8. Status : Belum Kawin

1175 Kata
Semangkuk ramen sudah ada di hadapan Kia maupun Albizar di tengah kesunyian yang menyelimuti. Apalagi, sampai detik ini mereka tetap hanya berdua. “A—aku makan, ya?” ucap Kia canggung kepada pria di sebelahnya. Pria yang telah memasakkannya semangkuk ramen. Karena setelah mengaku tidak doyan pasta, dan berdalih lebih suka mi instan atau ramen, Albizar sudah langsung memesan ramen kemudian memasaknya. Setelah menyimak, Albizar berangsur mengangguk-angguk kemudian menatap Kia. “Dosa terbesarku adalah makan makanan instan. Sejak kecil aku sudah tertib karena itu aturan mama.” “Berarti kamu juga enggak boleh makan ramen? Ya sudah, ... ini buat aku saja. Kamu makan pasta saja,” ucap Kia sambil menatap Albizar. Ia mengambil alih semangkuk ramen jatah Albizar, tapi Albizar buru-buru menahannya. Albizar masih menatap Kia penuh kecanggungan. Apalagi ketika jemari tangan mereka menyentuh jemari satu sama lain. Albizar jadi tak berani menatap kedua mata Kia secara terang-terangan. “Aku tahu, ... setiap orang tua yang waras khususnya mama, pasti akan begitu. Mereka akan melarang anak-anaknya makan makanan instan. Karena yang instan cenderung hanya enak sesaat, tapi dampaknya fatal. Ya ... seperti hubungan saja,” ucap Kia mulai menyumpit rampenya. Sebenarnya Kia bingung harus melakukan atau setidaknya berbicara apa. Karenanya ketika ia makan pun, ia sengaja membelakangi Albizar. “Aku rasa hubungan kita tidak instan,” ucap Albizar benar-benar serius. Mendengar itu, Kia refleks melepeh mi ramen yang harusnya ia kunyah. Mi yang panas, juga ucapan Albizar yang bagi Kia cukup privasi, membuat Kia shock. Kia tahu, Albizar tertarik atau bahkan menyukainya. Namun bagi Kia, itu terlalu cepat bahkan instan. “Kita jalani saja. Aku bukan laki-laki yang bisa dengan mudah peduli apalagi sayang kepada wanita. Namun kepadamu, ... sejak di kamar mandi kamar hotel kamu membantuku. Aku ... aku sudah ... aku sudah menyukaimu,” ucap Albizar berat. Nyawa Kia seolah dicabut paksa ketika tangan kanan Albizar mengusap bahkan bertahan di ubun-ubunnya. Kedua tangan Kia jadi tak hentinya merinding dan itu tetap terjadi hingga keesokan harinya. Sejak ungkapan isi hati seorang Albizar, alih-alih senang, Kia justru merasa bahwa itu beban tambahan. Hidup Kia jadi terasa makin berat. Kia merasa terkekang, apalagi sikap Albizar yang selalu protektif kepadanya. Albizar terus mendekatinya, dan seolah tidak bisa jauh-jauh darinya. “Kalau di kantor, ... berpura-pura enggak kenal saja, ya. Aku ... aku bahkan enggak tahu kamu posisinya apa. Takutnya karena kedekatan kita, yang lain jadi segan kepadaku,” ucap Kia ketika mobil yang membawa mereka hampir memasuki pintu masuk utama kantor mereka bernaung. Mendengar itu, Albizar yang tengah membaca surat kabar secara online, refleks terusik. Ia menoleh kemudian menatap Kia yang duduk di sebelahnya. Kemeja lengan panjang warna hitam yang Albizar pakai, dirasa Kia amat sangat membuat pria di sebelahnya berkarisma. Andai dirinya tidak kuat iman, pasti sejak kemarin malam telah terjadi ‘sesuatu’. Ditambah lagi, meski Albizar tipikal diam khas orang cuek, kepada Kia, Albizar sangat perhatian. Sekadar menatap Kua saja, Albizar akan melakukannya dari ujung kepala hingga ujung kaku, dan itu dengan sangat saksama. “Apakah saat di kantor, kamu mengalami hal sulit?” tanya Albizar serius. Ia sungguh akan marah jika ada yang membuat Kia tidak nyaman, apalagi sampai ada yang melukai Kia. “Aku tidak tahu, apakah bagimu apa yang aku alami tergolong sulit. Namun seharian kemarin, aku sama sekali tidak dikasih pekerjaan. Mereka hanya memintaku untuk duduk dan istirahat,” balas Kia yang mengakhirinya dengan menghela napas pelan. Ia menatap Albizar dengan tatapan putus asa. “Terus setelah aku pikir-pikir, mungkin karena sejak awal aku ke kantor, aku bareng kamu. Sementara semua karyawan yang memergoki kamu bersamaku, ... iya, kan? Sepertinya mereka takut ke aku karena kebersamaan kita.” Menyimak itu, Albizar segera berdeham. Ia mengangguk-angguk paham. “Baik lah ... semangat untuk hari ini!” ucap Albizar yang kali ini tersenyum manis menatap Kia. Pak Hamka yang diam-diam mengawasi melalui kaca spion di atasnya, nyaris keselek ludahnya sendiri. “Bos Al yang sedang dalam mode jatuh cinta, ternyata bisa manis juga. Namun kok, ... kelihatannya nona Kia, biasa saja, ya? Padahal kan biasanya hampir semua wanita yang kenal Bos Al, berlomba-lomba mendapatkan Bos!” batin pak Hamka merasa aneh kepada Kia. ••• Hari ini, Kia layaknya karyawan lainnya. Pekerjaan yang menumpuk harus Kia selesaikan. Hingga Kia yang masih baru di sana jadi kewalahan. Demi menyelesaikan semua itu, Kia mengabaikan jam makan siang. Namun, ada paket makanan yang dikirimkan oleh OG atas nama Kia meski jelas, Kia tak memesannya. Namun, pesan WA manis dari Albizar menegaskan, bahwa pria itu pelakunya. Albizar : Bagaimana kalau malam ini, kita jalan-jalan? Membaca itu, Kia jadi galau. “Pengin sih, tapi dia bukan suami orang kan? Serius aku takut banget. Rasanya telanjur trauma karena aku memang terjebak di lingkungan yang sudah terbiasa menjalani hubungan terlarang. Dari hubungan Nanda dan kak Fero. Bahkan nasib hubungan orang tuaku,” batin Kia yang jadi sibuk menatap satu kantong berisi paket makanan lengkap dengan minuman kiriman Albizar. Kia belum tahu, bahwa di balik pintu ruang kerja kubikel meja kerjanya berada, ada Albizar yang diam-diam mengawasinya. Kia : Ini kamu bukan suami orang, kan? Setelah mengirimkan pesan tersebut, Kia jadi refleks menahan napas. Kemudian, ia juga memipihkan bibirnya. “Deg-degan parah!” batin Kia menunggu balasan dari Albizar. Albizar yang sudah membaca pesan balasan dari Kia, jadi makin sibuk mengawasi Kia. Namun kemudian, ia sengaja memfoto KTP yang ia ambil daro dompet di saku belakang celananya. Senyum ceria Kia setelah membaca pesannya, juga menular kepadanga. “Alhamdullilah, belum kawin!” batin Kia kegirangan karena di foto KTP yang Albizar kirimkan, status Albizar ialah belum kawin. Yang dengan kata lain, Albizar belum menikah. “Di foto KTP pun tetap seganteng ini. Ini aku rezeki nomplok banget, masa pria sekeren, seganteng ini, suka ke aku!” batin Kia yang langsung tercengang dengan kiriman pesan baru dari Albizar. Pesan baru dari Albizar berupa foto. Dan itu foto Kia yang sedang tersenyum memandangi layar ponsel. “Nih orang malah ada di depan pintu apa gimana? Dari foto yang dia kirimkan, sepertinya dia ada di pintu,” pikir Kia yang memberanikan diri untuk menoleh sekaligus menatap ke arah pintu. Benar saja, di sana sungguh ada Albizar. Berbeda ketika terakhir kali bersamanya, Albizar tak hanya memakai kemeja lengan panjang warna hitam. Karena kini. Albizar juga memakai jas hitam lengkap dengan dasi. “Gantengnya!” batin Kia. Apalagi ketika Albizar tersenyum dan itu jelas ditujukan kepadanya. Kia buru-buru menyudahi tatapannya. Kia memilih bersembunyi dari Albizar yang tetap mengiriminya pesan WA. Albizar : Nikmati makan siang dan juga pekerjaanmu. Jangan lupa, nanti setelah pulang, kita jalan-jalan. “Nih orang mau ajak aku ke mana? Padahal di sekitar apartemennya saja, sudah amat sangat mewah,” pikir Kia yang dikejutkan oleh pesan WA baru, tapi kali ini dari Nanda. Nanda : Nanti malam, nginep di kost aku, kan? Yang kemarin beneran sori, ya. Beneran di luar prediksi kalau ternyata dia datang. “Gimana ya? Ini aku jujur saja ke Nanda, apa aku harus menjadikan kesempatan ini buat melawan kak Fero?” pikir Kia, lagi-lagi merasa pusing. Lagi-lagi Kia merasa beban hidupnya bertambah karena Fero dan keluarga papanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN