Night 3: The Hunter°

1203 Kata
Bahkan menjadi pemburu pun sangat mudah bagi Devdas. Ia tidak perlu pergi ke hutan atau melayap di kegelapan malam untuk mencari mangsa. Ia hanya perlu menunggu dan mangsa itu akan datang sendiri ke tempatnya, menawarkan diri padanya. Malam itu di kelab Hotel Golden Star miliknya, ia hadir dalam keramaian pesta. Dalam temaram dan kelap-kelip lampu, serta musik berirama timur tengah yang mengentak keras, orang-orang mematung memandang sosok pria satu itu. Mengenakan setelan tuxedo membalut tubuh sempurna miliknya. Rambut hitam klimis tersisir rapi kebelakang, wajah tampan berseri-seri dan sorot mata yang dalam, teduh memikat setiap orang yang melihatnya. Orang-orang tahu, hanya Devdas Star Tailes yang mampu memberikan pesona sekuat itu hanya dengan sekilas penampakannya. Devdas duduk di sudut bilik yang gelap. Pengawal bersiaga di dekatnya. Minuman disajikan di hadapannya. Tiga wanita menjatuhkan tubuh mereka di sisinya. Mereka ada untuk melayaninya. Devdas duduk bersandar dengan kaki bersilang, menyesap minuman perlahan-lahan. Pandangannya jatuh pada wanita penari perut yang tengah meliuk-liuk di pentas di tengah kelab. Wanita dengan kulit keemasan, rambut bergelombang panjang tergerai, permata berantai menghiasi kepalanya. Atasan c**i dengan hiasan payet berkilau bak permata, membentuk gundukan yang bulat padat seperti kelapa dikupas. Perut rata dan pinggul yang bergetar hebat laksana gempa bumi saat penari itu melakukan shimmy. Bawahan tipis dengan belahan panjang hingga ke pinggul menampilkan kaki jenjang yang indah. Perhiasan di pinggul, tangan dan kakinya bergemerincing mengikuti gerakan tubuhnya. Wanita penari itu menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik dari sitar, gendang dan biola ditambah beat elektro. Di pinggir panggung banyak orang berkerumun menatapnya dan ingin menjamah tubuhnya. Namun sehebat apapun orang yang mengelilinginya, tidak mampu membuatnya menoleh. Matanya hanya terpaku pada sosok di sudut gelap itu. Dia adalah Maya, penari perut erotis yang lama malang-melintang di dunia hiburan dan malam ini dia sudah menjatuhkan siapa yang menjadi mangsanya. Devdas Star Tailes, CEO Star Corp. Apakah ada hal yang tidak bisa diperolehnya? Devdas bertanya pada dirinya sendiri. Senyum menyeringai terkembang di wajahnya tatkala pengawalnya membisiki mengenai wanita penari perut itu. Setelah pertunjukkan selesai dan suara riuh tepuk tangan menggema dalam kelab, Devdas memilih meninggalkan kelab dan menuju kamarnya di lantai teratas hotel. Devdas berdiri menghadap ranjang besar berlapis sprei hitam yang kali ini terlihat rapi dan kencang, seolah tidak pernah digunakan. Belum lagi ia melonggarkan kerah, sebuah suara memangilnya dari belakang. "CEO Devdas Star Tailes!" seru seorang wanita dengan suara lembut nan menggoda. Devdas melirik ke belakangnya dan melihat si penari tadi berdiri di tengah kamarnya. Cepat sekali! pikir Devdas. Kalau begitu ia juga tidak akan membuang-buang waktu. Ia berbalik menghadap wanita itu. "Nona Maya, Sang Dewi!" Matanya mengerling takjub melihat kecantikan Maya. Mata besar berwarna hijau zamrud dan bibir merah yang menggoda. Tubuh berbalut pakaian minim yang dengan sentilan jari saja akan terlepas dari tubuh indah itu. Wajah cukup diperhitungkannya kali ini. "Suatu kebanggaan dapat melayani Anda, Tuanku!" seru Maya sambil membungkukkan tubuh dan buah dadanya seakan hendak jatuh dari tempatnya. "Tidak!" sahut Devdas "Akulah yang tersanjung dapat menjamu wanita sepertimu di ranjangku, Nona Maya!" "Please, panggil saja aku Maya, Tuanku!" ujar Maya sambil menatap pria di hadapannya dengan kerlingan genit. "Hamba di sini siap menyenangkan Tuanku!" Devdas segera menarik Maya dan melempar tubuh wanita itu ke atas ranjang. Ia membuka setelannya dengan cepat dan meninggalkannya tergeletak di lantai. Kelelakiannya menegak hingga menyentuh pusarnya. Maya terlalu takjub melihat pria itu tak sabar lagi untuk menjamahnya. "Tuan, kenapa kau tidak biarkan aku menghangatkanmu dulu?" tanya Maya. Devdas sudah merangkak menaiki ranjang dan mendorongnya hingga telentang. "Apa yang datang cepat akan pergi dengan cepat pula!" gumam Devdas lalu melumat bibir merah Maya dengan kuat. Maya yang sudah lama mendambakan bisa bersama Devdas terkejut sekaligus gembira mengetahui pria itu sangat bernafsu padanya. Tak sia-sia dirinya selama ini mempelajari berbagai kajian dan melakukan berbagai ritual agar laki-laki bertekuk lutut padanya. Bahkan pria sekelas CEO Devdas pun dengan mudahnya ditaklukkan. Dia sangat senang. Apalagi Devdas sepertinya senang bermain kasar dan tidak segan-segan padanya. "Aah!" Maya terpekik ketika c**i penutup dadanya disingkirkan dari tubuhnya dengan satu tarikan kuat dari tangan CEO itu, membebaskan gunungan sintalnya dari penyangga. Kain tipis yang menjadi bawahannya disobek kasar dan celana bikini berpayet permata yang dikenakannya ditarik kasar. Manik permata berhamburan di lantai. Tangan besar dan kasar meremas kuat dan menekan dadanya membuat Maya hampir tak bisa bernafas. Untung saja miliknya asli, jika terbuat dari silikon mungkin silikonnya akan pecah akibat remasan pria itu. "Tuan!" desah Maya setengah terpekik ketika Devdas memasukkan perkakas lelakinya dengan cepat ke dalam tubuhnya. "Ahh!!" Devdas mendesah berat ketika kelelakiannya memasuki celah di antara kedua kaki Maya. Tak menyangka milik wanita ini masih rapat. Memang wanita seperti Maya berada di level yang berbeda daripada wanita biasa. Kenikmatan tubuhnya tentu mendapat perawatan khusus. Wanita ini tidak segampang kelihatannya. Maya tersenyum puas melihat pria di atasnya setengah terpejam dan tampak menyerah ketika memasukinya. Namun senyumnya hilang ketika Devdas menatap balik padanya. Tampangnya menjadi nilai tambah. Devdas menelentangkan wanita itu agar dapat menikmati wajahnya dan ia tidak suka melihat senyum wanita itu. Ia ingin melihat wajah yang lain. Wajah cantik yang tersakiti. Ia menghujamkan tubuhnya ke dalam tubuh Maya, memompa sekuat tenaga dan secepat mungkin. Suara desahan cepat dari Maya dan nafas memburu bersahutan dalam ruangan. Maya menatap nanar pada pria yang tak dapat disebutnya lagi namanya karena tubuh mereka bergetar saking cepatnya. Dia sudah mencapai klimaks. Namun Devdas terus memburu tanpa memberinya kesempatan menarik nafas dan menenangkan gejolaknya. "Ah, hahah!" Maya tertawa menyadari penemuannya. "Apa yang membuatmu tertawa?" tanya Devdas dengan tubuh bergetar. "Tuan ... ah ... Anda, ah ... sangat ... luar biasa!" "Oh, ya? " Pelipisnya berkedut-kedut. Devdas tidak suka pujian. Ia jenuh mendengarnya. "Kalau begitu ...," gumamnya, "aku ingin melihat apa kau masih bisa tertawa. Sesaat lagi." Ia membuat tubuh Maya bergetar makin cepat dan menghentak kuat membentur kepala ranjang, membuat Maya terpekik pendek berkali-kali. Maya meringis menahan sakit. "Arrgh!" Devdas menggeram dan bagian tubuhnya di dalam Maya terasa sesak karena membesar dan siap meledakkan muatannya. Tangannya menjangkau leher Maya yang lembut dan jari-jarinya melingkar di sana. Wajah Maya yang mulanya merintih dalam kenikmatan bercampur kesakitan sekarang bertambah dengan ketakutan. Mata hijaunya membesar dan menggelap tatkala tangan besar dan kuat mencengkeram lehernya. Ia bisa mendengar dan melihat bagaimana kerasnya usaha wanita itu untuk bernafas. "Akhk!" pekikan Maya tertahan di tenggorokannya. Devdas mencekik lehernya dan meremas kuat seperti memeras sesuatu hingga menghabiskan cairan yang dikandungnya. Maya bisa mendengar bunyi tulang patah dan pada saat itulah gelombang ledakan besar menyembur di dalam rahimnya dan gelombang kenikmatan itulah yang menghantarkannya ke penghujung hidup. Nyawa Maya lepas dari tubuhnya. Mata terbuka lebar dan lekukan tak wajar di bagian leher. "Cantik!" desah Devdas sambil memperlambat hujamannya ke tubuh Maya. Ia suka sekali melihat wajah cantik dengan mata terbuka lebar dan ekspresi ketakutan yang tak dibuat-buat. "Sayang sekali kau datang terlalu cepat" gumamnya sambil mencabut dirinya dari tubuh Maya yang tak bernyawa lagi. Tubuh itu masih hangat dan tampak masih bernafas. Devdas tidak peduli. Ia membersihkan bagian pribadinya dengan tisu lalu memandangi tubuhnya sendiri yang basah oleh keringat. Ia merasa lega. Satu hal yang disadarinya semenjak menjadi manusia. Kenapa manusia memiliki nafsu, karena ternyata mengikuti hawa nafsu dan bisa melampiaskan luar biasa nikmatnya. Sayangnya, ia cepat menjadi bosan. "Tampaknya akan lebih menyenangkan berburu di luar sana daripada berburu dalam kandang sendiri," dengkusnya sinis. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN