Dihina Karena Disangka Miskin

1097 Kata
Isyana menimbang-nimbang tuntutan dari Harvey lalu menjawab, "Baiklah. Kalau memang harus melahirkan anak untukmu, aku akan coba—" "Kau hanya perlu setuju, selebihnya serahkan saja padaku. Aku lebih dari sanggup untuk membuatmu hamil seperti adik tirimu itu!" Harvey mengerlingkan sebelah matanya sembari terkekeh. Dia memanggil taksi dan meminta Isyana memberi tahukan alamat rumah ibu tirinya. "Pak, Jalan Nakula nomor delapan belas!" ucap Isyana kepada sopir taksi lalu mobil itu pun meluncur menuju ke rumah peninggalan mendiang papanya. Sesampainya mereka di sebuah rumah mewah bergaya bangunan kuno tiga lantai di tengah kota, Harvey membayar ongkos taksi lalu mereka berdua berjalan kaki memasuki halaman luas rumah tersebut. Ternyata sedang ada acara perayaan di sana, mobil-mobil mewah berbagai merk terparkir berjejer di halaman depan. Suara musik berirama riang diputar menyemarakkan suasana pesta diselingi bunyi denting peralatan makan. "Mas Harvey, mungkin kita terlalu cepat ke mari. Seharusnya besok saja daripada menyela perayaan pernikahan Alicia dan Mas Pedro. Kita pulang saja deh, Mas!" sesal Isyana. Dia ingin berbalik badan untuk meninggalkan rumah itu. Sayangnya terlambat, dari arah belakang mereka justru pasangan Pedro dan Alicia memergoki kedatangan Isyana bersama suami barunya. "Selamat datang di perayaan pernikahan kami. Kenapa harus cepat-cepat pulang setelah repot naik TAKSI ke mari?!" seru Alicia dengan suaranya yang nyaring dan melengking. Sontak kepala orang-orang yang sedang berpesta menoleh ke arah pintu masuk depan. Mereka penasaran ada ribut-ribut apa gerangan dan mulai berkerumun mengelilingi kedua pasangan itu. Tak ketinggalan Nyonya Marissa, mama Alicia bergegas menghampiri putri sambungnya yang membawa seorang pria asing. "Wow, Isya ... siapa pria ini? Lumayan tampan sih, tapi ckckck bajunya lusuh sekali. Seperti lap dapurku saja!" ujar Nyonya Marissa berlebihan seperti biasanya. Isyana pun dengan segenap keberaniannya menjawab, "Ehm ... Tante, kebetulan sekali sudah kepalang basah. Tadinya aku ingin kembali lain waktu saja setelah perayaan pernikahan Mas Pedro dan Alicia usai. Mungkin kita bisa bicara empat mata di tempat lain yang lebih pribadi!" "Di sini saja! Kenapa harus berahasia begitu, Isya?!" tolak Nyonya Marissa dengan sengaja. Dia ingin mempermalukan anak tirinya itu. "Baiklah. Jadi karena aku sudah resmi berkeluarga, maka hak atas harta peninggalan mendiang papaku sudah bisa kukelola sendiri, bukan? Tolong panggil Om Revan agar menyelesaikan proses pengalihan hak waris itu, Tante!" tutur Isyana dengan nada sopan dan jelas. Harvey menebak dalam hatinya, situasi yang dihadapi oleh istrinya tak akan semudah membalikkan telapak tangan, dan dia benar. "Ohh ... rupanya itu. Kau tahu apa arti berkeluarga 'kan, Isya? Berkeluarga itu menikah dan memiliki anak dari suami yang kau nikahi dengan sah. Jangan samakan dengan kau memungut gembel di pinggir jalan lantas kau akui sebagai suamimu. Hahaha!" Nyonya Marissa mencermati sosok Harvey dengan lebih jeli lagi. Namun, sebelum dia melontarkan kata cemoohannya pada suami Isyana, menantu barunya berbicara mendahuluinya, "Isya ... Isya ... apa kau sudah buta dan putus asa hingga membuang berlian sepertiku lalu menggantikanku dengan batu kerikil di pinggir jalan ini? Bodohnya kau!" "Mas Harvey, tolong tenang!" sergah Isyana sebelum suaminya naik pitam dihina begitu rendah dan diremehkan oleh orang-orang itu. Alih-alih marah, Harvey justru menikmati pertunjukan drama keluarga sok kaya itu. Dia hanya tersenyum tipis dan menjawab, "Biarkan mereka meninggikan diri di hadapanku. Tak biasanya hal seperti ini kutemukan, Sayang!" Isyana yang tahu identitas Harvey yang seorang milyarder, tetapi entah apa bisnis yang dimiliki pria itu. Dia merasa sedikit dilema. Maka dia pun memutuskan fokus dengan urusannya saja. "Jangan mengalihkan topik pembicaraan kita, Tante Marissa. Jadi apa pasal dari surat wasiat mendiang papa ada yang menyinggung tentang memiliki anak barulah aku bisa mengklaim hak atas warisan beliau untukku? Ini sungguh tidak adil!" protesnya. "Hey, Kak. Aku sudah akan menjadi seorang ibu dan memberikan penerus untuk pewaris Grup Husodo. Kenapa Kak Isya tidak melahirkan anak suami pilihanmu itu saja? Bukankah hamil hanya perlu sembilan bulan?" pancing Alicia yang sama licik dengan ibunya. Wajah Isyana sontak merona, dia belum pernah disuruh cepat-cepat hamil seperti itu di hadapan banyak orang. Terlebih lagi penampilan Harvey yang menyamar sebagai orang biasa membuat semua mata menatap rendah pria itu. Karena kesal istrinya ditekan terus dan dipermalukan oleh sebab penampilannya yang seperti pemuda miskin. Akhirnya, Harvey pun berkata, "Baiklah, sembilan bulan lagi kami pasti akan kembali. Saat itu tiba, jangan mengelak lagi memberikan hak waris untuk istriku!" Pedro dan seluruh keluarga Husodo tertawa meremehkan Harvey. Bahkan, Tuan Arifin Husodo ikut angkat bicara, "Hey, Anak Muda. Kau berharap bisa mencicipi harta warisan istrimu ya? Mujur sekali nasibmu menggantikan putraku, Pedro!" "Aku memang lelaki beruntung karena mendapatkan Isyana. Dia seorang wanita yang baik dan berbudi pekerti luhur. Bukankah itu sangat langka hari-hari ini?" balas Harvey dengan menohok seraya melirik ke Alicia yang hamil sebelum menikahi calon suami kakak tirinya. Dengan geram Pedro menarik kerah kaos Harvey erat-erat. "JAGA BICARAMU! LELAKI MISKIN TAK USAH BANYAK BACOT!" teriaknya kalap. "Ohh ... apa kau tersinggung karena istrimu yang kurang didikan itu?" sindir Harvey dengan seringai mengejek. Kepalan bogem mentah Pedro terangkat dan ingin menghantam wajah Harvey. Akan tetapi, Isyana segera menahan tangan mantan tunangannya itu. "Mas Pedro, demi masa lalu kita. Tolong, jangan membuat keributan!" tegur Isyana, menolong Harvey agar tak babak belur. Pedro pun menuruti kata-kata mantan terindahnya itu. Dia menatap wajah cantik nan anggun Isyana dengan jantung berdesir. 'Seharusnya kau milikku, Isya! Aku menyesal telah berselingkuh dengan adik tirimu yang gampangan itu,' batin Pedro kesal pada dirinya sendiri. Alicia segera bergelanyut di lengan suaminya. "Mass, ngapain buang-buang tenaga buat mereka. Aku lapar, yuk kita makan saja. Kasihan calon anakmu juga kelaparan di dalam sini!" ujar wanita itu sembari mengelus-elus perutnya yang masih rata. Kemudian dia menyeret Pedro menuju ke ruang makan. Mendengar perkataan Alicia, perasaan Isyana mengeras kembali. Tadinya dia terkenang dengan masa pacaran dirinya dan Pedro yang berlangsung lama dulu. Namun, semua tinggal kenangan dan dia dipaksa untuk cepat move on. "Sayang, kita pergi saja ya. Aku ada beberapa pekerjaan!" ajak Harvey setelah melihat istrinya melamun menatap kepergian Pedro dan Alicia ke dalam rumah. "Ckckck, kau bekerja sebagai apa, Anak Muda? Office boy atau cleaning service, hahh?!" tanya Nyonya Marissa dengan sombong. Dia puas karena anak tirinya mendapatkan pria payah sebagai suami. "Pekerjaanku sangat banyak, Tante. Aku mengumpulkan uang dengan bekerja keras setiap harinya!" jawab Harvey merendah. Memang realitanya seperti itu, tetapi kerja kerasnya beda dari yang dibayangkan oleh ibu tiri Isyana. Tawa nyaring itu memekakkan telinga, Isyana tak mempedulikan ibu tirinya yang salah mengerti maksud Harvey. Dia mengucap kata pamit lalu bergegas menggamit lengan Harvey untuk meninggalkan rumah yang seharusnya jadi hak miliknya sebagai pewaris. Di trotoar depan pagar gerbang rumah, sebuah mobil sedan mewah dengan cat mengkilap warna merah metalik berhenti untuk menjemput Harvey dan Isyana. "Ladies first, Isyana Sayang!" ujar Harvey membukakan pintu mobil untuk istrinya yang mempesona.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN