Hai dan Halo

1003 Kata
Untukmu Yang tidak berada dalam genggaman. Hai Geno, apa kabar? Aku, baik-baik saja. Tapi, kepalaku masih terasa sangat sakit. Dia bilang, untuk merelakan kepergianmu, aku harus memantik lagi setiap rinci dari ingatan tentang kita di masa lalu. Dia? Siapa? Aku belum ingin memberitahu kepadamu tentang siapa yang aku panggil dengan sebutan "Dia". Geno, apakah aku boleh memanggilmu sayang? Setidaknya di dalam surat ini aku ingin mencurahkan segalanya. Tapi tidak, aku harus menahan diri untuk itu. Untuk sementara, aku harus tetap memanggilmu dengan sebutan Geno. Tapi serius, aku sangat ingin memanggilmu sayang saat ini. Bukan, bukan kepada seorang Geno yang membuatku tersiksa seperti ketika aku menulis surat ini, melainkan kepada Geno yang sangat mengerti tentangku dan sangat peka terhadap segala keluhanku. Aku tidak berbohong, Geno. Sebenarnya kau adalah lelaki yang sangat amat teramat baik. Segala pujian baik yang berlebihan kucurahkan untukmu di sini. Tapi kenapa? Kenapa kau akhirnya memperlakukanku seperti itu? Geno, apakah aku boleh bernostalgia lagi? Aku ingin sekali lagi mengingat kenangan manis yang terjadi di antara kau dan aku, kenangan penuh warna dan arti yang mengajarkanku cara untuk hidup sebagaimana seharusnya. Geno, apakah kau masih ingat semuanya? Kau bukanlah orang yang bodoh menurutku. Kau tahu tentang sopan santun dan cara membuatku nyaman tanpa melecehkan atau mendekatiku secara berlebihan. Aku sangat suka dengan caramu memperlakukanku. Kau terlihat sangat dewasa dan mengerti bagaimana cara berpikirku yang masih kekanak-kanakan ini. Meskipun usia kita sama, tetapi aku dapat melihat jelas jika kita berada pada kelas yang berbeda. Kelas yang menjadikanmu berdiri di atas langit sementara aku masih tetap menapak di tanah, menatapmu dari bawah, bersinar silau bagai mentari di tengah hari. Aku ingat ketika pertama kali kau meneleponku, Geno. Kala itu, kau berdalih memintaku mengajarimu menulis karena kau ingin membuat lagu sendiri. Tapi apa kau ingat? Ternyata kita hanya membicarakan tentang tulis menulis sekitar lima belas menit. Selebihnya, kita hanya berbincang ke sana kemari. Obrolan yang tidak jelas itu berlangsung hingga tiga jam. Kau tahu? Tiga jam! Bahkan waktu yang seharusnya dapat aku gunakan untuk menulis, harus rela terbuang sia-sia hanya untuk mengobrol denganmu. Apakah aku menyesali hal itu? Tentu saja tidak, Geno. Aku sangat suka berbincang denganmu. Kau memiliki banyak hal untuk diceritakan. Kehidupanmu menarik, orang tuamu menarik, segala hal tentangmu aku rasa benar-benar menarik. Apakah aku sudah menaruh hati kepadamu di percakapan langsung pertama ini? Entahlah, aku merasa belum bisa membedakan antara rasa suka yang benar-benar suka dan rasa antusias yang hanya sejenak datang dan pergi. Tapi Geno, apakah kau tahu apa yang aku rasakan ketika kau menyapaku di telepon? Jantungku berdebar kencang, tanganku gemetar sambil memegang ponsel sehingga membuat beberapa kalimatku tidak dapat keluar dari bibir dingin yang kaku. Hanya butuh satu kata "Halo" darimu, hatiku berhasil kau buat meleleh seketika. Sapaanmu kepadaku terdengar sangat lembut dan teduh. Caramu tertawa dari ujung telepon benar-benar membuatku kembali merasakan eargasm. Ya Tuhan, suaramu benar-benar membuatku jatuh hati, Geno. Dingin dan hangat di saat yang bersamaan, musim panas dan musim dingin yang berjalan beriringan menghampiriku, itulah yang aku bayangkan ketika mendengar suara merdu yang meneduhkan hati dari ujung telepon yang bahkan mampu melalaikanku hingga lupa waktu. Kau bahkan memuji suaraku, Geno. Bagimu, suaraku terdengar sangat khas. Padahal aku tidak pernah percaya diri dengan suara yang menurutku terdengar seperti tikus yang terjepit ini. Kau bahkan memuji aksen daerahku yang kental. Tapi memang, masyarakat di wilayah ujung barat jawa timur lebih terdengar seperti orang jawa tengah dibanding jawa timur. Bagimu, berkenalan denganku merupakan pengalaman baru yang sangat menarik. Seorang Geno yang berbicara dengan aksen Jawa Timur kental yang terdengar lebih "kota" dariku, harus berkenalan dengan manusia udik yang tampak seperti upik abu. Rasanya, kau adalah seorang Pangeran dan aku adalah Cinderella. Ah tidak, Cinderella masih terlalu cantik untukku yang biasa-biasa saja. Ada sebuah obrolan yang sangat berbekas untukku, Geno. Kala itu, kau berkata jika suaraku lucu, terdengar candu di telingamu. Betapa aku tidakk bisa menahan senyum malu di wajahku. Pipiku memanas, bahkan aku harus mengipasinya agar tak terlalu memerah. Keringat dingin tanpa sadar menetes, membasahi wajah polos tanpa baluran riasan karena aku tidak biasa mengenakan riasan dalam kehidupan sehari-hariku. Meski aku tau kau tidak dapat melihatnya, tapi aku merasa malu, sungguh-sungguh malu. Aku tidak tahu apa yang membuat suaraku terdengar candu di telingamu. Yang aku tahu, aku memiliki suara nyaring yang memekakkan telinga. Bukan candu seperti yang kau katakan padaku. Pujianmu padaku sungguh berlebihan, aku mengelak. Karena suaraku tidak selucu itu. Aku menegaskan kepadamu jika suaraku bukanlah sesuatu yang lucu. Aku mengatakannya dengan nada cepat karena jantungku berdegup kencang saat kau memujiku, Geno. Aku takut suaraku yang nyaring ini justru menyakiti telingamu. Namun, kau tertawa dengan begitu lepas, begitu bahagia hingga tawamu menular pada bibirku. Aku tertawa kecil, meski tidak tahu apa yang aku tertawakan. Hanya mendengar tawamu yang bahagia saja, mampu membuatku ikut tertawa. Lalu kau kembali berkata padaku jika suaraku memang nyaring, tetapi ketika aku berbicara dengan aksen daerah yang kental, suaraku terdengar candu di telingamu. Kau tidak tahu, Geno, wajahku saat itu terlihat sangat merah seperti buah delima yang segar. Aku meletakkan ponselku di atas meja belajar yang ada di sebelah tempat tidurku, lalu menangkup kedua pipiku. Senyum malu serasa tak ingin pudar dari wajahku. Entah apa yang harus aku lakukan, aku bingung hingga tanpa sadar membeku di tengah obrolan kita. Lidahku kelu tak mampu mengeluarkan sepatah kata. Hanya kebisuan dariku dan tawa samar darimu mengisi obrolan kita kala itu. Beberapa menit berlalu dengan kebisuan dariku, dan bujukanmu, kau menyerah. Aku terlalu malu untuk kembali bersuara, hingga kau akhirnya menutup obrolan. Meski hatiku tak rela, namun lidahku kelu untuk berbicara. Ingin rasanya aku menahanmu agar tetap berada pada sambungan telepon bersamaku, namun suaraku tertahan di tenggorokan tanpa mampu terucap padamu. Sebelum panggilan benar-benar terputus, satu kalimat darimu membuatku tersenyum sepanjang malam. Kau berkata akan mengajakku berbincang melalui sambungan telepon esok hari karena kau merindukan suaraku dengan aksen khas ujung barat Jawa Timur. Apakah ini pertanda jika kau juga tertarik padaku? Apakah perasaan suka ini akan kau balas dengan manis? Semanis nyanyianmu padaku waktu itu? Sampai Jumpa pada surat selanjutnya, Kau yang tidak berada dalam genggaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN