Bab 13

1997 Kata
Akan tetapi, sebenci apapun aku pada sesuatu yang disebut dengan kekerasan, kalau ada yang memaksaku untuk berbuat kekerasan, maka aku juga tidak akan sungkan untuk melakukannya. Prinsipku, diamku bukanlah diam seorang pecundang, yang lemah dan juga payah. Diamku seperti sang singa, ataupun harimau, yang jika ada yang mengusik, maka akan terjadi sesuatu yang tidak pernah diharapkan oleh si pengusik. "Woi, lepasin dia!" "Siapa Lo?" Waktu itu adalah sore hari, atau juga bisa dibilang petang, dan berposisikan di sebuah area lapang tanpa adanya satupun perumahan. Aku yang saat itu baru saja pulang dari kerja di toko buku melihat seorang lelaki culun yang ketakutan terhadap dua lelaki di depannya. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi aku yakin dia lelaki itu sedang melakukan pemalakan. Dan kebetulan sekali aku memakai masker pada hari itu. Kalau saja tidak, mungkin mereka akan datang lagi dan membalaskan dendam ke aku. Anehnya pada saat itupun aku juga membawa motor, tapi sepertinya mereka tidak terlalu memperhatikan motorku. "Siapa gue itu gak penting. Yang penting, Lo berdua lepasin dia," ucapku dingin kala itu. "Hahaha.... Pahlawan kesorean nih kayaknya," ucap salah satu dari mereka. "Bro." Dia kemudian memandang ke arah temannya. Temannya pun mengerti apa yang dimaksud oleh lelaki itu. Mereka kemudian secara serentak menyerangku. Aku yang sudah siap untuk melakukan perkelahian pun saat itu berhasil menghindar. Pertarungan panjang pun terjadi, dan akhirnya berakhir dengan kemenanganku. Mereka berdua lari terbirit-b***t dan kabur dengan motornya. Jangan bertanya tentang kenapa aku yang sendirian bisa mengalahkan dua orang. Jangan pula mengira bahwa itu cuma khayalanku semata. Aku benar-benar bisa mengalahkan kedua orang itu. Ada banyak alasan kenapa aku bisa mengalahkan mereka sekaligus. Selain karena postur tubuh mereka yang bisa dibilang sedikit lebih kecil dariku, ada juga alasan lain yang lebih mendasar. Kau tahu, betapa kerasnya latihan ku dalam berkelahi saat berada di rumah? Aku berlatih dengan sangat keras, seolah-olah aku tidak mau berhenti untuk melakukannya. Semua itu didasari atas sesuatu yang kusebut kebencian. Pikirku, jika aku lemah, suatu saat aku tidak akan bisa membalaskan dendam ibuku dengan tanganku sendiri. Pikirku lagi, mungkin dalam upaya membalaskan dendam itu, tak luput juga dari namanya pertarungan. Jadi karena itulah aku harus tumbuh menjadi lelaki yang kuat. Dan itulah buah dari latihan kerasku. Aku sendirian sudah cukup untuk menghancurkan dua orang sekaligus. Bukannya sombong atau apa. Aku hanya ingin memberikan sebuah pelajaran bahwa tak peduli sebesar atau sekecil apapun postur tubuh kita, tidak selamanya dalam sebuah pertarungan kita akan kalah. Selama mau berlatih dengan sungguh-sungguh, dan mempunyai suatu kekuatan terkuat, yaitu pantang menyerah, bahkan seorang yang kerdil pun bisa mengalahkan raksasa. "Te-terima kasih." Lelaki culun itu mengucap terima kasih ke aku di kala dua musuhnya sudah melarikan diri. Aku diam saja waktu itu. Entah kenapa aku jadi kesal sendiri. Melihat lelaki yang selemah dia membuatku malah kesal kepadanya. Mungkin, dia agak sama sepertiku. Tapi mungkin juga kami berbeda. Dia diam waktu diperlukan seperti itu karena dia memang benar-benar takut, tapi aku diam karena aku tidak mau kalau ujung-ujungnya aku yang yang disalahkan. "Kenapa Lo cuma diam?" tanyaku kala itu. "Aku...." Dia bingung mau menjawab apa. "Takut? Heh, jangan gunakan takut itu sebagai alasan kenapa Lo diam saja waktu diperlakukan kayak gitu. Kalau tidak ada alasan lain yang cukup memuaskan untuk memaksa Lo diam, harusnya Lo lebih baik melawan. Nggak peduli apapun yang terjadi nantinya, entah menang atau kalah yang penting Lo harus melawan. Bahkan kalaupun sampai perlawanan itu akan membuat Lo mati sekalipun. Karena biar bagaimanapun juga, Lo itu laki-laki. Dan harga diri Lo tidak boleh direndahkan seperti itu," ucapku kala itu. Dan mungkin aku agak berlebihan ketika menasihatinya. Setelah kupikir-pikir, aku malah memberikan suatu nasihat yang sesat. Maksudku, aku malah menyuruh dia supaya mau melawan sekalipun perlawanan itu akan berakhir dengan kematiannya. Padahal aku tahu bahwa orang yang kuat itu adalah orang yang mampu menahan emosinya. Harusnya, diam adalah cara terbaik untuk menanggapi hal semacam itu, tapi aku malah menyuruh dia untuk melawan. Aku tahu aku tidak sepenuhnya salah. Karena mempertahankan harga diri juga sangatlah penting. Dan lagi, aku tak tahu apa mereka bisa mengancam nyawa atau tidak. Kalau iya, memang lebih pantas untuk dilawan. Saat itu memang aku sangat benci dengan penindasan. Karena itu, setiap kali aku melihat ada seseorang yang tertindas, aku selalu ingin orang itu mau melakukan perlawanan. Namun, aneh bagiku. Aku malah jadi merasa bersalah jika mengingat kata-kata yang kuucapkan kepadanya. Sialnya, setelah hari itu aku sudah tidak pernah melihatnya lagi. Aku bahkan juga tidak tahu namanya, begitupun sebaliknya. Oh ya, dia sebenarnya bertanya tentang siapa aku, tapi saat itu aku lebih memilih untuk mengabaikannya. Dia bahkan juga tak bisa melihat wajahku yang saat itu kututup dengan masker. Satu hal lagi, aku memang tidak ingin dia melihat tentang siapa aku. "Namamu siapa?" tanyanya kala itu. Aku memandangnya lumayan lama, kemudian berbalik, ingin segera pergi. "Hei, tunggu dulu!" cegahnya dengan ucapannya. Aku pun berhenti, tapi masih dengan posisi membelakanginya. "Gue bukanlah siapa-siapa. Gue cuma manusia yang benci penindasan dan juga ketidakadilan. Karena itu gue nolongin Lo. Setelah ini, lupakan saja kalau gue pernah nolongin Lo," ucapku panjang lebar dengan nada suara yang datar. "Dan Lo, gue rasa Lo udah SMP, kan?" tanyaku kemudian. "Iya. Kelas 9," jawabnya. Ternyata dia satu kelas di atas adikku dan satu kelas di bawahku. Karena waktu itu aku masihlah seorang remaja kelas 10 atau 1 SMA. "Heh, di umur Lo yang sudah segitu, nggak pantas ada sifat pecundang dalam diri Lo. Ke depannya, gue harap Lo bisa mengubahnya. Suatu saat nanti, mungkin kita bisa bertemu kembali," ucapku. "Gue pergi dulu. Lo hati-hati di jalan." Dan begitulah akhir dari kisah seorang Daniel Mahendra yang menghajar dua lelaki songong si pemalak para kaum culun. Aku tak pernah menganggap diriku sendiri hebat hanya karena aku bisa mengalahkan dua orang sekaligus. Di luar sana pun banyak sekali orang yang bisa melakukan hal sama sepertiku. Bahkan tak sedikit pula yang bahkan bisa mengalahkan 5 orang sekaligus ataupun lebih. Itu artinya, aku masih berada di tingkatan bawah. Lalu, bagaimana mungkin orang yang berada di tingkatan bawah akan menyebut dirinya sebagai manusia yang hebat? Ya, itu cuma bagian kecil dari cerita perkelahianku. Kau tahu? Di dalam kehidupanku, aku sudah banyak sekali mengalami sesuatu yang disebut dengan perkelahian. Kalau cuma 10 kali, mungkin lebih. "Besok lusa Pak Gunawan ulang tahun, kan? Bagaimana kalau kita kasih surprise buat dia," ucap Ryan waktu kami sekelas berada di dalam kelas. Ah iya. Dalam kelas pun aku ditaruh sendirian di bangku pojok paling belakang. Tidak juga sih. Harusnya aku mendapatkan kursi duduk di samping Rafki, salah satu teman sekelasku yang bisa dibilang tidak pernah ikut campur dalam membullyku. Dia juga pendiam, sama sepertiku. Tapi sifatnya yang pendiam terlihat jauh lebih berwibawa daripada aku. Tapi meski tidak pernah ikut campur dalam membullyku, dia juga tidak pernah ngobrol denganku. Dan tentang Pak Gunawan. Pak Gunawan adalah salah satu guru di sekolahan itu. Ciri fisiknya sangat mudah dikenal. Rambut depannya terlihat gundul. Maka dari itu dia sering dijuluki dengan sebutan 'gundul menawan'. Sama seperti namanya, Gunawan. Jujur saja, meski yang membuat julukan itu adalah orang-orang yang sangat aku benci, tapi aku merasa bahwa itu lumayan lucu. Selain itu memang Pak Gunawan itu orang yang humoris. Heh, aku jadi merindukan diajar lagi olehnya. Walau begitu, dia tetaplah seorang guru dan juga orang tua berumur sekitar 55 tahunan saat itu. Seharusnya tak pantas remaja-remaja berusia 16-17 seperti kami bertingkah semacam itu. "Ah, iya. Pak Gun mau ulang tahun, ya? Harus dirayakan, nih," sahut Dito. "Iya. Harus dirayain tuh ulang tahunnya si pistol," kata Randy. Begitulah julukan kedua dari Pak Gunawan yang dibuat oleh para muridnya. Terkesan tidak sopan, tapi lucu. Andai saja posisiku di sekolahan itu tidak buruk, mungkin tiap harinya kehidupanku akan dipenuhi dengan canda tawa. Sial! Aku bahkan sering mengutuk diriku sendiri. "Kira-kira apa ya, yang cocok untuk hadiah ulang tahunnya Pak Gun?" "Hmmm ... Kue?" "Kalau kue itu wajib," kata Ryan. "Maksudnya yang lain, selain kue," lanjutnya. "Hmm ... Apa, ya? Kasih foto-foto kita bersama dia, gimana?" "Boleh juga. Tapi kita gak pernah foto sama dia." "Ah, iya juga, sih." "Ah, Lo semua ribet. Gue punya usul." Randy tiba-tiba berbicara kala itu. "Apa?" "Untuk hadiah ulang tahunnya si pistol, lebih baik kita beliin dia pistol aja. Biar lebih keren," usulnya tak jelas. Yang lain pun tertawa. "Lah. Malah ngelawak." "Gue punya ide." Ryan pun akhirnya angkat bicara. "Ide gimana, Yan?" tanya Gina, salah satu cewek di kelasku. "Wajibnya, kita beliin kue untuk Pak Gun. Lalu, kita kasih tambahan. Setiap dari kita harus memberikan hadiah apapun pada Pak Gun. Terserah hadiah apa yang akan diberikan. Dibungkus yang rapi. Dan yang paling penting, jangan yang murah, apalagi murahan," ucap Ryan. "Nanti sepulang sekolah jangan pada pulang dulu. Kita omongin rencana ini lebih lanjut," lanjutnya. Itulah Ryan, kalau kamu mau tahu. Ketika dia bilang "murah", aku merasa saat itu dia sedang menyindirku. Dia memang jarang atau bahkan hampir tidak pernah berbuat jahat kepadaku, tapi untuk perkataannya pada hari itu aku yakin sekali kalau itu memang ditujukan kepadaku. Dan begitulah kehebohan pada waktu itu. Ya, waktu di mana dua hari sebelum perayaan ulang tahun Pak Gunawan, yang katanya adalah guru terbaik yang pernah ada. Menurutku pun seperti itu. Harus aku akui itu. Pasalnya Pak Gun adalah guru yang sangat sabar. Dia juga lucu dan aku selalu ingat dengan ciri khasnya yang sering bilang, "loh", dengan raut wajah kagetnya. Namun, di hari itu aku juga mendapatkan perlakuan yang sangat tidak menyenangkan dari mereka. Kau tahu perlakuan seperti apa yang aku dapatkan? Aku beritahu. Mungkin perlakuan yang mereka lakukan saat itu kepadaku tidak seberapa. Hanya saja, aku merasa sakit hati dibuatnya dan selalu ingat sampai saat ini. Biar kuceritakan tentang hari itu. Ya, hari itu. Masih di hari yang sama, yaitu dua hari sebelum perayaan ulang tahunnya Pak Gunawan. Sepulang sekolah, seperti apa yang Ryan katakan, seisi kelas pun tidak ada yang pulang. Mereka berencana untuk mengatur tentang apa dan bagaimana untuk acara perayaan ulang tahun Pak Gunawan nantinya. Aku pun sebenarnya juga ingin ikut, karena biar bagaimanapun juga, Pak Gun adalah guru yang sangat baik menurutku. Bahkan bisa kubilang, dia adalah guru yang tidak pernah membeda-bedakan entah muridnya terlahir dari keluarga kaya ataupun miskin. Dia juga mengenalku dengan baik. Maka dari itu aku pun ingin ikut untuk merayakan ulang tahunnya. Saat itu aku agak lupa. Mungkin aku sedang libur kerja kalau tidak salah. Karena itu aku berencana untuk ikut dalam pembahasan rencana perayaan ulang tahun Pak Gunawan. Tapi, lagi-lagi hal menyakitkan harus aku terima di kala itu. "Heh, Lo ngapain masih di sini, bukannya pulang." Dan itulah. Lelaki yang lebih baik tak kusebutkan namanya itu telah melontarkan sebuah perkataan sederhana yang sangat membuatku merasa sakit hati. Aku tak pernah menyangka bahwa akan ada kejadian semacam itu. Kukira aku hanya didiamkan dan dianggap tidak ada saja oleh mereka. Faktanya malah berbeda dari apa yang aku kira. "Ya, Lo ngapain di sini?" "Mending pulang. Sampah-sampah masih banyak, tuh." "Lagian ada atau nggak ada Lo di sini juga gak ada pengaruhnya." "Kita mau bahas hadiah. Pastinya tentang barang-barang mahal yang gak akan pernah Lo mengerti." Sejahat itukah teman-teman sekelasku kepadaku? Jawabannya adalah iya. Karena itu aku mengatakan bahwa mereka adalah manusia yang tidak punya hati. Seumur-umur, baru kali itulah aku melihat betapa kejamnya pembullyan yang dilakukan oleh teman sekelas. Dan parahnya aku adalah korbannya. Saat itu aku jadi berpikir. Bahkan jikalaupun aku mati mengenaskan di depan mereka sekalipun, misal dengan kondisi kepala yang terpisah dari tubuh, mereka akan tetap biasa-biasa saja. Atau bahkan malah menertawakan. Aku diam saja waktu itu, lalu dengan segera mengambil tas dan mencangklongkannya, kemudian pulang. Sungguh aku tidak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu. Menangis? Apa itu menangis. Aku tidak akan pernah menangis hanya karena hal semacam itu. Ya meskipun sangat menyakitkan. Perasaan terhina tentu ada. Kesal, sudah pasti juga ada. Marah, apalagi. Namun yang aku nampakkan tetaplah sikap seolah-olah aku tidak peduli dengan semua itu. Ya, itulah aku. Seorang pembenci yang sering tidak peduli. Seorang pendendam yang selalu memendam. Sepertinya, topeng yang selalu menutupi kesedihanku itu tidak pernah bisa aku buka. Entahlah, rasanya memang sangat sulit untuk aku bisa melakukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN