!" gerutu Banyu sebelum mencium bahu terbuka sang istri yang duduk bersandar pada kepala ranjang bersamanya. Laura hanya tertawa kecil lalu menyingkap selimut yang menutupi tubuh polos mereka lalu beringsut menuruni ranjang, mengambil bathrobe-nya dan mengenakannya kembali. "Sana buruan turun, siapa tau ada yang penting!" perintah Laura yang berjalan mendekati lemari untuk mengambil pakaiannya. "Alah, dia, 'kan, emang hobinya gangguin kita." Banyu kembali menggerutu sambil mengenakan pakaiannya, Laura tertawa kecil tanpa menimpali perkataan sang suami yang lalu berjalan meninggalkan kamar. . Laura bergabung dengan Banyu dan Excel yang tampak sedang berbincang serius di ruang tengah, Miranda tampak sedang menyiapkan meja makan untuk makan malam mereka. "Aku boleh gabung? Kalau enggak aku bantuin Mama aja!" Excel hanya menatapnya dengan tatapan datar. "Sini, Sayang. Siapa tau kamu bisa bantu ngilangin kegalauannya Excel," ujar Banyu seraya mengulurkan tangan pada sang istri yang menyambutnya mesra laku duduk di sebelahnya berhadapan dengan Excel yang terlihat berwajah kusut. "Ini, nih. Semua, tuh, karena kalian yang selalu pamer kemesraan di depan Celine!" gerutu Excel, membuat Laura mengerutkan keningnya sedangkan Banyu malah tertawa renyah. "Kalian lagi ngomongin apa, sih?" tanya Laura. "Kita itu enggak pernah pamer apapun, Cel! Ini cuma karena aura cinta kami yang begitu besar jadi siapa pun yang ngeliatnya pasti bakalan ngerasa kami mesra-mesraan padahal enggak, kami emang mesra dengan sendirinya," jawab Banyu seraya menahan mengulum senyumnya. Laura menatap Banyu dan Excel bergantian, ia masih tidak mengerti dengan apa yang ia dengar. "Abang, ngomongin apa, sih?" tanya Laura seraya mencubit kecil pinggang Banyu. "Ini loh, Sayang. Excel lagi pusing karena Celine minta dinikahin, eh dia malah nyalahin kita. Katanya suka pamer kemesraan di depan Celine makanya Celine pengen cepet-cepet nikah!" jawab Banyu. Excel memelototi sang kakak sepupu, "Enggak usah kenceng-kenceng ngomongnya, Bang. Nanti Budhe Mir denger!" bisik Excel, Banyu malah tertawa. "Emang iya? Enggak, ah!" jawab Laura santai. "Enggak apa? Enggak suka pamer kayak kata suami kamu?" tanya Excel sewot. "Enggak bukan itu, menurut aku Celine enggak kayak gitu. Dia enggak ngebet pengen nikah," sahut Laura, Banyu diam mendengarkan sang istri berbicara. "Ya enggak pernah ngomong langsung, sih, Ra. Tapi dari gelagat dan bicaranya itu lho!" ujar Excel sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Ya, kalau kamu ngerasanya gitu, ya udah, sih, nikah aja!" celetuk Laura, mendengarnya Excel kembali mencondongkan tubuhnya ke depan sambil kembali membulatkan mata. "Kalian, nih, suami istri sama aja, ya. Enggak ada pengertian sama sekali sama aku!" gerutu Excel. "Pengertian yang gimana? Kamu sendiri yang curhat kayak gitu, giliran dikasih solusi malah protes!" jawab Laura, Banyu hanya mengangguk sambil mengulum senyum. "Aku belum kerja, Ra. Kuliah aja baru mulai, keadaanku sama Bang Banyu atau Kak Samuel itu beda." Excel menghela napas, Laura mengerti apa yang Excel maksudkan. "Ya kalau gitu, kamu enggak usah terlalu baper, santai aja. Toh Celine juga bilang sama aku kalau dia belum pengen nikah, masih pengen kerja sambil nungguin kamu," ujar Laura kemudian. "Iya itu, 'kan, yang dia bilang tapi yang aku rasain itu beda." Laura menatap sang suami yang sedari tadi hanya diam. "Abang tau, nih. Kayaknya ini, tuh, karena kamu yang takut Celine dideketin chef Adit, 'kan!" tebak Banyu, Excel hanya menggaruk tengkuknya dan hal itu membuat Banyu semakin terbahak. "Astaga, Excel! Jadi kamu belum yakin sama Celine? Dia enggak mungkin kayak gitu, Cel!" omel Laura yang begitu yakin pada perasaan cinta Celine yang begitu kuat pada pemuda yang duduk di hadapannya itu. "Ya bukan begitu juga, Ra. Aku percaya sama Celine sepenuhnya, tapi aku juga enggak PD secara chef Adit lebih mapan dari aku," gumam Excel, Banyu hanya menggeleng heran pada sepupunya itu. "Bang! jangan ketawa aja, dong! Aku harus gimana?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN