Aku Masih Naif Kala Itu

1372 Kata
Untuk Geno yang sedang hilang ditelan bumi. Tahukah kau jika aku di sini benar-benar sedang menunggumu? Aku yakin kau sebenarnya tahu, karena aku sempat membuat tulisan singkat mengenai kerinduanku terhadap sosokmu di status aplikasi pesan singkat yang biasa kita pakai untuk berkomunikasi. Bahkan kau juga ikut membaca tulisan itu, namun kenapa tidak ada balasan darimu? Sebosan itukah terhadapku? Apakah aku semenyebalkan itu? Sebenarnya, waktu yang aku habiskan tanpamu tidaklah panjang jika dilihat lagi, hanya beberapa hari kurasa. Mungkin menurutmu aku berlebihan? Menuliskan kalimat rindu yang tak tertahankan seakan menghabiskan waktu seumur hidup menunggu kabar darimu. Ya, Geno, aku memang seorang gadis muda yang labil, yang baru mengenal apa itu cinta dan apa itu lelaki. Aku cenderung berlebihan dalam mengekspresikan perasaanku di dalam tulisan. Kenapa aku melakukan ini? Karena ketika di dunia nyata, aku merasa tertekan. Tidak, tidak ada orang di sekitar yang menekanku untuk melakukan apa yang mereka minta, aku hanya tidak bisa menyalurkan ekspresi secara di depan umum, di mana aku hanya bisa diam dan mengikuti alur saat di depan semua orang. Maka saat aku bertemu denganmu yang menyambut dengan tangan terbuka semua tingkah konyol yang aku lakukan, ada cahaya surga yang aku rasakan menyinari hatiku. Berlebihan? Iya, aku sadar akan hal itu, tapi aku juga menikmati sisi berlebihan yang aku tunjukkan kepadamu. Selama ini pun, tidak pernah ada masalah berarti antara kau dan aku berkenaan dengan sikap berlebihanku ini, kau selalu menerima dna tertawa terhadap lelucon yang menurut banyak orang berlebihan ini. Tapi sekarang, kau ke mana? Tujuh hari sudah kau menghilang dari peradaban, rasa rindu terhadapmu semakin tak tertahankan. Aku sudah tidak sanggup berharap padamu lagi, egoku pun terlalu tinggi untuk menghubungimu terlebih dahulu. Aku hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu, entah sampai kapan aku mampu menanti hadirmu, Geno. Aku hanya bisa berharap dan berdoa kepada Tuhan agar kau kembali lagi. Kau tahu? Aku bukanlah orang yang religius, tetapi aku akan menahan malu untuk berdoa agar kau kembali hadir di hadapanku, meski hanya melalui sambungan telepon. Bahkan saat ini pun, aku masih belum mengetahui bagaimana parasmu kecuali melalui foto yang kau pasang di media sosial. Bukannya aku tidak percaya padamu, aku hanya sadar jika foto yang terpasang di media sosial selalu penuh dengan tipu daya. Aku pun melakukan hal itu, Geno. Maka dari itu, aku belum benar-benar siap ketika kau ingin melakukan panggilan video denganku, aku hanya tidak ingin kau terkejut karena melihatku yang tidak sesuai dengan ekspektasi yang kau sematkan padaku. Tiga hari tanpa terasa kembali bergulir, genap sudah sepuluh hari kau menghindariku. Entah apa yang terjadi denganmu di belakangku, tapi aku sadar jika kekhawatiranku hanya sebatas rasa khawatir karena tidak berani melawan gengsi mengawali mengirimkan pesan kepadamu. Rasa khawatir tidak akan bisa terjawab jika tidak ada komunikasi di antara kita, maka dari itu, tolong kirimkan pesan kepadaku, Geno. Geno, kau pasti juga sadar, jika surat ini benar-benar sampai kepadamu, maka usia kita sudah bukan seorang remaja tanggung seperti saat kita baru kenal dahulu. Mungkin jika kau membaca surat ini, reaksimu sama sepertiku yang menertawai kepolosan dan kenaifan kita di masa lalu. Aku pun demikian, merasa dengan bodohnya bisa bersikap berlebihan terhadap perasaan rindu kepada sosok "teman" yang hanya memberikan kabar dan bercerita tentang kehidupan sehari-harinya, tidak lebih. Mungkin dahulu aku tidak sadar. Tapi saat dewasa ini aku menyadari hal itu, rasanya aku ingin kembali ke masa lalu dan menampar diriku sendiri di masa itu dengan kencang agar diriku sadar betapa menjijikkan dan menggelikan jalan pikiranku kala itu. Tapi bagaimanapun, aku ingin menyampaikan kepadamu tentang apa yang aku rasakan kala itu, sehingga aku menyesuaikan isi kepalaku dengan masa itu saat seluruh otakku hanya berisi tentang kamu, kamu, kamu, dan kamu. Suatu siang, tiba-tiba tanganku gemetar hebat saat melihat layar ponsel. Air mataku bahkan tanpa sadar mengalir, membasahi pipi hingga bantal yang menyangga kepalaku. Aku menangis, bukan karena bersedih. Aku menangis, karena tiba-tiba kau muncul kembali di kehidupanku setelah sepuluh hari menghilang tanpa jejak. Padahal, aku sudah mulai membangun dinding batu agar menjadi kuat saat kau tidak lagi ada di ujung sana menemaniku. Tapi hanya butuh satu kata "hai" darimu, seluruh pertahananku seketika runtuh. Aku tidak mampu lagi menahan kerinduan yang ada di dalam hatiku. Bahkan aku harus mengambil waktu beberapa saat karena tanganku bergetar saat mengetik balasan terhadapmu. Aku tidak sanggup, orang yang paling aku tunggu hadir kembali mengisi hari-hariku. Kau tahu, Geno? Saat kau kembali muncul di kehidupanku, saat itu aku ingin marah. Marah karena ingin melampiaskan semua kerinduan yang aku rasakan selama kau menghilang. Konyol bukan? Jika saat itu aku meluapkan segalanya, kau bisa dengan mudah membalikkan kalimatku dengan pertanyaan "kau siapa?" Tapi tidak, otak pendekku kala itu masih bisa sedikit berpikir jernih. Sedikit? Iya, sangat sedikit, karena sebagian besar otakku dikuasai oleh ego. Sesadar itu aku saat itu, sebesar itu aku memikirkan perasaanmu kala itu. Padahal, kau siapa? Kau bukan siapa-siapa, Geno, tapi pikiranku sudah menempatkanmu sebagai prioritas. Ketika kau bertanya tentang kabarku saat itu, kala itulah tanganku mulai berhenti gemetar dan bisa membalas pesanku. Karena tidak ingin menyakiti perasaanmu, aku hanya menjawab pertanyaanmu dengan kata-kata indah untuk menyenangkan hatimu, tidak bertanya macam-macam tentang alasanmu menghilang selama ini. Tapi saat itu kau begitu baik kepadaku, kau menceritakan semua yang terjadi selama tidak bersamaku beberapa saat terakhir tanpa kuminta. Betapa sedih aku mendengar cerita darimu, karena rupanya kau sedang mengalami hal yang menyedihkan di belakangku. Kau mengalami tragedi tidak menyenangkan di rumah dan merusak suasana hatimu beberapa waktu ke belakang. Aku ingat, kau pernah bercerita kepadamu jika Ayahmu bukanlah sosok Ayah impian, meski Beliau adalah salah satu guru favorit di sekolah. Kau bercerita saat itu, jika Ayahmu mengatakan hal yang tidak menyenangkan terhadap kegemaranmu bermain musik. Ya, kau tidak mendapatkan dukungan dari Ayahmu, beliau cenderung menentang hobimu karena dianggap tidak memiliki masa depan yang bagus. Saat kau bercerita tentang hal itu kepada Ibundamu, Beliau seakan tidak peduli dan lebih mementingkan pagelaran busana yang akan diadakan tidak lama lagi. Hati yang terpuruk jatuh ke dalam lubang kesedihan semakin dalam, membuatmu tidak sanggup menghubungiku karena tidak ingin menambah beban pikiranku. Air mataku mengalir semakin deras saat mendengar kisah sedih yang dengan jantan dan berani kau utarakan padaku. Butuh keberanian yang luar biasa untuk menceritakan keretakan yang ada di rumahmu, di mana seorang Ayah otoriter bersanding dengan Ibu yang terlampau tak acuh dengan kondisi anak semata wayangnya. Kau melanjutkan kisah dengan bercerita tentang apa yang kau lakukan saat berada di tengah keterpurukan. Kau sampai menghancurkan gitar kesayangan yang menemanimu belajar musik yang bahkan beberapa kali kau lantunkan untukku. Gitar itu, menjadi saksi betapa kerasnya kau berlatih memainkan musik, hingga sanggup membawakan lagu-lagu indah dengan suara yang merdu. Jika ada orang yang meragukan kemampuan bernyanyi dan bermain musikmu, bahkan meragukan masa depanmu sebagai pemusik, maka aku akan menjadi orang yang maju paling depan untuk memberikan pengertian jika kau adalah salah satu pemain musik dan penyanyi terbaik yang pernah aku kenal. Aku akan menentang mereka dan bersuara paling keras membelamu. Mendengar cerita darimu, menyadarkanku atas sesuatu. Kegundahanku selama ini memang benar, kau mengalami hari buruk yang belum ingin kau bagikan kepadaku. Kisah burukmu juga menyadarkanku, jika apa yang aku alami di sini hanya sebuah cerita receh penuh ego, di mana aku hanya berdiam diri menunggu kabar darimu sementara kau di sana sedang berjuang sendirian menahan perih dan sedih yang bahkan membuatmu menghancurkan barang berharga yang selama ini kau jaga. Saat itu, aku masih benar-benar naif. Jika aku yang sekarang mengalami hal serupa denganku di masa lalu, maka saat itu juga aku akan segera menjauhimu karena sadar jika apa yang kau lakukan untuk meluapkan kemarahan merupakan hal yang buruk. Aku bersungguh-sungguh ketika berkata akan menjauhimu, karena jika gitar yang kau anggap sangat berharga mampu kau hancurkan, bagaimana denganku yang akan menjadi seterusnya bagimu? Bisa saja, aku akan menjadi samsak hidup bagi kemarahanmu uang meluap-luap. Tapi saat itu aku masih naif, sangat naif. Daripada waspada akan kemungkinan kau menjadi pribadi yang keras dan kasar, aku lebih melihat kejantanan yang kau tunjukkan karena ledakan emosi yang terkesan maskulin itu. Kala itu, aku masih buta. Kala itu, aku masih tuli. Jika aku membuka mata dan telinga saat itu, maka hal-hal buruk yang terjadi selanjutnya tidak akan hadir dalam hidupku dan aku masih akan menjadi sosok Nanda yang ceria dan polos, seperti bagaimana sosokku saat kau pertama mengenalnya. Tapi tidak, Geno, aku masih naif kala itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN