Apakah Aku Tidak Peduli?

1095 Kata
Hai, Geno, mulai saat ini mungkin aku akan menceritakan sesuatu yang lebih menyiksa lagi bagiku, karena kau seakan tidak peduli dengan apa yang aku rasakan di belakangmu. Kau mungkin tidak tahu, karena saat itu aku tidak menceritakan apa yang terjadi denganku ketika tidak bersamamu. Saat itu, aku berpikir bahwa ceritaku akan menjadi beban untukmu, makanya aku tetap menyimpan apa yang aku rasakan untukku sendiri. Aku akan mengatakan kepadamu tentang apa yang terjadi sepulang dari aku mengunjungi tempat kost yang kau tinggali. Kau pasti tidak tahu, saat aku pulang, Ayahku sudah menunggu di teras dengan wajah merah padam karena aku kembali dari tempat kerja saat hari telah gelap. Ayahku marah, Beliau membentakku sesaat sebelum aku masuk rumah. Ayahku berkata bahwa aku tidak akan menjadi "orang" jika terus bertingkah seperti ini. Keluar rumah tidak tahu waktu, bahkan tidak izin kepada orang tua. Tentu saja hal itu membuat Ayah dan Ibu khawatir. Saat itu, pikiranku masih picik. Bukannya sadar diri, aku justru marah kepada Ayah karena aku menganggap Beliau tidak paham dengan apa yang aku rasakan di luar. Sakit, telingaku sakit mendengar betapa kerasnya Ayahku berteriak kepadaku. Seketika itu aku langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Tidak lama kemudian, Ayahku menggedor pintu kamar, memintaku untuk keluar namun dengan nada kasar. Bodohnya aku saat itu, aku justru terdiam sambil menunduk di atas tempat tidur, tidak peduli jika Ayahku sedang khawatir di luar kamarku. Beberapa saat setelah itu, Ibuku datang entah dari mana, menegur Ayahku karena Beliau bersuara keras. Ibuku khawatir, suara Ayahku akan mengganggu tetangga dan menyebabkan kabar tidak menyenangkan yang akan berhembus di kalangan para warga. Sayangnya, usaha Ibuku untuk menenangkan Ayah gagal, Ayah menjelaskan kepada Ibu jika aku baru pulang kerja, padahal jam kerja seharusnya sudah berakhir sekitar pukul dua siang tadi. Ibuku terkejut, karena sejak siang Beliau tidak ada di rumah. Ibu mengira aku sudah pulang sejak tadi. Setelah itu, Ibu ikut mengetuk pintu kamarku dengan lembut, lalu bertanya apakah aku sudah makan atau belum. Aku tidak menjawab pertanyaan itu, aku hanya tertunduk dengan melipat tanganku ke depan, dengan bantal yang aku tumpukan di depan badan. Sedih, marah, kecewa, aku rasakan saat itu. Aku berpikir, kedua orang tuaku tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan. Di dalam benak terdalamku, mereka berdua salah. Aku merasa tidak memiliki hak untuk punya urusan lain yang tidak boleh diketahui oleh Ayah dan Ibu. Aku berpikir, aku seharusnya memiliki privasi di depan mereka, tidak selamanya hidupku harus terus menerus diatur, karena aku bukan anak kecil lagi. Orang tuaku terus saja mengetuk pintu kamarku, Ayahku masih terdengar marah, ia bahkan berkali-kali mengutukku. Ibuku terus saja berusaha menenangkan Ayah, namun emosinya tampak tidak bisa diredam begitu saja. Beban mereka juga ditambah dengan sikap egois yang aku tunjukkan di depan mereka, dengan tidak patuh dan membangkang. Aku bahkan sebelumnya belum pernah melakukan sesuatu yang membuat Ayah dan Ibu khawatir seperti sekarang, kau lah orang yang berhasil membuatku berlari melewati batas yang selama ini sudah diatur oleh Ayah dan Ibuku. Penyesalan selalu saja datang terlambat, di masa sekarang baru aku tahu jika Ayah dan Ibu bersikap seperti itu karena mereka khawatir, anak gadis mereka belum pulang saat matahari sudah mulai tenggelam. Berbeda halnya jika aku memang bertugas jaga malam di apotek, orang tuaku tidak akan khawatir karena sudah jelas di mana aku berada saat itu. Berbeda dengan ketika aku mengunjungi rumah kost tempatmu tinggal, aku datang ke sana tanpa izin ke orang tua, sehingga wajar jika mereka marah dan khawatir. Setelah aku menangis dengan puas, baru aku mencari ponsel yang aku taruh di dalam tas. Aku berniat ingin menghilang sejenak darimu hingga suasana hatiku menjadi sedikit lebih baik, karena tidak ingin menambah beban masalahmu, sebab pikiranmu sudah penuh dengan masalah yang kau bawa dari rumahmu. Setelah membuka ponsel, aku baru sadar, rupanya ada banyak sekali pesan yang kau kirim kepadaku. Beberapa kali juga kau berusaha menelponku, namun aku tidak sempat mengangkatnya. Badanku bergetar melihat betapa banyaknya pesan yang tampil di layar ponselku, aku merasa bersalah karena membuatmu khawatir. Aku menarik nafas panjang beberapa kali sambil tetap menatap layar ponsel, tidak ingin membuatmu tahu jika aku baru saja menangis di sini. Aku mengipas wajahku menggunakan telapak tangan, aku tahu sebenarnya apa yang aku lakukan tidak ada gunanya, tapi entah kenapa aku tetap melakukannya. Aku menelponmu dengan gemetar, aku takut terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan kepadamu, karena bagaimanapun aku meninggalkanmu dengan kondisi yang masih belum sembuh. Kalimat pertama yang kau ucapkan padaku adalah pertanyaan kenapa aku tidak segera menghubungimu begitu tiba di rumah. Bukannya bertanya bagaimana keadaanku, apakah aku sampai di rumah dengan selamat, atau kalimat-kalimat lain yang menenangkanku selayaknya seorang kekasih, kau justru menambah beban yang ada di kepalaku, padahal aku belum sempat membuka mulut untuk bercerita. Kau berkata kepadaku jika dari tempatmu tinggal saat itu hingga ke rumahku hanya membutuhkan waktu setengah jam, namun setelah satu jam lebih aku baru menghubungimu. Kau berkata, seharusnya aku bisa menyempatkan diri untuk menghubungimu, karena aku sayang padamu. Mendengar perkataan itu membuatku berpikir saat itu, apa yang kau katakan memang benar. Seharusnya aku menyempatkan diri untuk memberikan kabar, karena tidak membutuhkan waktu lama untuk sekadar mengetik jika aku sudah tiba di rumah. Entah setan apa yang merasukiku, seharusnya aku tahu jika apa yang kau lakukan sudah termasuk satu bentuk pengekangan. Sebagai sepasang kekasih, seharusnya kita mengutamakan kenyamanan kedua belah pihak, bukan hanya menuruti satu sisi sedangkan sisi lain merasa tersiksa. Bahkan saat itu aku terpaksa meminta maaf kepadamu, tidak menceritakan apa yang aku alami di rumah karena aku pikir ceritaku akan menambah beban yang ada di dalam kepalamu. Aku memilih bungkam, karena ada rasa takut jika kau akan marah kepadaku. Berkali-kali aku meminta maaf kepadaku melalui sambungan telepon, namun kau tidak menganggap omonganku dan terus saja marah. Kau mengomel padaku, berkata jika aku sebenarnya tidak sayang padamu. Kau menyamakanku dengan wanita yang meninggalkanmu dulu, kau bilang aku dan dia sama-sama tidak ada yang peduli padamu. Ada rasa sakit hati yang timbul, aku tidak suka jika harus dibandingkan dengan orang lain, apalagi orang itu adalah masa lalu dari kekasihku sendiri. Air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi, beban yang aku rasakan sejak pulang ke rumah ditambah dengan kau yang marah, membuatku menangis tersedu-sedu. Sayangnya, kau sama sekali tidak merasa kasihan kepadaku. Kau terus saja marah, terus saja mengomel, padahal di ujung sana kau harusnya dapat mendengar dengan jelas suara sesenggukan dariku. Kau bahkan berani membentakku, berulang kali berkata jika aku tidak peduli kepadamu padahal kau sedang sakit di sana. Kau bilang, sakit yang kau derita di sana menjadi semakin parah karena sikapku. Entah apa yang kau pikirkan saat mengatakan itu, aku pun tidak paham dengan jalan pikiranmu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN