"Amnesia?!" ulang Isyana dengan kebingungan. Pria tampan itu sepertinya yang kurang waras, pikirnya.
Harvey merasa habis kesabaran, dia sedang dikejar waktu karena Oma Widya harus segera dioperasi oleh dokter bedah. Dia pun akhirnya bertanya kepada gadis yang ada di hadapannya, "Okay, jadi siapa namamu? Kau bilang anak buahku salah jemput orang 'kan?"
Sebuah tangan kanan yang ramping berjemari lentik terulur di depan Harvey. "Kenalkan, namaku Isyana Prameswari! Siapa nama kamu, Mas?"
"Aku Harvey, panggil aja begitu. Jadi kamu bukan Rania Devina, hmm?" selidik Harvey. Dia menerima dengan kenyataan bahwa anak buahnya memang salah jemput orang yang pakaiannya sama gaun panjang warna merah.
"Siapa tuh? Kayak nama artis film pendek di TV deh, yang jelas itu bukan aku ya! Oya, kalau seumpama aku nebeng sampai di Greenwich Tower apa bisa? Aku akan ganti bensinnya lima puluh ribu rupiah deh!" Isyana berharap dia bisa menumpang pulang ke apartemennya karena ponselnya sudah habis daya dan mati. Mana bisa memanggil taksi online.
"Boleh. Anggap saja gratis, tapi syaratnya kamu harus mau berpura-pura menjadi istriku. Mungkin hanya sekitar tiga sampai enam bulan. Bagaimana?" tawar Harvey dengan tatapan penuh harap.
Isyana pun teringat bahwa tunangannya yang bernama Pedro telah mengkhianatinya tadi. Pria tak setia itu telah menggantikannya dengan Alicia sebagai calon istri. Dia pun tak mau bekas adik tirinya yang kegatelan itu. Alicia mengaku telah hamil benih dari Pedro di hadapan keluarga besar Husodo.
"Hmm ... sebetulnya aku juga sedang membutuhkan suami secepatnya sebagai pengganti mantan tunanganku yang lebih memilih untuk menikahi adik tiriku karena mereka kumpul kebo di balik punggungku!" cerita Isyana dengan jujur sambil menahan air mata yang nyaris luruh.
Harvey meraih tangan kanan Isyana lalu menepuk-nepuknya pelan dengan telapak tangan lebar miliknya. "Sudah, lelaki tak berguna itu lebih baik kau hempaskan saja. Jadilah istri sementara untukku. Kamu mau 'kan?" Pria berahang kokoh dengan hidung mancung dan manik mata kecoklatan itu menatap Isyana dengan penuh harap.
Sebuah anggukan kepala Isyana membuat Harvey lega luar biasa. "Okay, aku mau jadi istrimu. Apa ada kesepakatan yang harus kupatuhi atau surat kontrak di antara kita?" ujar wanita berusia 25 tahun itu waswas.
"Bob, ambil amplop cokelat di dalam laci dashboard!" titah Harvey lalu dia menerima uluran surat kontrak pernikahan yang telah disiapkan notaris sebelumnya. Dia lalu berkata kepada Isyana, "baca lalu tanda tangani surat ini. Aku akan memberimu jatah uang bulanan senilai satu milyar selama kau menjadi istri kontrakku!"
"Hahh? Apa aku tak salah dengar? S—satu milyar sebulan?" ulang Isyana untuk meyakinkan dirinya bahwa Harvey tak salah sebut.
"Kenapa? Apa kurang satu milyar sebulan?!" sahut Harvey dengan alis tertaut agak kesal. Dia pikir Isyana ingin menuntut nominal lebih besar.
Wanita muda itu pun menggeleng cepat. "Tidak. S—satu milyar cukup, Mas Harvey. Kamu baik banget!" pujinya. Dengan segera Isyana membaca sekilas isi surat perjanjian nikah kontrak itu, cahaya lampu mobil menerangi di atas kepalanya. Akhirnya, dengan yakin dia membubuhkan tanda tangan disertai nama terang di dua lembar surat penting itu.
"Good. Satu salinannya untukmu, simpan baik-baik jangan sampai hilang apa lagi bocor!" pesan Harvey dengan sebersit senyuman puas.
"Bob, kita ke rumah sakit. Aku akan temui Oma Widya bersama istri baruku!" titah Harvey dengan suara berwibawa.
Isyana pun menghela napas lega, dia memiliki kebutuhan yang sama dengan Harvey tentang pernikahan. Mendiang papanya memberikan wasiat mengenai harta warisan. Setelah Isyana menikah maka beberapa properti berharga dan juga deposito bank berhak untuk diterima oleh Isyana dan dimanfaatkan sesuai kehendaknya.
Marissa Gunarti, istri kedua mendiang papanya memiliki hak mengelola beberapa properti berharga itu selama Isyana masih belum menikah. Jadi dia dengan culas menyuruh putrinya yaitu Alicia untuk merebut tunangan Isyana dan berimbas pada kegagalan pernikahan mereka.
Sesampainya di pintu masuk lobi Rumah Sakit Mitra Keluarga Jakarta Selatan, Harvey membantu Isyana turun dari mobil. Dia meletakkan tangan istri barunya di lekuk lengan kokohnya. "Kita temui Oma Widya ya. Kuharap kamu bisa lebih ramah kepadanya saat berkenalan, Isyana!" pesan Harvey dengan suara bass yang lirih di dekat telinga Isyana.
"Tenanglah, aku paham!" jawab Isyana singkat. Dia lalu berkata lagi saat masuk lift berdua saja menuju lantai enam, "Mas Harvey, aku punya satu permintaan. Setelah kita menikah secara resmi di balai kota besok, tolong temani aku untuk berkunjung ke rumah keluargaku."
"Okay, boleh saja, Istriku!" jawab Harvey ringan lalu dia menyeletuk, "malam ini kau pulang ke rumahku. Jangan protes!"
Sontak Isyana mematung karena syok. Dia menoleh ke samping dan melirik wajah suami barunya. "Apa nikahnya bohongan, tapi malam pertamanya betulan?" tanya Isyana dengan polos.
"HAHAHA. Menurutmu?" balas Harvey dengan geli. Dia merasa istri kecilnya itu agak lucu dan juga masih lugu. Pastinya seorang perawan.
Isyana belum sempat menjawab, tetapi lift telah berbunyi dan mereka sampai di lantai enam. Dia segera diajak masuk ke sebuah ruangan ICU berkelas VVIP di mana seorang wanita tua berusia 72 tahun sedang terbaring di atas ranjang. Banyak kabel serta selang menempel di tubuhnya dan terhubung ke peralatan medis.
"Oma, perkenalkan ini Isyana Prameswari. Istrinya Harvey. Benar 'kan aku menepati janji? Jadi besok pagi jadwal operasi pemasangan ring jantung Oma Widya jadi dilaksanakan oleh Dokter Tito ya?" ujar Harvey sembari merangkul mesra lekuk pinggang ramping Isyana.
Demi akting yang meyakinkan di depan Oma Widya, maka Isyana tidak komplain. Dia memperkenalkan dirinya ke Oma Widya dan disambut dengan senyum kegembiraan yang terpancar dari wajah keriput itu.
"Oma senang mendengar kabar pernikahan kalian. Semoga langgeng dan bisa beranak cucu yang banyak ya, Harvey dan Isyana!" ujar Oma Widya seraya menyatukan tangan Harvey dan Isyana.
Sedikit absurd bagi kedua muda-mudi yang menikah dadakan, tentunya berdasar relation with benefit. Namun, Harvey dan Isyana berakting kompak menyetujui keinginan Oma Widya.
"Harvey, nanti kalau Oma sudah keluar dari rumah sakit. Oma berharap istri kamu sudah hamil dan Oma bisa memiliki cicit pertama!" pinta wanita yang hanya memiliki dua orang cucu laki-laki saja itu.
Sepupu Harvey, Lorenzo, menolak untuk menikah muda hanya demi operasi nenek mereka. Akhirnya, Harvey yang menerima tanggung jawab itu.
Setelah mendengar bahwa dia harus membuat anak dengan Harvey, tiba-tiba Isyana menyesal telah setuju menikah kontrak dengan pria itu. Pasalnya, dia akan menjadi janda beranak satu saat Harvey sudah tak membutuhkan kehadirannya. Ditambah dia harus melakukan hubungan suami istri dan mempersembahkan mahkota kesuciannya untuk suami dadakannya itu.
"Isyana Sayang, kamu harus sayangi dan jaga cucu kesayanganku baik-baik ya. Berjanjilah kepadaku!" pinta Oma Widya dengan pandangan lurus tertuju ke cucu menantunya tersebut.
Seolah-olah terhipnotis oleh tatapan mata Oma Widya, dia pun mengangguk dan berkata, "Iya, Oma. Aku janji!"