Night 32: Past and Present

1773 Kata
* Berengsek! Baji.ngan! Suara dalam kepala Imdad memaki dirinya sendiri. Ia baru saja bersetubuh dengan seorang wanita bayaran lalu membunuhnya beserta keempat rekannya. Sekarang ia bercum.bu dengan seorang gadis lugu yang siap menyerahkan diri padanya. Wanita ini sangat manis dan mendatanginya dengan matanya yang bulat berbinar-binar itu. Tak salah jika ia menganggapnya bak seekor anak anjing yang berlari di antara kakinya, mengiringinya sambil menyalak-nyalak riang. Terkutuklah juga dirinya yang mengumpamakan wanita cantik ini sebagai anak anjing. Dengan kasar Imdad melepaskan ciumannya dan mendorong Delisha sehingga membentur pintu dan mendesah menahan sakit. Imdad menyadari ia tak dapat mengontrol tenaganya karena otaknya berusaha mengendalikan kebutuhan mendesak yang bersumber dari selangkangannya. Matanya nyalang dan jemarinya mencengkeram pundak wanita itu. "Ini adalah pertanda bagimu untuk berhenti!" ujarnya tegas. "Saat seorang pria menjauh darimu, itu artinya ia memang tidak ingin didekati. Ingat itu! Aku tahu kau menyukaiku, tapi jangan biarkan dirimu jadi b***k cinta, Marianne-ji" kata Imdad lagi, seakan memberi tamparan keras ke wajah Delisha. "Itu satu pelajaran lagi yang harus kau ingat." Mata Delisha terbelalak mendengarnya. Lagi-lagi pria itu mengintimidasinya sedemikian rupa sama seperti ketika dia menyinggung soal Anjali. Betapa bodohnya dirinya. Delisha mengatup mulutnya kuat-kuat, menahan diri agar tidak bicara lagi. Aku dan mulutku, rutuknya dalam hati. Imdad melangkah mundur memberi ruang untuk Delisha. "Sekarang, keluar! Aku mau mandi. Ada percikan darah dan keringat wanita itu di tubuhku." Delisha belum beranjak. Matanya memercikkan api amarah. Dalam hatinya menyebut berbagai kata makian bercampur berbagai jenis binatang. "Atau kau ingin mencampur keringatmu di tubuhku?" lanjut Imdad dengan sebelah alis terangkat dan pundak ditegapkan, menggertak wanita di hadapannya. "Ah, menjijikkan!" bentak Delisha sambil berbalik dan keluar dari kamar dengan membanting pintu. Setelah wanita itu keluar, Imdad melemaskan bahunya. Satu lengan bertumpu pada pintu. Ia mengacak-acak rambutnya dan bergumam kesal "Ah, bener-benar ...." Ia tak melanjutkan. Kehadiran Marianne atau siapa pun namanya wanita itu, selalu membuatnya dalam posisi serba salah. Imdad berbalik dan melangkah menuju kamar mandi. Tubuhnya penuh noda, ia merasa kotor dan harus segera membersihkan diri. Delisha berdiri di luar kamar dan memasang tampang merengut. Beberapa pria dari Xin India datang untuk membersihkan tempat kejadian. Pegawai Xin semuanya seperti anjing dobermann di mata Delisha. "Ada apa, Marianne-ji?" tanya Sunil yang baru keluar dari kamar tempat jasad-jasad bergelimpangan, melihat wanita itu cemberut di depan kamar yang tertutup rapat, seperti anak anjing yang diusir keluar kamar oleh tuannya. Dari cara Sunil menatapnya, Delisha seakan bisa membaca pikiran pria itu. "Nahin hai, nahin hai!" Dia menjawab Sunil sambil berlalu dan keluar dari kondominium melalui pintu belakang. Sebaiknya dia mencari tempat sepi untuk memaki. Jika saja Imdad berpenampilan seperti anjing dobermann. Lagi-lagi, dia tak dapat menahan pesona Imdad saat pria itu mengintimidasinya. b***k cinta?? Huuu, Delisha menangis dalam hati. *** Mobil SUV hitam dengan plat nomor disamarkan masuk ke sebuah gang gelap dan berhenti di situ. Sosok dalam setelan hitam keluar dari mobil tersebut, lalu masuk ke kursi penumpang mobil SUV hitam yang lain. Mobil yang dinaikinya bergerak membawanya keluar dari gang, sementara mobil yang ditinggalkannya diurus orang lain. Dalam mobil, sosok bersetelan hitam itu membuka penutup kepalanya, menampilkan wajah tampan Aftab Shivdasani. Ia membuka setelannya dan anak buah yang duduk di sampingnya menyerahkan jas berwarna gelap padanya. Aftab melapisi kemejanya dengan jas tersebut, lalu merapikan rambutnya. Mobil yang ditumpanginya membawanya ke parkiran bawah tanah Hotel Golden Star. Diiringi seorang anak buahnya, Aftab masuk ke lift dan meletakkan kartunya ke sensor di lift. Lift tersebut membawanya naik menuju Lantai 49. Tiba di Lantai 49, Aftab berjalan di koridor diiringi anak buahnya. Namun ketika tiba di depan pintu bertuliskan CEO, Aftab masuk ke ruangan itu seorang diri. Ia berdiri di depan sebuah meja kerja dan seseorang duduk di kursi putar besar berlapis kulit hitam. Kursi itu membelakangi meja. "Saya datang untuk melapor, Bos. Semua sudah dilaksanakan sesuai instruksi Anda," kata Aftab. "Bagus!" sahut Devdas Star Tailes dari balik kursi. Tangannya bertaut dan matanya menggelap dingin. "Malam ini Imdad Hussain pasti mati, hahaha ...," ujar Aftab sambil tertawa puas. Sementara Devdas makin tenggelam dalam kelam. Ia tidak bisa berpuas diri sebelum melihat sendiri jasad Imdad Hussain. Dalam pikirannya, dirinya terbawa pada keadaan 250 tahun yang lalu…. "Dari mana asalmu?" tanya wanita itu padanya. Sinar matahari menambah cerah mata beriris cokelat itu. Tubuhnya yang putih mulus tanpa sehelai kain pun menutupi, dalam posisi merangkak, sebagian terendam di air. Air sungai yang jernih memantulkan cahaya matahari, membuat permukaan sungai gemerlapan bak berlian. "Sangat jauh dari sini," jawab Devdas. Wajahnya jauh lebih tampan pada saat itu. Tanpa beban, belum terkontaminasi tekanan kehidupan sebagai makhluk bumi. Sayap putih di pundaknya mendorong udara sekitarnya dan memercikkan air sungai ketika ia bergerak untuk berdiri tegak dan sayapnya terkembang. "Kyaah!" Wanita itu terpekik kecil dan melindungi wajahnya dengan punggung tangan ketika air terpercik padanya. Dia tertawa geli dan suara tawanya membuat sesuatu dalam da.da Devdas berdesir hangat. Selama ia menjalankan tugas untuk mencabut nyawa makhluk hidup, ia tak pernah mendengar suara tawa. Tidak pernah mendengar suara seindah itu. "Aku tahu ada dunia lain selain dunia Tuanku, meskipun aku tak pernah ke sana," kata wanita itu lagi. Dia menelentangkan tubuhnya dan memainkan kakinya di air, menimbulkan suara gemericik dan percikan-percikan air berkilauan. Dia membiarkan makhluk bersayap itu memandangi tubuhnya, selama yang diketahuinya makhluk itu bukan manusia, dia tidak merasa keberatan. Lagi pula, hanya dia sendiri yang bisa melihat makhluk itu. "Apakah kau tidak takut denganku?" tanya Devdas dengan angkuh. Matanya menggelap dan dagunya terangkat. "Kau tampaknya orang baik-baik. Kenapa aku harus takut?" "Aku adalah Kematian. Semua orang takut padaku." Wanita itu menarik napas dalam dan mata terbuka lebar "Kematian? Apa kau hendak membawaku?" tanyanya demikian, tetapi dengan mata berbinar riang gembira. Dia sering melihat orang mati dan arwah gentayangan, tetapi baru kali ini dia melihat si Pencabut Nyawa. "Tidak," jawab Devdas. "Ini bukan saatmu, lagi pula bukan aku petugasnya." "Jadi, kamu bukan satu-satunya?" tanya wanita itu bersemangat. Dia bergegas berdiri, hanya kakinya dalam air hingga lutut. Devdas sering melihat makhluk tanpa busana, akan tetapi berjarak hanya sejengkal dengan wanita initu, membuat wajahnya mememanas dan merah sampai ke daun telinga. "Ya, ampun, wajahmu memerah, hahaha, lucu sekali, kau seperti bayi yang baru lahir." Devdas mendecak dan mengalihkan pandangannya. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berjingkat karena perbedaan tinggi tubuh mereka untuk meneliti dengan seksama wajah pemuda bersayap itu. "Karena kau bukan satu-satunya, kalau begitu ...," mata mereka bertaut, "Kematian, siapa namamu?" "Devdas," jawab Devdas pelan, malu-malu. Mata wanita itu berkedip-kedip. "Siapa namamu?" Devdas balik bertanya. Wanita itu berbalik karena mendengar suara memanggilnya. "Chandni!" seru seorang lelaki dari balik pepohonan. "Tuanku Raj!" sahut wanita di depan Devdas. Bulan. Chandni artinya Bulan. Seorang pemuda tampan dalam busana jubah bersulam emas dan berhiaskan aneka batu permata muncul dari balik pohon. Turban dengan batu permata besar bertengger di kepalanya membuat pria itu semakin memesona dan menunjukkan bahwa ia adalah seorang penguasa. Melihat wanita yang dicarinya dalam keadaan polos bak bayi baru lahir, Raj tersenyum simpul. "Rupanya kau di sini, mere chandni!"ujarnya. "Maafkan hamba, Tuanku," sahut Chandni. "Hari cerah dan airnya sangat segar, sayang sekali jika disia-siakan, membuat hamba ingin berendam." Pria bernama Raj itu mendekatinya, tidak memedulikan sepatu dan jubah kebesarannya terendam air. Tangan besar dan kasar yang terbiasa memegang pedang dan busur itu menangkup wajah cantik Chandni dan melumat bibir merah segarnya. Tangannya yang lain melingkari pinggang Chandni dan merengkuh tubuh polos itu ke dalam jubahnya. Mereka berciuman hingga kaki Chandni lemas dan hampir jatuh. "Hanya ada kita berdua di sini, sayang sekali jika disia-siakan," gumam Raj dengan menyentuhkan dahinya ke dahi Chandni. Chandni melirik ke belakangnya dan tak melihat lagi pemuda bersayap tadi. Kematian bernama Devdas itu sudah pergi. Dia tersenyum pada Raj. "Ya, Tuanku Raj, hamba siap melayani Tuanku," sahut Chandni. Chandni duduk di batu besar dan datar, memandangi Tuan-nya membuka jubahnya sendiri tanpa berkedip. Mata Tuan-nya juga tak lepas darinya. Saat pria itu tidak mengenakan apa pun di tubuhnya, ia menjangkau wajah Chandni lalu merebahkannya ke permukaan batu. Sebelah kakinya menaiki batu dan dengan satu tangan ia membuka kaki wanitanya dan memposisikan dirinya di antara kedua kaki halus mulus itu. Gemricik air dan deru air terjun kecil di dekat sungai, dibarengi desiran angin di antara dedaunan. Sesekali cuitan burung hutan bersahutan, menjadi suara latar belakang bagi dua orang yang tengah beradu napas di atas batu besar itu. Tubuh besar berotot padat dan berkulit terang mengungkung tubuh halus lembut di bawahnya. Kedua tubuh itu bergerak berirama cepat laksana memacu kuda. Tangan dan kaki Chandni bertaut di tubuh Raj, seakan takut lepas. Seluruh keperkasaan tubuh pria itu memasuki pintu surganya hanya untuk memberi kenikmatan yang menjalar ke sekujur tubuh mereka berdua. "Mere Chandni ...," desah Raj sambil menundukkan kepala dan bibirnya menelusuri leher wanita di bawahnya. Chandni tertawa geli ketika napas Raj membelai kulitnya. Pria itu menyesap kuat tiap senti kulitnya sambil tanpa henti memberikan dorongan ke dalam tubuhnya, membuat sesuatu di antara mereka mendesak ingin meledak. Kepala Candni terdongak di tepi batu. Rambutnya tergerai bebas dan ujungnya menyentuh permukaan sungai. Matanya nanar memandang terbalik ke arah pepohonan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis memabukkan yang membuat lekukan di kedua pipinya. Tak ada orang lain di sekitar sungai itu. Hanya ada seorang makhluk bersayap putih, memandanginya dari dahan pohon di pinggir sungai. Devdas semula tidak memahami kenapa makhluk rendahan seperti manusia dan binatang gemar melakukan persetubuhan yang mana pada mulanya terlihat agak menjijikkan. Akan tetapi melihat bagaimana wajah wanita itu menjadi begitu cantiknya dan bercahaya laksana bulan, membuatnya ingin melihat dari dekat dan berpikir bagaimana jika dirinya yang membuat wanita itu berekspresi demikian. Bukan pria yang sekarang menyatukan tubuhnya dengan wanita itu. Pria bernama Rajputana Udai Singh, yang ternyata dalam kehidupan berikutnya bereinkarnasi sebagai Imdad Hussain. *** Pagi tiba. Aftab Sivdasani keluar dari kediamannya dengan muka kusut. Ia memegang ponsel dan menatap layar penuh harap. Sampai di depan mobilnya, ia mendengus marah. Ia meremas kuat rambutnya seolah hendak mencabutnya beserta kulit kepalanya. Tidak ada informasi masuk dari pembunuh bayaran yang disewanya. Anak buahnya yang mengintai kediaman Imdad Hussain datang tergopoh-gopoh. "Tuan Aftab ..." ujar seorang pria dalam setelan jas hitam dengan napas terengah-engah. "Tuan Imdad Hussain sudah kembali ke rumahnya dan tampak baik-baik saja, Tuan." "Ah, sialan!" maki Aftab sambil menendang ban mobilnya lalu melempar ponselnya. Benda itu pecah membentur lantai carport. Belum puas meluapkan amarahnya, Aftab menendang beberapa anak buahnya sambil mengeluarkan kata-kata makian. Usahanya melenyapkan Imdad Hussain gagal lagi. Ia heran kenapa pria itu bisa sangat beruntung selalu lolos dari kematian. Apa pria itu punya sembilan nyawa ataukah malaikat pelindung? Bosnya, Devdas, pasti akan mengamuk dan memukulinya seperti kejadian sebelumnya. Ia berharap kali ini ia bisa lolos dari kematian akibat tangan Bosnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN