Badanku Panas

1200 Kata
Geno, kau di mana? Kenapa saat aku datang kau malah tidak ada di sana? Padahal, kau yang memintaku datang. Kau yang memaksaku datang, kau yang bahkan memblokir nomorku sebagai ancaman jika aku tidak datang. Tapi kenyataannya, tetap saja kau tidak menemuiku. Hujan di kala senja yang menemaniku pulang dari rumah kosmu kembali ke kotaku. Air yang menghujam wajahku berkali-kali, mampu menyamarkan air mata yang mengalir deras. Aku menyembunyikan kesedihan di balik derasnya air yang turun dari langit senja ini. Aku menyembunyikan teriakan kecewa dan sakit hati di antara gelegar suara petir yang menyambar seakan ikut berteriak kecewa kepada manusia yang terus menerus berlaku jahat kepada orang lain. Isak tangis terus saja mengalir mengiringi perjalananku. Berkali-kali aku mengusap wajah yang basah akibat air hujan. Tidak nyaman rasanya ketika air mata bercampur air hujan, ada rasa gatal yang sangat tidak nyaman sehingga aku terus menerus membersihkan wajahku. Ingusku bahkan mengalir, terasa kental dan lengket di antara hidung dan mulutku. Entahlah, wajahku benar-benar berantakan sore ini. Riasan tipis yang mempercantik wajahku, sudah hilang dibasuh air hujan. Bahkan aku sengaja tidak menggunakan jas hujan, padahal ia menunggu untuk digunakan di bawah sadel motor. Aku tidak peduli meskipun nanti Ayah akan marah padaku, karena hatiku benar-benar hancur sore ini. Sudah cukup, sudah cukup aku merasakan sakit, sudah cukup aku merasakan sedih, aku tidak ingin menyiksa diriku lagi. Benar kata rekan kerjaku, aku sekarang tidak memperhatikan diriku lagi,seluruh waktuku sudah habis untukmu, aku tidak ingin lagi, semua sudah cukup, aku sudah tidak ingin menyiksa diriku lagi. Sesampainya di rumah, rupanya bukan ayah yang menyambut kepulanganku, melainkan Ibu dengan teriakan khasnya yang sangat cerewet. Beliau mengomel melihatku pulang dengan basah kuyup. Aku tidak memedulikan ocehan Ibuku yang terdengar seperti kereta api, lurus, panjang, tak terputus. Tetesan air yang berasal dari bajuku membasahi lantai, menciptakan garis jejak langkah kaki dari ruang tempat aku memarkirkan motor hingga ke kamar mandi. Segera aku membersihkan diri, membasahi tubuhku dengan air dingin yang lebih dingin dari air hujan di luar. Air mataku juga belum berhenti mengalir, aku masih melanjutkan sisa-sisa tangisanku sambil membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Ibuku menggedor pintu kamar mandi sambil meneriakiku dari luar, sebab sudah terlalu lama aku berada di dalam kamar mandi. Rasa dingin yang menyelimuti tubuh polosku tidak lagi kurasakan, hanya ada rasa kosong yang benar-benar hampa, seakan jantungku berlubang tak berdetak lagi. Aku keluar dari kamar mandi, tidak betah dengan ocehan panjang Ibu yang tetap tidak berhenti sebelum aku keluar. Aku berjalan melewati Ibuku yang berdiri di balik pintu, mengabaikan seluruh perhatian yang ia berikan. Jujur, saat ini aku merasa sangat berdosa jika ingat kejadian itu. Aku benar-benar cerminan dari seorang anak yang durhaka kepada orang tua. Geno, jika hubunganmu dengan keluarga sudah membaik, jangan kau tiru perbuatanku, karena itu tidak baik. Aku terus saja menyelonong ke kamar. Tidak lama setelah aku melewati Ibuku, Beliau tidak lagi mengoceh. Kereta panjang yang seakan tidak dapat dihentikan itu tiba-tiba terputus. Bahkan ketika aku berada di dalam kamar, Beliau tidak berusaha mengetuk pintu kamarku. Mungkin Ibu mengerti jika ada sesuatu yang salah dengan hari liburku. Aku keluarkan ponsel dari tas selempangku yang basah terguyur hujan, beruntung isi dalam tasku tidak ikut basah kuyup, hanya sedikit basah dan lembab. Aku sempat khawatir terjadi sesuatu dengan ponselku, tapi rupanya semua ia masih berfungsi dengan baik. Sambil duduk termenung di atas tempat tidur, aku menengok notifikasi yang muncul pada layar ponselku. Tidak ada pemberitahuan darimu sama sekali. Aku menghela nafas panjang, badanku perlahan lunglai, bergeser dari posisi duduk ke berbaring miring sambil memeluk lutut. Tanpa sadar air mataku mengalir, mengingat betapa bodohnya aku sejak mengenalmu. Hanya karena rasa bersalah di masa lalu, membuatku hancur seperti hari ini. Perlahan, mataku terasa sangat berat, hingga tanpa sadar ia menutup tanpa kuminta. Ketukan lembut di pintu kamar berhasil mengembalikan kesadaranku. Suara tegas namun teduh dari Ayah di balik pintu, mengiringiku bangun dari mimpi yang… aku rasa tidak begitu indah. Saat aku mencoba mengangkat badan, kepalaku terasa sangat berat. Nafasku juga terasa panas. Saat aku berjalan menuju pintu, dunia terasa berputar. Aku berusaha sekuat tenaga menjangkau pintu yang tampak sangat jauh dari tanganku. Sambil membuka pintu, aku menjawab panggilan dari Ayah yang rupanya baru pulang dari rumah saudara. Ayah menanyakan keadaanku, karena melihat wajahku yang tampak sangat pucat. Aku rasa Ibu bercerita kepada Ayah mengenai betapa hancurnya aku sore ini. Melihatku yang tampak berantakan, Ayah menghela nafas panjang. Beliau lalu memegang dahiku dan berkata jika aku sedang panas. Dari jauh, Ibu sedikit berteriak, jika semua ini akibat aku yang pulang dengan basah kuyup. Dengan lembut, Ayah bertanya kepadaku, sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang membuatku hancur seperti ini? Aku hanya menggelengkan kepala, enggan bercerita. Ayah hanya tersenyum tipis, kemudian memelukku dengan lembut. Tidak biasanya Beliau memelukku, karena Ayah bukan tipe orang yang romantis, bahkan ke Ibu sekalipun. Namun sepertinya kali ini, pelukan inilah yang aku butuhkan. Lagi-lagi, tanpa sadar tiba-tiba aku terisak. Air mataku kembali mengalir tanpa bisa aku kendalikan. Ayah berkata, tidak masalah jika aku belum ingin bercerita, tapi setidaknya aku harus tetap menjaga kesehatan, karena Ayah merasa sedih jika aku mengabaikan badanku seperti ini. Perkataan Ayah membuatku semakin histeris, mengingat kembali betapa bodohnya keputusan yang aku perbuat akibat seorang lelaki yang tidak seharusnya aku bela mati-matian. Sambil tetap memelukku, Ayah bertanya apakah aku sudah makan atau belum. Tidak sanggup berkata-kata, aku hanya kembali menggelengkan kepala dengan lemas. Ayah sedikit berteriak kepada Ibu, meminta Ibu menyiapkan makan karena tidak tega melihat badanku yang lemas. Ayah menuntunku masuk kembali ke kamar, lalu meminta Ibu menyuapiku sementara Ayah pergi ke apotek tempatku bekerja guna membeli obat. Sambil menyuapiku, Ibu kembali mengomel, mengomentari betapa cerobohnya aku sore ini. Sebenarnya Ibu tidak keberatan merawatku yang sedang sakit, namun Beliau khawatir tidak ada rekan kerja yang menggantikan pekerjaanku di apotek. Perkataan Ibu membuatku ingat jika aku belum memberikan kabar ke grup apotek jika kesehatanku memburuk. Saat aku membuka ponsel, aku melihat notifikasi dari orang yang… entahlah… rasanya tidak ingin aku lihat untuk saat ini. Notifikasi itu berasal darimu. Sengaja aku abaikan notifikasi itu, aku fokus memberikan kabar ke grup apotek. Rekan-rekan kerjaku membalas pesanku di dalam grup, berkata jika tidak masalah kalau aku belum bisa bekerja besok. Di tengah-tengah obrolanku dengan rekan-rekanku di grup apotek, kau kembali mengirimkan pesan kepadaku karena menyadari jika aku sedang online namun tidak segera membalas pesanmu. Lagi, kau mengomel, menyerocos, berkata jika aku tidak memiliki waktu untukmu. Aku geram, marah, sedih, dalam keadaan seperti ini kau masih sempat memikirkan dirimu sendiri saja. Padahal seharusnya kau dapat melihat dengan jelas, kantong plastik yang penuh dengan makanan dan minuman ringan menggantung indah di gagang pintu kamar kosmu. Tapi yang kau pikirkan hanya aku yang harus selalu tepat waktu merespon pesan darimu. Dengan kesal, aku hanya memberikan balasan singkat, "aku sakit, jangan ganggu aku!" Setelah itu, sebelum centang berubah warna menjadi biru, aku segera mematikan data seluler ponselku dan melempar ponselku menjauh dari tanganku. Ibuku bertanya dengan khawatir, apa yang terjadi di sana? Kenapa aku tampak kesal dengan ponsel hingga melemparnya? Aku hanya menggelengkan kepala pelan sambil membuka mulut karena Ibu menjeda makanan masuk ke mulutku. Sambil menghela nafas, Beliau kembali menyuapiku. Saat pulang membawa obat, rupanya Ayah juga memberikan kabar ke apotek jika kesehatanku menurun, meyakinkan rekan kerjaku bahwa aku benar-benar tidak sedang berbohong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN