Empat

1574 Kata
Elvina kembali ke meja kerjanya tepat pukul satu, saat istirahat siang sudah habis. Di mejanya sudah ada setumpuk berkas yang harus di scan dan dipindahkan datanya ke dalam komputer, begitulah pekerjaannya sehari – hari, tak jarang ketika banyaknya promo di market place, kantor jasa pengiriman barang seperti tempat dirinya bekerja itu kelimpungan dengan banyaknya barang yang akan dikirim. Biasanya semua menjadi teramat sangat sibuk. Apalagi menjamurnya market place online seperti saat ini, memudahkan bagi para pelanggan untuk membeli barang dan bahkan sudah bisa dipastikan jumlah pelanggan yang membeli melalui situs online selalu meningkat setiap bulannya. Satu baris meja Elvina dihuni sekitar empat komputer dengan meja yang panjang tanpa sekat, juga kursi kantor yang nyaman karena mereka yang jarang meninggalkan mejanya akibat pekerjaan yang hampir selalu over load. Elvina melihat ke papan yang berada di belakang meja, tempat para karyawan data entry meletakkan beberapa sticky notes penting, dan ada juga yang meletakkan foto untuk penyemangat mereka kerja, sama seperti Elvina yang menempelkan fotonya dengan Yonna, putrinya saat berusia tiga tahun. Yonna tampak chubby dan menggemaskan, Elvina tak menyangka putrinya akan tumbuh secepat ini dan menjadi dewasa dengan memintanya menikah lagi. Seorang wanita bertubuh semok, dengan tinggi 160 senti dan berat sekitar 65 kilo gram menghampiri meja Elvina dan menarik kursi di samping Elvina dan duduk disampingnya. Dialah Lita, teman Elvina semenjak kuliah, dan setahun setelah bekerja di perusahaan ini, Elvina membawakan lamaran kerja Lita yang ternyata di terima bekerja menjadi satu tim dengannya, membuat hubungan mereka kian dekat. Lita juga sudah menikah sama seperti Elvina, namun dia baru menikah sekitar empat tahun lalu dan kini dikaruniai putra berusia tiga tahun, sejak melahirkan itulah tubuhnya menjadi semakin gemuk, apalagi nafsu makannya yang tak dapat terkontrol, padahal jauh sebelum menikah dia termasuk wanita yang kurus bahkan sering dikatakan kurang gizi, selalu saja dia berdalih bahwa dia sudah bahagia jika ada yang menyindirnya dengan menyuruhnya diet karena perutnya yang membuncit. “Gimana makan sama Pak Dimas tadi?” tanya Lita, menoleh pada Elvina yang mulai menyortir berkas untuknya diinput. Elvina menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang mendengar mereka berdua, lalu dia menarik bangku agak dekat dengan teman ‘bahenol’ nya. “Dia ngelamar gue, ngajak nikah! Gila nggak menurut lo?” “Ohh Shitt!!” Lita berteriak dan dengan segera mulutnya di bekap oleh Elvina, menoleh ke kanan dan kiri lagi secara spontan, beberapa orang tampak penasaran dengan suara menggelegar yang dikeluarkan dari mulut Lita tadi. “Shhhtttt, ish berisik!” decih Elvina sebal. “Oiya maaf,” Lita menutup mulutnya sendiri dan berbisik pelan pada Elvina, “memangnya dia beneran sudah resmi cerai?” tanya Lita. “Katanya sih gitu, mbak Kamila memutuskan kerja dan stay di Jepang,” ucapnya. “Jepang? Kenapa harus ke negara yang pernah menjajah kita sih? Kenapa nggak ke Singapore atau Thailang aja yang deketan?” tutur Lita tak nyambung. “Mana gue tau!” cebik Elvina. “Terus jawaban Lo apa?” “Klo lo jadi gue, lo mau jawab apa?” “Gue terima lah, kapan lagi punya suami ganteng, pinter, mapan kayak dia,” tutur Lita sambil menaik turunkan kedua alisnya. “Hati gue masih ngerasa ngeganjel, lagian gue nggak terlalu deket sama dia, jadi gue jawab sebulan lagi keputusannya,” ucap Elvina, hingga manajer mereka melewatinya dan berdehem memberi kode agar mereka berdua menyudahi acara gosip menggosipnya dan melanjutkan pekerjaan. Emil, Manajer wanita yang sudah berusia empat puluh lima tahun itu memang belum menikah, wajahnya agak sedikit jutek dan orangnya sangat kaku. Namun sejak awal perusahaan ini dibangun, dia sudah bekerja disini, membuatnya sangat disegani. Rambutnya selalu di potong pendek seperti laki-laki, dan perawakannya memang agak sedikit berisi dengan tinggi yang dibawah Lita. Sering memakai rok pendek saat kerja, juga kemeja yang fit body. “Kerja kerja!” tuturnya dengan wajah jutek, lalu melewati mereka berdua begitu saja. Elvina segera melakukan pekerjaannya begitu pula Lita dan mereka berjanji akan bercerita lagi nanti sepulang kerja. *** Niat hati ingin bergosip sepulang kerja dengan nongkrong di cafe tak jauh dari kantor mereka, namun Elvina sepertinya harus membatalkannya, pasalnya saat baru saja keluar dari ruangan berpintu kaca itu, ternyata Dimas sudah berdiri menunggunya, bersandar pada dinding yang menghadap pintu kaca ruangan Elvina. Lita dan Elvina saling tatap dan Lita pun tahu diri untuk pulang lebih dahulu meninggalkan Elvina berdua dengan Dimas. “Aku antar ya?” tawar Dimas dengan senyum memikatnya. “Aku kan bawa motor,” ucap Elvina. “Di luar mendung, biar motornya di sini saja, besok pagi aku jemput lagi berangkat kerja bareng, lagi pula aku mau tahu alamat kamu,” ucapnya seolah tak dapat dibantah. Elvina hanya dapat mengangguk untuk mengiyakan permintaannya. Beberapa orang yang melihat mereka berdua nampak berbisik entah membicarakan apa? Elvina tak mau ambil pusing, berstatus single parent selama lima tahun, sudah biasa dipergunjingkan dalam hidupnya. Apapun yang dilakukannya selalu saja bisa memicu omongan orang lain yang merasa dirinya paling benar. Dan Elvina benar-benar tak peduli, selama dia berada di jalan yang benar, tak pernah mencoba berhubungan dengan suami orang dia tak masalah. Meskipun terkadang memang para lelaki hidung belang yang berstatus ‘suami’ itu sering memberinya perhatian, namun Elvina akan menolaknya baik-baik dan tak membuka celah sama sekali dalam hubungannya untuk dimasuki oleh mereka p****************g, bahkan jika pria itu berasal dari lingkungan kerja, Elvina hanya akan membahas hal-hal yang berkenaan dengan pekerjaan saja dan menolak pembahasan diluar pekerjaannya, dia tak peduli dikatakan sombong daripada dikatakan perebut suami orang. Dia sangat benci dengan kata-kata itu. Mereka naik lift menuju basement dimana mobil Dimas telah terparkir. Elvina mengagumi interior mobil sport yang berukuran cukup besar tersebut, dengan warna cat silver dan jok yang sangat nyaman di dudukinya. Tak lupa Elvina memakai seat belt untuk melindungi dirinya. Mobil segera melaju ketika Dimas menanyakan daerah tempat tinggal Elvina. Benar ucapan Dimas, di luar sudah sangat mendung dan mungkin Elvina akan kehujanan jika pulang dengan mengendarai sepeda motor kesayangannya. “Mas, sebenarnya aku follower kamu di IG,” tutur Elvina. Dimas menoleh pada Elvina dan tersenyum meski rahangnya agak kaku. “Aku udah nggak main IG, sudah di hapus aplikasinya sejak lama,” ucapnya merujuk pada sebuah sosial media yang di gandrungi hampir seluruh kalangan itu. Elvina sangat menyayangkan karena di sosial media Dimas followernya telah sangat banyak. Memang sih kemarin ketika dia mengecek IG lelaki itu, update terakhirnya sekitar lima bulan lalu. Dan ketika dia mengklik akun Kamila yang ternyata ada di kolom komentar salah satu foto Dimas, sayangnya akun itu di kunci sehingga Elvina tak mau menekan tombol untuk mengikutinya. Pantas saja di IG itu masih banyak bertebaran foto Dimas dan Kamila, mungkin memang dia yang sudah malas memainkan aplikasi sosial media tersebut yang membuatnya mengabaikan hal itu. “Yonna suka cake?” tanya Dimas, Elvina yang melamun itu agak tergagap dan mengiyakan ucapannya. “Mampir ke toko kue sebentar ya,” ucapnya sambil menyalakan lampu sen ke kiri, memarkirkan kendaraan itu ke sebuah toko kue yang cukup terkenal dengan aksesoris kincir angin besar di bagian atapnya. Salah seorang pelayan membukakan pintu toko kue, untuk Dimas dan Elvina, Dimas mempersilakan Elvina masuk lebih dahulu, dan mereka langsung menuju ke etalase bagian cake lembut dengan aneka rasa itu. “Keju atau cokelat?” tanya Dimas lagi. “Cokelat,” ucap Elvina. “Ayah kamu suka kopi?” “Lumayan suka sih.” “Beli puding kopi ya sama roti lainnya, ada yang kamu mau nggak sekalian aja,” ucap Dimas dengan senyum nya, membuat pelayan yang melayani mereka ikut tersipu, tentu saja Elvina merasa sangat senang berada di sampingnya meskipun sedikit rasa insecure yang menggerogotinya, pesona Dimas memang tampak menyilaukan. “Nggak usah, itu juga sudah banyak,” ucap Elvina, namun Dimas justru mengambil beberapa potong kue bolu dengan keju diatasnya. “Masih suka keju kan?” kekeh Dimas, membuat hati Elvina mencelos, bagaimana dia tahu kalau dirinya suka keju? Dan Elvina membiarkan pertanyaan itu menggantung dalam hatinya. Mungkin memang Radhika pernah menceritakan pada Dimas perihal dirinya yang lebih suka keju dibanding cokelat. Dimas membayar dengan kartu debitnya, satu plastik penuh kue dari toko berkincir angin itu, rintik hujan mulai turun saat mereka masuk ke dalam mobil, Dimas masih membukakan pintu mobil untuk Elvina, perbuatan yang dinilai sangat gentleman padahal sudah gerimis tadi. Melajukan mobilnya lagi menuju rumah Elvina. “Kamu tahu darimana aku suka keju?” Elvina akhirnya tak kuat menahan rasa penasarannya. Dimas yang melajukan mobilnya itu terus menatap jalanan dengan konsentrasi, apalagi hujan turun dengan lebatnya membuat jarak pandangnya cukup terganggu. “Kamu pernah cerita kan dulu?” ucap Dimas, Elvina mengernyitkan keningnya dan terdiam, lalu Dimas menoleh dan meralat ucapannya, “Maksud aku, Radhika pernah cerita.” “Oh,” Elvina merasa tepat yang dia sangka-kan tadi, meskipun dia masih merasa ada yang mengganjal. “Setel musik ya,” ucap Dimas saat lampu merah, apalagi Elvina nampak tak juga membuka mulutnya untuk memulai percakapan, seolah di benaknya masih banyak sekali yang ingin ditanyakan. Dimas memutar musik pop dari tahun 2000-an dimana band Sheila On Seven, Ungu, Padi dan lainnya sedang naik daun dan dia paling suka ditemani musik itu saat berkendara. “Musik kesukaan kamu, sama seperti Mas Radhika dulu, tapi setelah menikah aliran musiknya berubah,” ucap Elvina sambil tertawa. “Oiya? Jadi suka apa?” “Dangdut,” kekehnya. “Hahhaa ada-ada aja,” ujar Dimas. “Tapi... terkadang aku sering merasa tidak terlalu mengenalnya, banyak yang berbeda dengan saat masih pedekate,” ucap Elvina dengan nada sedih. “Maksudnya?” “Ya kayak aliran musiknya, saat kita masih sering mengirim pesan, sebelum pertemuan pertama itu, dia suka lagu-lagu seperti yang kamu suka, ternyata saat pacaran, dia bilang dia lebih suka lagu-lagu barat. Itu contoh kecilnya.” Dimas menggenggam erat stir mobilnya seolah ada yang disembunyikan namun dia tak sampai hati mengungkapkan itu sekarang. Biarlah hanya dia yang tahu tentang perubahan selera musik Radhika, sahabatnya sejak kuliah itu. “Didepan belok kanan,” ucap Elvina. Dimas memajukan tubuhnya untuk melihat plang nama jalan agar dapat menghapalnya, karena rumah Elvina sepertinya dia akan sering main kesana mulai sekarang. ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN