Bab 7

1995 Kata
Andai adikku laki-laki, mungkin aku tak akan sebaik itu kepadanya. Kenyataannya, adikku adalah seorang perempuan, yang tidak mungkin kalau aku berlaku jahat kepadanya. Meski begitu, sebetulnya aku juga sering jahil ke dia. Itu semata-mata aku lakukan hanya agar dia tidak terlalu meratapi nasibnya karena kematian ibu. Seperti yang saat itu terjadi. Dari senyumannya itu nampak betul bahwa dirinya sangat bahagia ketika akan kubelikan es krim. Cuma es krim padahal, dan itu membuatnya sangat senang. "Bilang apa ke kakak?" tanyaku setelah aku membelikannya dia es krim. Sungguh aku benar-benar memperlakukannya seperti anak kecil. Ya biar bagaimanapun juga dia memanglah adik kecilku. Mungkin dari pandangan mata orang lain, kami adalah pasangan kekasih, tapi nyatanya tidak. Kau adalah sepasang kakak beradik. "Terima kasih, Kak," ucapnya kala itu. "Iya. Udah, makan!" jawab sekaligus perintahku. "Kakak juga harusnya bilang terima kasih ke aku," katanya. "Untuk apa?" "Ya kalau kakak gak ingin beliin aku es krim, kakak juga gak akan bisa makan es krim," katanya. Aku tertawa pelan. Apa yang ia bilang memang ada benarnya. Aku tidak mungkin bisa menikmati es krim jika aku tidak membelikan es krim untuknya. Jika cuma bagiku sendiri, pastinya aku akan mempertimbangkan. Daripada uangnya aku gunakan untuk membeli es krim, bukankah lebih baik aku gunakan untuk membeli lauk? Ya, itulah aku. Terkadang jiwa perhitungan juga memang dibutuhkan. Kebersamaanku dengan sang adik kala itu benar-benar menjadi sebuah sejarah yang tak akan pernah aku lupakan. Itu adalah untuk pertama kalinya aku mengajak dia jalan-jalan keluar rumah, dan saat itu pula aku sangat bahagia ketika melihat dia juga bahagia. Ternyata, cara untuk membahagiakan dirinya sungguh sangat sederhana, dan aku baru menyadarinya. Dari semenjak itu, aku sering mengajak dia ke tempat itu. Entah hanya sekedar untuk bermain-main di ayunan ataupun permainan anak-anak lainnya. Itupun sudah membuat dia sangat senang. Setiap kali pergi ke tempat itu, pulangnya aku selalu membelikan dia permen kapas atau yang bisa dibilang juga sebagai arum manis. Masih kuingat betul tentang dirinya yang pertama kalinya menginginkan jajanan itu. "Kak, makanan apa itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah jajanan itu. Ya, aku tahu, dia cuma pura-pura tidak tahu apa jajanan yang sedang ditunjuknya itu. Bagaimana mungkin ada orang yang tidak tahu dengan jajanan arum manis. "Mau?" tawarku kala itu. "Kalau mau kakak beliin," lanjutku. "Harganya pasti mahal," kata adikku. Meski dia gadis yang pengertian, tetap saja jiwa basa-basi nya selalu ia munculkan. Aku tentunya tahu kalau dia memang sangat menginginkan jajanan itu, tapi sekali lagi, rasa tidak teganya untuk membuat uangku berkurang seakan sedang bergelut dengan keinginannya itu. "Masih saja memikirkan itu. Sudah kakak bilang, kan, kalau cuma untuk jajanan begitu, kakak juga bisa membelikannya untuk kamu," ucapku. "Tapi kalau emang gak mau sih, gak apa-apa. Berarti uang kakak aman. Hahaha," lanjutku. "Eh. Mau," katanya. Aku tertawa. "Katanya tadi mahal. Kok sekarang malah mau," godaku. "Hehehehe." Dia malah tertawa seperti anak kecil. Dan pada akhirnya pun aku tetap membelikannya permen kapas itu. Harganya memang tidak begitu mahal, tapi bukan itu yang istimewa. Yang paling istimewa adalah tentang perasaan adikku yang terlihat sangat bahagia ketika aku belikan jajanan itu. Mungkin dirinya akan selalu mengingatnya sampai kapanpun juga. Bahkan sampai akhir hayatnya. Ia akan selalu ingat bahwa dirinya mempunyai seorang kakak yang pernah membuatnya merasa se bahagia itu. Itulah sedikit kisah tentang adik perempuanku yang cantik. Kelak dia akan menjadi gadis yang hebat, yang akan selalu mengerti tentang keadaan seseorang. Sama sepertiku, dia juga sudah merasakan betapa kerasnya kehidupan ini. Ditinggal mati sang ibunda di usianya yang masih sangat belia, hampir putus sekolah karena kekurangan biaya, dan juga harus merelakan masa mudanya yang harusnya ia buat untuk bermain layaknya anak muda yang lain. Adikku, Salsa namanya, suatu saat nanti dia akan menjadi perempuan yang hebat. Taman itu, permen kapas itu, dan semuanya. Itu adalah kenangan tak terlupakan yang selalu aku ingat bersama sang adik. Dia dulu adalah seorang gadis kecil, cantik nan imut. Heh, rasanya aku sangat merindukan masa-masa itu meski di masa itu hidupku dipenuhi dengan rasa sakit dan penderitaan. Sesayang apapun aku kepada adikku, dulu aku tetaplah seorang lelaki pendendam dan pembenci. Hatiku seperti sudah dipenuhi dengan kebencian kepada mereka. Kamu pasti tahu kan, siapa mereka yang aku maksud itu? Biar aku mengaku akan suatu hal, bahwasanya di dalam rasa sakit yang selalu aku rasakan tiap harinya, juga ada sedikit rasa bersyukur pada tingkah mereka yang terus menghina dan mencaci maki aku. Melalui hal itu, aku bisa menjadi lelaki yang kuat. Lelaki yang bertekad untuk membuktikan kepada dunia bahwa tidak ada satupun orang yang boleh meremehkannya. Dan karena hal itu pula aku jadi tidak ragu untuk membenci. Karena jika sifat mereka berubah-ubah, dalam arti kadang baik dan kadang jahat ke aku, tentu itu akan membuatku bingung. Boleh saja aku disebut pembenci, tapi jangan pendendam. Aku cuma butuh keadilan. Itu saja, tidak lebih. Mungkin intinya sama dengan dendam, tapi sekali lagi, aku tidak ingin disebut pendendam. Ah, iya. Aku hampir lupa akan suatu hal. Tentang sebuah kisah romansa yang harus aku ceritakan. Gadis cantik itu, dia adalah orang yang bisa mengubah segalanya dalam hidupku. Dulu, hanya kebencian yang selalu aku rasakan. Akan tetapi dia kemudian datang ke kehidupanku dan mengajarkan aku tentang sebuah arti dari kehidupan yang tak pernah aku pahami selama ini. Shelania Putri Artasyah. Itulah nama gadis yang kumaksud. Orangnya cantik. Cantik sekali malahan. Pesonanya telah membuat aku jatuh cinta. Bahkan di saat sebelumnya aku seakan tak peduli dengan sesuatu yang disebut cinta. Dia juga merupakan orang dari kaum sialan itu yang berbeda dari lainnya. Dia baik. Kebaikannya benar-benar membuatku sedikit melupakan kebencian itu. Tentang Shelania Putri Artasyah, yang akrab dengan panggilannya, yaitu Shela. Dia adalah anak dari orang yang sangat kaya raya. Berbeda dari anak orang kaya lainnya, dia ternyata adalah orang yang sangat menghargai perbedaan. Tidak peduli dari kaum mana orang yang ditemuinya itu, dia tidak akan merendahkannya. Jelas sifatnya itu berbeda dengan teman-teman sekelasku. Dulu, sebelum dia kenal lebih dekat denganku, yang kutahu adalah dia itu seorang siswi yang nakal. Maksudku, dia sering sekali melakukan hal-hal yang berujung pelanggaran terhadap peraturan sekolah. Contoh kecil saja, dia sering bolos, kabur dari sekolah sebelum waktunya pulang, kabur dari kelas, atau bahkan juga berantem. Tapi tak kusangka orang seperti dia malah bisa menghargai perbedaan. Aku ingat betul tentang awal pertemuanku dengan dia. Dan di hari itulah aku harus mengaku bahwa aku langsung terpesona pada paras cantiknya itu. Meski saat itu, adalah untuk pertama kalinya aku melihatnya ada di sekolahan itu. Entahlah, aneh sekali rasanya. Padahal jika kuingat-ingat, pertemuan itu terjadi setelah aku maupun dia sudah sekolah di sana selama berbulan-bulan. Dan sekarang, aku akan menceritakan tentang awal pertemuanku dengan si gadis cantik bernama Shelania Putri Artasyah itu. Kejadiannya berawal dari saat aku berantem dengan teman sekelasku. Galih namanya. Dia adalah anak donatur besar sekolahan itu. Sama seperti Papanya Shela. Ya, meski terbilang masih jauh lebih unggul Papanya Shela, sih. Saat itu, Galih tiba-tiba menghampiriku bersama seorang temannya yang lebih baik kurahasiakan dulu identitasnya. Tidak ada angin tidak ada hujan, dia mendadak mendorongku dari kursi dan membuatku terjatuh. Tak hanya itu. Setelahnya dia juga menarik kerah bajuku dan ingin menantangku berkelahi. Aku benar-benar tidak tahu apa masalahnya waktu itu. Dia terus saja menggertak dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Bodoh, miskin, dan masih banyak kata-kata buruk lainnya ia lontarkan ke aku saat itu. Ia juga dengan beraninya main fisik ke aku. "Ayo, lawan gue dasar pengecut!" Satu kalimat yang masih kuingat sampai saat ini. Kira-kira begitulah bunyinya. Dan anehnya, entah mengapa aku terpancing atas ucapannya itu. Aku juga tidak tahu mengapa. Mungkin saat itu moodku sedang buruk, sehingga aku mudah terpancing hanya karena kata-kata seperti itu. Dan pada akhirnya, saat itu terjadilah pertarungan antara aku dan dia. Baru beberapa pukulan aku tujukan kepadanya, tepat pada saat itulah si guru bernama Pak Ratno datang. Sialnya, aku terciduk sedang memukuli si Galih. Kurasa, itu adalah saat-saat paling sial yang pernah aku dapatkan. Aku dibawa ke ruang guru oleh Pak Ratno. Kalau boleh jujur, jika ditanya tentang siapa guru yang paling aku benci, maka aku akan menjawab Pak Ratno. Bukan tanpa alasan aku membencinya. Dia itu selalu saja menganggapku rendahan. Satu hal yang seharusnya tidak patut dilakukan oleh sang guru kepada muridnya. Bahkan di saat pertarungan antara aku dan Galih itu terjadi, dia tidak meminta alasan kenapa hal semacam itu bisa terjadi. Dia dengan seenaknya langsung membawa aku yang tidak bersalah begitu saja ke ruang guru, sedangkan membiarkan Galih yang jelas-jelas bersalah itu tetap berada di kelas. Sekali lagi, aku ingin bertanya. Di manakah keadilan itu? Kenapa seolah-olah si dalam semesta yang luas ini tak ada satupun yang namanya keadilan? Aku benci penindasan. Kalau saja aku diberi kekuatan untuk bisa menghancurkan, akan kuhancurkan penindasan dan ketidakadilan itu. "Lagi-lagi kamu berbuat ulah." Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulut Pak Ratno di saat kami sudah duduk berhadap-hadapan. Dan begitupun seterusnya. Aku selalu disalahkan olehnya. Guru yang katanya harus digugu dan ditiru itu faktanya malah mengajarkan hal yang tidak baik kepada anak didiknya. Pilih kasih, itulah yang kurasakan darinya saat itu. Berbagai kalimat pembelaan terus terucap dari mulutku. Sampai pada akhirnya, dia membawa-bawa ibuku dalam masalah yang terjadi. Emosiku langsung menarik kala itu. Bagaimana tidak? Dia telah membawa-bawa ibu yang telah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Dan bahkan, jikalaupun ibuku masih hidup, aku tetap akan emosi jika dia memperlakukan aku seperti itu. Kurasa sudah tidak perlu kujelaskan lagi tentang konflikku dengan Pak Ratno kala itu. Semuanya sudah ada di dalam buku sebelumnya. Aku tinggal menjelaskan apa yang belum sempat dijelaskan sebelumnya. Pada saat itu, berakhirlah sudah konflik antara aku dengan Pak Ratno dengan akhir yang sangat tidak memuaskan. Aku mau tidak mau harus menuruti perintahnya untuk membersihkan seluruh toilet sekolahan. Tentu aku terpaksa mengiyakannya, karena dia mengancamku untuk memutus beasiswaku. Dan di situlah awal aku melihat si gadis cantik yang nantinya akan kukenal dengan nama Shelania Putri Artasyah. Kuingat saat itu dia sedang duduk di sebuah kursi. Sendirian, tanpa teman. Aku melewatinya dengan sedikit melirik ke arahnya. Anehnya, ada suatu perbedaan yang aku rasakan ketika aku melihat gadis itu. Saat itu benar-benar harus aku akui bahwa aku telah terpesona dengan kecantikannya. Ya, meski bisa dibilang bahwa itu adalah pandangan pertama. Entahlah, aku bahkan tidak mengenal dia sebelumnya. Padahal di hari-hari berikutnya, aku mendapat kabar bahwa dia adalah gadis yang sangat terkenal di sekolahan itu. "Hei." Tak lama setelah aku keluar dari ruang guru, ada seseorang yang sedang menyapaku dari belakang. Aku menoleh. Dan pada akhirnya aku menyadari siapa orang yang telah menyapaku itu. Dia adalah si gadis yang pernah kutemui di ruang guru. "Kenalin, gue Shela, anak 10 IPA 1, cewek yang tadi di ruang guru." Dan saat itulah, seorang gadis cantik telah memperkenalkan dirinya kepadaku dengan senang hati. Dan sepertinya, dia adalah orang pertama yang mau melakukan hal semacam itu dengan orang sepertiku. Hari itu akhirnya kuketahui nama sang gadis cantik itu. Namanya Shela. Nantinya juga akan kuketahui nama lengkapnya, yakni Shelania Putri Artasyah. Namun aneh. Dalam perkenalan itu, aku malah menunjukkan sikap tidak mengenakkanku. Aku juga tidak tahu. Saat itu, kalau ada yang bisa melihat perasaanku, mungkin dia akan bingung dengan sendirinya. Waktu itu yang kurasakan sangat berbeda dengan apa yang kuperbuat dan juga apa yang aku ucapkan. Mungkin dalam pandangannya, aku adalah seorang lelaki yang dingin dan sombong, akan tetapi kalaulah dia bisa melihat perasaanku, dia pasti akan melihat bahwa aku sedang tidak bisa mengucapkan kata yang harusnya sangat ingin aku ucapkan. Dan itulah untuk pertama kalinya aku bisa berbincang-bincang dengan dia. Untuk pertama kalinya pula aku dibuat terpesona akan cantiknya. Dia gadis yang baru saja kukenal waktu itu. Dan ternyata dia juga masih kelas 10 sepertiku. Perbincangan itu hanya berlangsung beberapa saat. Karena sikap dinginku ini, aku jadi mengabaikan rasaku sendiri. Jujur aku masih ingin melihat paras cantiknya itu, tapi egoku, kebencianku dan anggapanku yang salah tentang semua orang yang berada di sekolahan itu membuatku menjadi manusia yang tidak pedulian. Pada akhirnya pun aku memilih menjauh darinya. Ah iya. Setelah aku pergi, aku seperti tidak asing dengan nama yang disebutkan oleh si gadis cantik itu. Shela namanya. Dalam perjalananku menuju ke toilet, aku terus memaksa otakku untuk mengingat-ingat tentang namanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN