Bab 5

1416 Kata
Sudah hampir satu mingggu, sejak pesan terakhir yang Bara kirimkan dan Kara tak membalasnya, tidak ada lagi pesan dari Bara. Kara mulai menikmati harinya sebagai seorang single, dia bahkan sekarang selalu menerima ajakan dari Remon. Entah itu menonton, pulang bareng atau pun hang out ketika mereka telah selesai bekerja. Karena Kara merasa jika Bara benar-benar telah melepaskannya, perasaannya memang sedih tapi dia yakin seiring berjalannya waktu dia tidak akan merasakan hal seperti ini lagi. Toh dia tidak mau memaksakan pria yang tidak memperjuangkannya, untuk apa dirinya harus repot-repot mengemis cinta dari duda satu itu, ck. Kara melihat Nio yang berjalan ke arahnya dengan Javier teman sekolahnya. Nio adalah anak tetangga di rumahnya yang sering mengikuti les yang dirinya ajar. Dan Nio salah satu muridnya yang humble, ceria juga cerdas. Dia bingung dengan kedua bocah itu yang mendatanginya. "Selamat siang Mbak, Kara." Sapa Nio dengan senyum lebarnya. Sedangkan Javier hanya tersenyum simpul. "Selamat siang juga, Nio." "Hi, Javier." Niara membalas kedua bocah abege itu dengan senyuman. "Kalian berdua ngapain ke sini?" "Oh itu, mbak. Aku mau nanya, mbak mau ngajar les lagi kapan yah?" "Duh, mbak belum tahu nih, lusa mungkin. Kamu mau les lagi, kah?" Nio menggeleng namun dia malah menunjuk Javier dengan dagunya. "Javier mbak, Minggu depan kita ulangan semester. Nilainya dari kemarin turun mulu," Javier diam saja tidak ikut menanggapi, padahal yang di obrolkan dirinya. Namun, dirinya merasa bingung dan malu harus berbicara apa. Jelas saja, karena selama ini dirinya dan sang kakak menganggap wanita di depannya ini adalah perusak kebahagiaannya. "Oh begitu, memangnya pelajaran apa yang Javier kurang kuasai?" Ditanya seperti itu oleh Kara membuat dirinya gelagapan. "Ah, anu i-itu mbak Fisika." Jawabnya sambil memandang Kara. "Ah mbak ngerti, yaudah kalau gitu lusa ya. Soalnya Minggu depan mbak mau cuti." "Cuti?" Kara menganggukan kepalanya. "Berapa lama?" Itu bukan Nio yang bertanya lagi melainkan Javier dan sedikit membuat Kara kaget. "Ah semingguan paling," "Kok tumben mbak Kara mau cuti, kan sekarang bukan lebaran, apalagi tahun baru?" Tanya Nio bingung karena setahunya jika kedua abangnya cuti, itu pasti mereka sedang libur lebaran atau tahun baru. Maka dari Nio bingung mengapa Kara cuti dari pekerjaannya. "Mau refreshing, mbak. Kamu mau ikut?" Ajak Kara menggoda. "Memangnya mbak mau liburan kemana?" "Ada deh, hehe." Nio malah mendengus sambil tersenyum juga, sedangkan Javier sedari tadi hanya menyimak dan berpikir. "Kalian mau makan siang bareng mbak lagi, nggak?" "Boleh," "Kamu gimana, Javier?" Anak bungsu dari Bara itu mengangguk sambil tersenyum, menampilkan dimple sebelah kiri, yang terlihat semakin tampan saja. Dan kembali membuat Kara seakan teringat pada seseorang yang memiliki dimple disebelah kiri. "Oke, tunggu sebentar yah. Mbak mau ke dalem dulu." Dua abege itu mengangguk. "Ayok," Kara lalu menggiring dua remaja itu ke lantai bawah. Kara di tengah-tengah Nio dan Javier mereka sepakat untuk makan di food court kemarin lagi. Karena Nio rupanya ingin mencoba mie ayam dan jajanan lainnya. Sedangkan Javier dan Kara setuju-setuju saja. "Javier, waktu itu kamu nggak sakit perut, kan? Mbak lupa mau nanyain ke Nio soalnya jarang ketemu juga sih sama Nio. Perut kamu nggak apa-apa kan?" Javier yang ditanya tiba-tiba oleh Kara mendadak berhenti, membuat Kara dan Nio bingung. Karena dia tidak pernah memperkirakan jika Kara akan bertanya mengenai kondisinya, terlebih waktunya bukan kemarin, tapi Minggu lalu. Perasaannya terasa berbeda, dia merasa senang, takut dan juga sedih. Karena sudah lama sekali dia tidak mendengar pertanyaan seperti itu dari orang yang melahirkannya. "Eh, kok diem? Kenapa?" Javier tersadar dari lamunannya, dan menggelengkan kepalanya. "Ah nggak, mbak. Nggak apa-apa. Perut aku baik-baik aja kok, makasih udah nanyain." Ucapnya yang diakhiri dengan suara lirih. "Syukur lah kalau gitu, ayok kita jalan lagi sebelum banyak yang antre." Mereka kembali berjalan diselingi obrolan-obrolan ringan. Setibanya di sana, mereka bertiga memilih mie ayam. Kara menambah semangkuk batagor kering, karena bagi Kara mie ayam di sini porsinya tidak membuat perutnya kenyang. Javier memandang mie ayam di hadapannya dengan bingung, ia lalu melirik Nio yang tengah mengaduk mie ayamnya. Sedangkan Kara tengah mengambil air putih dan juga jus pesanan mereka. "Apa?" "Ini ada sayurnya, gue gak suka." Baru saja Nio akan mengambil sayur yang ada di mangkuk Javier. Kara kembali dengan membawa tray yang berisi 6 minuman mereka. "Kamu nggak suka makan sayur, Javier?" Javier mengangguk, takut jika dirinya mendapati omelan. "Oh sini-sini, buat mbak aja yah." Kara langsung mengambil alih, dia dengan telaten mengambil sayuran yang ada di mangkuk Javier. Diam-diam Javier memperhatikan tindak-tinduk Kara. Wanita yang sedang mengambil sayuran di depannya itu, adalah kekasih ayahnya. Yang selama ini dia dan kakaknya itu benci, namun sejak dua kali dirinya bertemu perasaan benci itu perlahan terkikis. Entah mengapa, Javier merasa jika wanita di depannya ini berbeda dengan kekasih ayahnya yang dulu-dulu. Kara wanita biasa-biasa saja yang memiliki perasaan hangat dan tulus padanya, wanita asing yang peduli padanya. Dia merasa nyaman pada wanita itu, apakah dirinya sudah mulai menerima kekasih ayahnya itu? "Sudah, ayok di makan Javier. Jangan pakai saus yah. Sausnya lumayan anget," peringat Kara begitu mengetahui Javier mengambil saus. Setelah itu, mereka mulai makan dibarengi dengan obrolan-obrolan, dan Javier hanya menimpali jika dirinya ditanya. "Mbak, belum kenyang beneran?" Tanya Nio begitu Kara mulai menyantap batagor keringnya tersebut. Kara yang mendengar itu tertawa sambil menyuap batagornya. "Mbak itu kalau belum nemu nasi, perutnya masih kosong, Nio. Kamu kayak nggak tahu mbak aja deh," Nio terkekeh sambil mengangguk. "Aku kangen panna cotta buatan mbak deh," "Oh ya? Mbak juga udah lama nggak buat nih. Yaudah lusa aja pas mbak ngajar kalian les yah, mbak bikinin." "Asyiikk. Vier lo harus nyobain panna cotta buatanya mbak Kara. Sekali lo nyobain, di jamin ketagihan." "Aish, bohong itu. Panna cotta buatan mbak biasa-biasa aja kok, Nio jangan di dengerin yah, Javier hehe." Javier hanya tersenyum tipis membalas ucapan Kara. "Setelah ini kalian langsung pulang?" Kedua remaja itu mengangguk. "Yaudah yuk, kita pulang. Mbak juga mau ke atas lagi," "Oke deh, makasih yah mbak Kara-ku yang cantik dan baik sudah mau mentraktir kita berdua," "Makasih yah, mbak." Ucap Javier tulus dengan senyumannya. "Sama-sama yah," "Mbak kenapa sih, nggak nikah sama mas-ku aja, kan biar aku puas gitu main sama mbak, mana mbak juga cantik, pinter buat makanan enak lagi, ah rugi banget nggak jadi mbak ipar aku." Dumel Nio yang membuat Kara terkekeh. Sedangkan Javier langsung mematung mendengar perkataan Nio yang begitu enteng. Perasaannya mendadak tidak karuan, semacam tidak rela bahkan tidak suka mendengarnya. "Nio, Nio. Kamu lucu banget deh-- Kara mencubit main-main kedua pipi Nio -- mas-mu kan kemarin baru tunangan, masa mbak nikah sama mas-mu ada-ada aja deh, kamu ini, haha." "Yaudah deh, jangan sama mas Elo, sama mas Leon aja." Keukeuh Nio yang menginginkan Kara menjadi kakaknya. Javier yang sedari tadi merasa kesal mendengar kalimat Nio pada Kara membuatnya berdehem. "Gue duluan yah, Vier. Makasih mbak," "Eh bareng, bye-bye mbak-ku." Nio melambaikan tangannya kemudian menyusul Javier yang sudah pergi meninggalkannya. *** "Kamu dari mana, dek?" Javier terlonjak kaget mendengar pertanyaan Melvin. Dia baru saja masuk ke dalam rumahnya dan dikagetkan begitu saja oleh abangnya. "Ah aku, abis makan siang sama Nio." Melvin mengangguk-anggukan kepalanya. "Abang udah makan?" Melvin menganggukan kepalanya. "Aku mau izin, lusa aku mau les sama Nio." Kini fokus Melvin tak lagi pada ponselnya, melainkan pada adiknya itu. "Tumben kamu nggak minta ayah buat panggil guru les kamu yang biasa, kenapa?" Selidik Melvin pada adiknya itu, yang dia rasa aneh. Javier sebisa mungkin bersikap biasa saja, jangan sampai misinya diketahui oleh abangnya itu. Karena dia belum berani untuk menceritakan dirinya yang bertemu dengan kekasih ayahnya. Dia tahu pasti kakaknya itu akan marah dan tidak akan mengizinkannya untuk bertemu lagi dengan Kara. Sebenarnya ini misi dadakannya, dia ingin tahu sebaik apa kekasih yang dikencani ayahnya itu. Berhubung dia sudah bertemu dua kali dengannya, dia ingin lebih mengenal Kara dan ingin tahu alasan apa yang membuat ayahnya itu berpacaran dengan seorang Kara. Terlebih dia merasa nyaman berada di dekat wanita itu, dia ingin melihat sisi lain guru les Nio itu. "Bosen aku kalau cuman sendiri, kan kalau sama Nio aku ada temennya." Dusta Javier yang mendapat dengusan dari Melvin. "Ah bilang aja kamu mau sekalian main ps sama dia?" Gotcha! Abangnya itu malah berpikir ke sana, terima kasih dirinya jadi memiliki ide lain. "Udah ah, abang jangan mulai deh. Minggu depan aku ulangan semester nih, nilai fisika Javier turun. Yah masa kalah sama Nio coba aja kalau abang bisa fisika juga, kan aku gak perlu les." "Lah, kok kamu malah nyudutin abang? Yaudah, yaudah abang izinin." "Makasih abang, aku ke atas dulu yah mau mandi." "Hn." Dan Melvin kembali lagi memainkan ponselnya. *** Tbc ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN