13. Tak Bisa Lari Lagi

1076 Kata
“Y-ya Allah ... dia mendekat dan makin dekat ....” “Sepertinya, dia juga yang telah membeliku.” “Kenapa jadi begini? Kenapa orang yang kuhindari, justru jadi yang harus aku patuhi?” “Ya Allah ... kenapa harus dia? Kenapa bukan tua bangk a saja? Andai tua bangka bahkan kelain.an, sumpah aku ikhlas asal jangan Albizar. Albizar sudah punya anak istri. Istrinya bahkan sedang hamil lagi!” “Hah ... bukankah ini sama saja mengulang kesalahan masa lalu? Aku akan mengulang kesalahan mama! Ah ... enggak ... enggak. Aku enggak boleh begini. Lari, Kia ... lari!” Kia yang terus berbicara dalam hati, memang bergegas balik badan dan bermaksud lari. Namun Albizar yang membuatnya ketakutan hingga panas dingin sekaligus gemetaran. Albizar yang memang sangat ia hindari karena pria yang pernah meratukannya itu sudah punya istri yang sedang hamil lagi. Iya, dengan cepat Albizar menarik kunci dan membuat Kia tak bisa lari. Kia yang ketakutan di tengah jantungnya yang jadi tak karuan, berangsur balik badan. “M—maaf ... aku salah kamar!” ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar bahkan di telinganya sendiri. Suaranya tertahan di tenggorokan akibat ketakutan yang menguasainya. Karena Albizar sampai mengungkungnya menggunakan tangan kiri yang tak memegang gelas berisi wine, Kia sengaja melipir ke sebelah kirinya yang tidak dihiasi tangan kanan Albizar. Namun sebelum Kia sampai, tangan kanan Albizar sudah lebih dulu mengungkungnya. Gelas berisi wine di tangan kanan Albizar, pria itu jatuhkan begitu saja di tengah tatapan tajamnya yang terus tertuju ke kedua mata Kia. Tatapan Albizar kepadanya, dirasa Kia dipenuhi amarah bahkan kekecewaan. “Nih orang terkesan punya dendam pribadi kepadaku. Namun apa? Karena akhirnya dia tahu, aku ... jual diri?” pikir Kia. Kia masih belum menyerah, dan berangsur merunduk. Pelan tapi pasti, maksudnya ia akan kabur lewat bawah tangan Albizar. Namun lagi-lagi, dengan cepat kedua tangan Albizar bergerak. Albizar bahkan tak segan menggunakan kedua tangannya untuk menahan kedua lengan Kia. Albizar melakukannya dengan sangat kuat hingga Kia syok. “Maaf, tetapi Anda hanya boleh menyentuh saya, setelah Anda menikahi saya!” tegas Kia menolak Albizar sentuh, bahkan sekadar pria rupawan itu dekati. Ulah Albizar juga membuatnya kesakitan. Ia sungguh masih sulit percaya lantaran Albizar menjadi sosok yang sangat kasar. Padahal sebelumnya, Albizar menyikapinya dengan sangat manis. “Memangnya laki-laki waras mana yang mau menikahi wanita sepertimu? Cukup pastikan tidak ada yang menyentuhmu lagi selain aku karena aku tak mau berbagi apa pun. Apalagi berbagi teman tidur!” tegas Albizar yang bahkan langsung meninggalkan Kia, tanpa sedikit pun menyentuhnya. “Hah ...?” lirih Kia seiring tubuhnya yang berakhir terduduk lemas di lantai. Kia kebas, langit kehidupannya seolah runtuh bersama ucapan Albizar yang tak segan menyingkirkannya dengan kasar dari hadapan pria itu. “Sebegitu menjiji.kan kah, aku di matanya? Andai bisa memilih, ... atau setidaknya bisa mengubah takdir ... aku juga enggak mau ada di posisi seperti ini!” batin Kia jadi berderai air mata. Sebelumnya, Kia belum pernah merasa sakit melebihi sekarang. Bahkan luka-luka dari keluarga papanya termasuk luka dari Fero yang selalu keji kepadanya, dirasa Kia tidak ada apa-apanya. Seumur hidup Kia, luka paling menyakitkan yang ia terima memang ucapan panjang lebar Albizar barusan. “Sakit banget ya Allah!” lirih Kia yang membuat kedua jemarinya sibuk menyeka air mata di pipinya. “Nyesek banget! Dia suami orang. Dia ayah dari anak-anak tak berdosanya. Dan bahkan dia bosku. Namun, setelah aku mencoba lari darinya, dia justru mengikatku!” Andai bisa, andai takdir menjebaknya menjadi seorang pelacu.r yang kemudian berakhir menjadi wanita simpanan. Kia mau, laki-laki yang membelinya dan harus ia patuhi, bukan Albizar. Sungguh, jika bisa, Kia lebih memilih menjadi simpanan pria kelai nan, asal itu bukan Albizar. Satu jam berlalu, Kia masih terduduk loyo sekaligus pasrah di lantai sebelah pintu. Bahkan meski seseorang datang dan itu pak Hamka yang memberinya setelan kebaya putih. “Nona Kia, cepat pakai ini. Acara ijab kabul akan digelar dua puluh menit lagi,” ucap pak Hamka sambil menatap kedua mata Kia. Pak Hamka masih menyikapi Kia dengan sangat santun. Di bawah sana, Kia yang menengadah hanya untuk menatapnya terlihat sangat terkejut. Kedua mata Kia yang jadi agak sembab dan maskara di sana sampai luntur, menatap pak Hamka penuh keraguan. “Kebaya dan akan ada ijab kabul. Maksudnya, bos Al beneran akan menikahiku?” batin Kia. Albizar yang jadi menatap jijik Kia memang tetap menikahi Kia malam itu juga. Albizar melakukannya agar Kia tak disentuh laki-laki lain selain dirinya. Namun, status Kia tak lebih dari istri rahasia dan tak boleh banyak menuntut. “Di tempat umum apalagi di kantor, ... bersikaplah seolah kamu tidak memiliki hubungan denganku. Namun bukan berarti kamu bisa bebas seperti sebelumnya.” “Bersikaplah selayaknya istri yang sangat menjaga martabat suaminya. Meski di depan orang-orang apalagi keluargaku, kita terlihat tak saling kenal.” Sepanjang Albizar berbicara, selama itu juga kedua matanya memperhatikan Kia. “Sakit banget ya Allah. Namun aku harus terbiasa. Aku bisa ... aku beneran bisa!” batin Kia masih bertahan duduk di sofa meski Albizar sudah berdiri layaknya seorang raja yang tengah menghakimi hamba sahayanya. “Aku sudah membayar kamar ini hingga besok. Jangan pernah mencariku karena aku akan kembali ke rumah.” Albizar tetap pergi meski Kia belum meresponnya. Kia terus menunduk hingga Albizar kesulitan mengartikan keadaan wanita itu. Entah malu, entah kesal, entah sedih, Albizar sulit mengartikannya. Selain Albizar yang memang masih sulit menerima kenyataan bahwa cinta pertamanya jatuh kepada Kia dan fatalnya ia yakin, Kia seorang pela*ur. “Biarkan dia istirahat, tapi kamu harus awasi dia dari kejauhan,” ucap Albizar kepada pria yang sudah berdiri di sebelah pintu kamar hotel dirinya meninggalkan Kia. Albizar kembali dikawal pak Hamka. “Kesel, ... kecewa, bahkan sakit banget. Namun setelah menikahinya, aku merasa punya alasan agar dia selalu patuh kepadaku. Ya ... boleh aku akui, menikahinya cukup membuatku lega. Karena dengan kata lain, harusnya dia tak akan dekat dengan laki-laki lain selain aku!” batin Albizar masih melangkah cepat. Langkah cepat yang terjadi lantaran ia terlalu emosi. Sedih, kecewa, bahkan hancu r memang Kia rasa. Kia bahkan jadi sibuk berlinang air mata. Namun dengan tegar, Kia bangkit kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Kia membasuh wajahnya, membersihkannya dari rias tebal yang membuatnya tampak naka l. “Beginilah hidup, Kia. Jangankan yang masih hidup dan statusnya problematika seperti kamu. Yang sudah mati saja masih dipermasalahkan. Pandai-pandai jaga kewarasan saja, ya!” Lagi-lagi hati kecil Kia menasihati. Kia menyemangati dirinya sendiri, meski selama itu juga, Kia sulit menghentikan air mata maupun kesedihannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN