1. Sah Jadi Istri
“Selamat ya, Ky, lu akhirnya jadi istri!”
Hany menyalamiku dan memeluk erat. Bibirnya tersenyum lebar dan tampak terharu atas pernikahanku dengan Mas Seno.
“Iya, dong, Hany, masa gue jadi suami. Hahaa.”
Kami tergelak bersama. Hany datang bersama Pak Handoko, yang katanya sudah menduda selama dua tahun ini dan sedang ingin mencari istri.
“Kepepet gue, Ky, abis gak ada yang mau nemenin gue kondangan.” Begitu kata Hany, setengah berbisik saat aku melirik Pak Handoko di sampingnya.
Pak Handoko adalah atasan kami di tempat kerja, kami memang jarang bertemu, dalam sebulan paling satu atau dua kali beliau mendatangi toko, hanya untuk mengecek saja lalu pergi. Tentang kedekatan Hany dan laki-laki berperut buncit itu, aku pun tak tahu awalnya seperti apa, ‘rahasia’ kata Hany sambil tertawa saat kutanya soal hubungan mereka.
Ya, aku memang dekat dengan gadis itu di tempat kerja. Namun tak begitu akrab juga, kami masih menghargai privasi masing-masing.
Kulihat, Hany dan Pak Handoko sudah menuju prasmanan. Keduanya ikut mengantri makan bersama tamu undangan lainnya.
“Ky, selamat, yaaa,” seru temanku lainnya, yang juga menyempatkan datang ke acara pernikahanku yang sederhana ini.
Satu persatu teman-teman, keluarga, kerabat, rekan kerja Mas Seno, dan tamu lainnya menyalami kami tuk mengucapkan selamat dan doa-doa keberkahan dan kebahagiaan. Kami mengaminkan penuh ketulusan.
Pesta hari ini kami gelar hanya sampai pukul sembilan malam. Selain agar tidak terlalu kelelahan, kami pun tak ingin mengganggu istirahat tetangga walau pun sah-sah saja dan sangat dimaklumi jika ada pesta hajatan digelar sampai tengah malam.
Selesai acara, sebagai keluarga dan tetangga masih duduk-duduk santai di luar, Mas Seno pun terlihat masih bergabung dengan teman-temannya yang belum beranjak pulang. Aku sendiri, lebih memilih cepat istirahat di kamar.
***
“Ky, kado lu banyak bener ini, Ky!” Enyak muncul ke kamar bersama Babeh. Wajah mereka semringah melihat tumpukan kado dalam kamar pengantinku.
Aku beranjak dari ranjang, mendekati orangtuaku.
“Ye, Mak, Alhamdulillah, ya. Rezeki namanya.” Kupeluk Enyak , Babeh. Kedua orangtuaku berkaca-kaca, aku tahu mereka terharu melihat anak gadisnya kini sudah menikah. Menikah dengan laki-laki pilihanku sendiri.
“Moga lu bahagia ya, Ky, anak Enyak yang cantik, yang baek.” Enyak menangis dalam dekapan. Aku mengaminkannya dalam hati sambil meluk Enyak erat.
Usia Enyak sudah 50 tahun sekarang, sudah lama dia menginginkan memiliki menantu, dan punya cucu. Kata Enyak, kalau aku dan Bang Guntur sudah menika semua, lepas sudah tanggung jawab mereka sebagai orangtua. Sudah lega.
“Ky, yang taat sama suami lu, ya. Hormati, hargai si Seno. Babeh cuma nasehatin elu, biar keluarga elu jadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Diberkahi Alloh.”
“Iya, Beh. Kyara janji bakal taat dan patuh suami.”
Enyak melepaskan pelukannya. “Nah, gitu dong, Ky, kayak Enyak lu ini pan taat sama Babeh elu. Ye kan, Bang?” Enyak menyenggol pinggang Babeh. Babeh mengusap sayang kepala Enyak.
“Iye, iyeee, Enyak terbaek pokoknya dah!” puji Babeh
Aku hanya tersenyum melihat tingkah kedua orangtuaku. Mereka adalah orang tua terbaik, orang tua panutan, tidak hanya bertanggung jawab anak-anaknya, tetapi juga tak pernah lelah mencurahkan kasih sayang. Dari kecil hingga aku sebesar ini. Enyak yang meski cerewet, tak pernah memarahiku dengan kata-k********r, begitu juga Babeh, ia sosok ayah hebat.
“Kalau kalian melakukan kesalahan, itu berarti Babeh gak becus didik kalian. Babeh kagak mau marah, apalagi mukul. Sebagai orang tua, Babeh wajib menasehati, memberi contoh yang baik, nah, tergantung gimane kalian, mau jadi anak-anak yang baek kagak? Kalo mau, nyok dengerin nasehat Babeh. Taat dan patuh lah kalian sama orang tua.”
Kata-kata itu sering sekali Babeh katakan setiap aku dan Bang Guntur bandel. Di rumah kami, Bang Guntur lah yang sering berbuat ulah, sudah pemalas, dia juga senang keluyuran. Enyak dan Babeh kadang Cuma bisa elus d**a dan geleng-geleng kepala.
“Ky, Enyak sama Babeh ke tenda dulu, ya. Ada Cing Jubaedah di sono, sama Wak Darmi. Lu minta suruh Guntur aje kalo ada perlu,” pesan Enyak.
Aku terkikik. Ngapain juga minta bantu Bang Guntur, kan aku sudah bersuami sekarang.
Kata Enyak Mas Seno masih berbincang-bincang dengan teman-temannya. Karena masih merasa pegal-pegal, aku kembali merebahkan badan di ranjang. Seharian berdiri, duduk, berdiri, duduk sambil tersenyum manis sampai semuanya terasa pegal, tapi nikmat bahagianya luar biasa.
Aku sudah sah jadi istri.
Istrinya Mas Seno.
Kuingat kembali masa-masa pacaran kami yang terbilang singkat. Lucu juga kalau diingat-ingat, kebetulan aku anak baru di Supermarket, bekerja sebagai kasir, dan Mas Seno sebagai supervisor. Cinta datang begitu saja, saat kami bertemu, ada desir halus dan perasaan aneh yang aku sendiri menyebutnya entah. Mungkin cinta, cinta pada pandangan pertama.
Entah siapa yang lebih dulu, akhirnya kami saling mengenal dan cepat akrab. Mas Seno tidak hanya tampan, ia pribadi yang baik dan ramah. Aku yang periang dan senang bercanda menjadikan kami klop, hampir setiap bertemu gelak tawa menghiasi kebersamaan kami. Enam bulan menjalin hubungan, Mas Seno memutuskan untuk melamarku. Dan kini ... aku telah resmi menjadi istri Mas Seno.
Cinta ...
Aku tak mengerti, bagaimana menjadi istri yang baik untuk suami. Menyenangkannya. Membuatnya nyaman. Semuanya. Akan tetapi Enyak bilang, yang penting taat dan patuh apa kata suami, jangan suka membantah. Itu saja.
***
“Ky, kamu tidur?”
Tiba-tiba Mas Seno sudah ada di kamar pengantin kami yang didekorasi sangat cantik. Aku Mengangkat kepala dan melihat jam di dinding kamar. Sudah menjelang tengah malam, berarti sudah hampir tiga jam aku pulas tertidur.
“Mas, kamu sudah ganti baju?” Kulihat Mas Seno sudah mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana boxer hitamnya. Baru kali ini aku melihat laki-laki yang kini telah bestatus suami itu mengenakan celana pendek.
Dadaku berdegup tidak keruan. Ada rasa malu, sekaligus penasaran.
“Ngeliatnya biasa aja, Beib. Udah gak sabar, ya.” Dia tergelak, dan aku berhasil menimpuk pundaknya dengan bantal.
“Apaan, sih!” sungutku. Memasang tampang manyun.
“Canda, ih, ngambekan.” Mas Seno memperhatikan wajahku dengan tatapan gemas, entah gemas entah tersihir, entah apa. Tapi aku sangat suka Mas Seno menatapku begitu.
“Eh, Mas, kita bukain kado, yuk!” Aku mengalihkan pembicaraan, menunjuk kado-kado yang tadi masih belum tersentuh sama sekali.
“Banyak juga, ya,” ucap Mas Seno, ia pun beranjak menuju meja yang bertumpuk kado di atasnya. “Ada kado kolor gak kira-kira?”
“Astagaaa, hahaa.”
Geli banget dengernya!
Aku ikut mendekati meja, kami sibuk memindahkan kado-kado itu di atas kasur. Dan mulai membukanya satu persatu.
“Beib, kadonya kebanyakan alat dapur. Hahaa!” Mas Seno menunjukkan satu set alat memasak, panci merek terkenal yang lumayan harganya.
“Lucu, Mas. Warnanya ungu lagi.” Kuraih kardus set panci berwarna ungu di tangan Mas Seno. “Tapi kan aku gak pinter masak,” rajukku, lesu.
“Gapapa, Beib, kamu gak jago di dapur asal jago di ranjang.”
“Paaan, sih, iihh!”
Dasar Mas Seno, pintar sekali dia menggodaku.
Kami terus melempar canda, tangan sibuk membuka kado-kado itu penuh semangat. Sesekali kami saling timpuk bantal. Saling melotot dan tertawa keras. Entah apa yang dipikirkan orang-orang yang mendengar suara kami di luar kamar, kami sangat heboh malam ini.
Hingga tanganku meraih sebuah kado berukuran sedang. Dan membukanya seperti yang sudah-sudah, sangat bersemangat.
Aku mengerutkan dahi, setelah melihat barang apa yang kutemukan di dalamnya. Kado satu ini ... berbeda.