Hidup bersama masa lalu adalah hal menyedihkan, di mana kamu tak tahu hal di depan yang lebih membahagiakan.
***
Elsa mengutuki nasibnya sendiri saat mengusulkan pada Lova agar membeli dress baru, mereka memang membeli benda itu, tapi sayang seribu sayang ekspektasi Elsa berbeda jauh dari apa yang ia bayangkan. Ternyata Lova lebih rumit dari apa pun.
Elsa hanya membeli sebuah dress, sedangkan Lova-banyak hal. Demi janji sejak di Jepang-bahwa Elsa akan membantu acara Lova, kali ini ia realisasikan, tapi bukan bantuan yang Elsa pikir akan dilakukan di rumah sahabatnya itu, entah menata karangan bunga atau bantu mencicipi masakan, dissert, ..., dsb. Nyatanya Elsa dijadikan kacung oleh Lova, gadis itu membawakan semua belanjaan Lova hingga kedua tangannya penuh, sisi kanan kiri sama-sama memegang beberapa shopping bag, salah satunya bahkan terasa berat karena berisi heels. Elsa ikhlas, apalagi ia sudah berjanji meski sangat kesal mengikuti perintah itu, tapi ya sudahlah-sekali-kali seumur hidup jadi kacung Lova agar bahagia.
Elsa melangkah terkatung-katung saat melihat Lova melangkah kian jauh seraya berkomat-kamit entah apa, Elsa tak bisa mendengarnya. Terlihat sahabatnya itu berbelok ke arah toko parfum, Elsa menghela napas panjang.
"Untung lo teman gue, Lov. Kalau bukan, udah gue masukin lemari sampai lebaran kuda," gumam Elsa mengerucutkan bibirnya, ia melanjutkan langkah seraya mengimbangi sisi yang berat, tapi akhirnya barang-barang itu terjatuh karena jerat tali shopping bag lumayan membuat tangan Elsa perih.
"Aduh, untung Lova nggak lihat." Elsa berjongkok mengumpulkan lagi barang-barang itu, tiba-tiba terlihat dua tangan manusia lain ikut membantu, Elsa menengadah-menemukan eboni yang sana dengan dirinya, rambut laki-laki itu dicat keputihan, bahkan tersenyum saat Elsa menatapnya.
"Gue bantu, ikhlas kok," ucap Laki-laki itu, sepersekian detik Elsa hanya mematung hingga semua barang itu rapi kembali dan bisa diangkatnya lagi. Mereka beranjak.
"Makasih banyak," ucap Elsa.
"Iya, kenapa belanja banyak tapi sendirian? Itu berat-berat gue rasa," ujar laki-laki berhoodie putih itu.
"Ini bukan punya gue, tapi punya-"
"ELSA!!!" teriak Lova yang baru keluar dari toko parfum, mungkin ia baru sadar kalau temannya tertinggal, gadis itu bergegas menghampiri Elsa. Senyum Lova terukir saat melihat laki-laki di sebelah Elsa.
"Keenan?" terka Lova, "lo di sini?"
Keenan tersenyum, "Iya, nyari sesuatu aja. Terus lihat dia kerepotan bawa barang sampai jatuh, gue bantu sebentar."
Lova melirik Elsa, tapi sahabatnya itu mengalihkan pandang. "Barang-barang gue jatuh, El?"
"Nggak ada yang rusak kok," sela Keenan.
Lova manggut-manggut, "Senang bisa ketemu lo di sini. Eh, iya, kenalin dia teman gue. Namanya Elsa."
Keenan dan Lova menatap Elsa, tapi gadis itu masih mengalihkan pandang seolah tak mendengar percakapan dua manusia di dekatnya.
Lova berdeham, "Lo nggak dengar, El?"
Lagi-lagi, Elsa tak menoleh sama sekali dan membuat Keenan tersenyum tipis.
"Elsa!" pekik Lova, membuat Elsa terkejut hingga menjatuhkan lagi semua belanjaan di tangannya. "Aduh! Jatuh lagi."
"Ya ampun, maaf banget, Lov. Kalau ada yang rusak gue ganti." Elsa hendak memunguti semua barang-barang itu, tapi tangan Keenan lebih cepat darinya.
"Biar gue aja yang bawa, lo lihat telapak tangan lo coba," pinta Keenan.
Elsa mengikuti perintah laki-laki itu, ia melihat ruam kemerahan seperti bekas jerat tali di kedua telapak tangannya.
"Jadi, biar gue aja yang bawa." Keenan menatap Lova. "Affan nggak akan cemburu kalau gue bawa ini, 'kan?"
"Enggak kok, eh kenalan dulu dong sama Elsa."
"Gue Keenan, teman satu kampus Affan, lo bisa panggil Ken." Keenan mengulurkan tangan kanannya di depan Elsa, lantas disambut gadis blasteran itu.
"Elsa, teman SMA Lova." Ia tersenyum tipis, tautan tangan mereka terlepas.
"Belanja gue udah kelar, kita ke mobil aja yuk," ajak Lova, Elsa bernapas lega.
Ketiganya melangkah menghampiri eskalator, tanpa Elsa tahu-sedari tadi Keenan mengamatinya, gadis itu tampak tenang seraya memainkan ponselnya hingga keluar dari mall dan menghampiri mobil Lova di parkiran. Keenan memasukan belanjaan itu di jok belakang.
"Makasih ya udah mau repot-repot, Ken," ucap Lova, ia berdiri di sebelah Elsa yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Nggak apa-apa daripada dia tangannya sampai berdarah." Keenan menatap eboni itu, tapi tak terbalas.
"Elsa!" Lova menepuk bahu temannya hingga si empu mengalihkan fokus dari ponselnya.
"Eh, kenapa?"
"Kenapa? Lo terima kasih sama Ken, dia udah bantuin kita."
"Makasih, Ken," ucap Elsa.
"Maaf ya, Ken. Si Elsa emang suka ngelamun gitu, abis kelamaan jomlo," celetuk Lova dan dibalas jitakan di kepalanya oleh Elsa.
"Ngawur! Berisik!" Elsa menghardik, ia menatap Keenan. "Maaf ya, Ken. Sekarang jam-jamnya minum obat, tapi telat, jadi ya Lova kayak gitu."
"Nggak apa-apa, kalau teman SMA Lova, berarti teman SMA Affan juga?" terka Keenan.
Elsa mengangguk, "Cuma beda kelas aja dulu."
"Oke, kalau gitu gue mau balik lagi ke dalam. Ada hal lain yang perlu dibeli."
"Silakan, sekali lagi maaf udah bikin repot."
Keenan mengangguk, setelahnya ia melenggang pergi meninggalkan Lova dan Elsa yang kini masuk ke dalam mobil.
"Si Keenan ganteng, ya. Kalau Affan nggak serius sama gue, udah gue embat juga si Keenan," celetuk Lova seraya memasang seat belt.
Elsa mengernyit, "Astaga, sadar, Lov. Udah mau tunangan malah bahas cowok lain, pengin kena karma lo, hm?"
"Dih, kebanyakan nonton begituan lo sampai streaming juga di Jepang?" Lova terkekeh geli, ia memutar kontak lantas melihat ke arah spion, di belakang mereka tampak sepi, alhasil ia mulai memundurkan mobilnya untuk keluar dari deretan mobil lain, setelahnya baru melaju di jalan besar.
"Keenan juga gue undang ke acara tunangan, lho. Dia lumayan dekat gitu sama Affan, suka main futsal bareng," ucap Lova. Namun, sahabatnya kembali asyik dengan ponsel dan tak peduli perkataan Lova. "Ini bocah, gue lagi cerita juga." Lova merebut ponsel Elsa begitu saja.
"Heh! Kenapa lo ambil!" hardik Elsa.
"Kalau gue lagi cerita itu dengerin kek, jangan main hape terus. Ini semua 'kan demi masa depan elo juga, El."
"Masa depan apaan, sih? Lama-lama tambah ngaco kalau ngomong, ketularan siapa, sih. Perasaan waktu gue belum ke Jepang, lo nggak gini-gini amat."
"Gini-gini apa sih, El? Semakin dewasa orang, pasti pemikiran juga mulai berubah dong. Gue jodohin lo sama Keenan mau, ya?" Lova memasang puppy eyes, tapi selanjutnya justru tarikan pada telinga yang ia dapatkan. "Sakit, Elsa!"
"Sejak kapan gue minta lo jadi tukang mak comblang gue, nggak usah. Gue suka kok sendirian, jodoh nggak akan ke mana, Lov," ujar Elsa seraya melihat keadaan sekitar yang mereka lewati.
"Iya gue tahu, tapi kata Tuhan semua juga harus pakai usaha alias ikhtiar. Masa kayak gitu aja nggak mudeng, kalau lo diam-diam aja, kapan jodoh mau datang, Elsa?"
Elsa diam, ia enggan menanggapi opini Lova lebih jauh lagi. Memangnya kenapa kalau ia sendiri? Apa terlihat mengerikan? Apa ia seperti zombie?
Elsa sedang menikmati dunia yang ingin dibangunnya sendiri, ia belum mengizinkan siapa-siapa masuk dalam dunia kecilnya. Usia Elsa baru dua puluh, ia masih berhak mengeksplor segala hal di sekitarnya. Lagi, yang ia tahu cinta hanya bisa memberi rasa sakit, sama seperti yang ia rasa dulu.
Lova termasuk gadis beruntung karena memiliki Affan yang benar-benar menyayaginya, Elsa ingin bertemu makhluk seperti Affan sekali saja tanpa harus menerobos hati yang lain, tanpa harus ia merasa sakitnya ditinggalkan atau meninggalkan. Keinginan Elsa sederhana, jika ia memulai cinta lagi, biarkan laki-laki itu jadi manusia terakhir tempatnya melabuhkan hati.
Lova melirik Elsa, temannya itu masih diam mengamati keadaan di luar jendela.
Gue harus buat Elsa sama Keenan jadian, dia harus move on sejauh-jauhnya. Gue tahu kok kalau lo pasti nggak mau memulai kisah baru karena kesakitan sama Satria, 'kan? Gue nggak mau lo nggak bahagia, El. Lo harus bahagia, karena laki-laki yang buat lo jatuh sedalam itu juga udah mulai bahagia sama orang lain, batin Lova meyakinkan dirinya, ia harus memulai misi itu, apalagi Elsa sudah kembali, dengan bantuan Affan pasti dia bisa mendekatkan Elsa dengan Keenan. Ada hal yang tak ingin Lova katakan kepada Elsa, semua soal Satria, sepertinya tak perlu juga Elsa tahu karena hanya akan membuatnya ingat tentang masa lalu itu. Masa di mana jatuh ke dalam jurang adalah hal paling menyakitkan, sekarat tapi tidak mati, sedangkan terus bernapas justru meremukan seluruh tubuh, rasanya seperti ditarik ulur tiada henti.
Banyak yang berkata; masa lalu adalah tumpuan masa depan, dan sepertinya semua itu memang benar. Manusia harus belajar dari kesalahan yang sudah terlewat agar tak terulang lagi untuk saat ini. Mungkin Elsa sedang belajar akan hal itu, sedang berhati-hati agar ia tak sakit lagi.
***