Elvina sampai rumah tepat pukul tujuh malam, rumah yang ditempatinya bersama kedua orang tuanya dan juga anak satu-satunya yang bernama Yonna.
Sejak menikah, memang Elvina tinggal bersama orang tuanya, Elvina yang merupakan anak tunggal, sangat disayang oleh kedua orang tuanya.
Ayahnya sampai saat ini masih menjabat sebagai kepala sekolah SMP swasta tak jauh dari rumah mereka, meskipun swasta, namun sekolah itu bukan untuk kalangan menengah ke atas, justru dari kalangan menengah ke bawah. Sehingga mereka pun menjalani kehidupan sederhana, dengan rumah yang juga tak terlalu besar.
Ibu Elvina, sejak dulu merupakan ibu rumah tangga, yang sehari-hari dirumah saja mengurus anaknya, dan kini mengurus cucunya karena memang keinginannya yang mengurus anak Elvina.
Yonna, gadis berusia tujuh tahun itu kini duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Mempunyai mata bulat seperti Elvina, dengan bentuk wajah oval dan kulit yang putih. Rambutnya lurus sepunggung karena memang dia yang ingin memanjangkan rambutnya.
Yonna tersenyum riang ketika mendengar suara motor ibunya yang diparkir di halaman rumah mereka. Dengan cepat berlari keluar rumah dan mendekap erat sang ibu, tampak sekali mereka saling menyayangi.
“Mamah, bulan depan aku ada acara outing lho dari sekolah, dalam rangka menyambut hari ayah,” ucapnya antusias. Elvina hanya tersenyum samar menanggapinya. Bukankah jika hari ayah, itu berarti kegiatan sang anak akan dilakukan bersama ayah?
Elvina berjalan memasuki rumahnya, dengan tangan yang masih digandeng Yonna. “Sama kakek nanti ya perginya?” tutur Elvina memastikan.
“Nggak bisa, kakek kan sudah tua, acaranya kelompok gitu Mah, outbond, lomba segala macam,” ucap Elvina.
“Ya terus bagaimana? Sama mamah aja ya,” ucap Elvina, menjatuhkan bokongnya di sofa, melihat sang ayah yang hanya mengenakan kain sarung dan kaos singlet berwarna putih, berbaring di karpet tebal sambil menonton televisi.
Elvina bisa mendengar suara berisik dari arah dapur, seperti sesuatu yang sedang digoreng, dia tahu pasti ibunya sedang memasak untuk makan malam saat ini.
“Mamah nggak niat nikah lagi? Yonna mau punya ayah seperti teman yang lain,” Yonna menunduk dan memangku tangannya, memainkan kuku-kuku tangannya dengan wajah yang sedih.
Elvina menghela napas panjang. Pernikahan tidak semudah itu baginya, memang selama ini ada laki-laki yang datang dan pergi dalam kehidupannya, namun Elvina tak pernah yakin dengan mereka, karena banyak diantara mereka yang datang menawarkan cinta, namun hanya kepadanya. Tidak kepada anaknya yang merupakan sepaket dengan dirinya.
Membuat Elvina lebih sering menutup diri pada kehadiran laki-laki itu, mematikan rasanya dan memang dia merasa belum jatuh cinta, sebesar cintanya pada suaminya.
Elvina menatap Yonna yang masih menunduk dengan wajah getir, Yonna memang tak mengingat kasih sayang yang diberikan ayahnya terhadapnya, ditinggal di usia dua tahun tentu tak ada ingatan yang tertinggal, hanya sesekali saja dia memandang foto ayahnya dengan ekpresi datar seolah tak mengenalnya. Mungkin karena memang belum terbentuknya memori saat itu.
“Yonna beneran mau punya ayah?” Elvina mengangkat dagu Yonna, dan mata gadis kecil itu berbinar sambil mengangguk senang.
“Nanti mamah cari dulu, kali aja ada yang buang,” tutur Elvina sambil berdiri meninggalkan Yonna yang sudah cemberut.
“Mamah!! Rese ih!” cebik Yonna, mengadu pada kakeknya, sementara Elvina sudah tertawa keras sambil memegangi perutnya, membawa tasnya ke kamar, dia ingin segera mandi dan makan, perutnya sangat lapar saat ini.
Elvina menutup pintu kamarnya, kamar yang ditempatinya sendiri karena sejak usia lima tahun, ayah Elvina sudah membuatkan kamar untuk Yonna, jadi mereka sudah terbiasa tidur terpisah.
Elvina duduk di depan meja rias, memandang wajahnya pada cermin, masih cukup muda sebenarnya untuk menggaet pria. Dia juga cukup cantik dan masih tak terlihat bahwa dia sudah mempunyai anak berusia tujuh tahun jika sedang jalan sendirian.
Elvina menatap foto dirinya dan suaminya yang berbalut gaun pengantin, ingatannya melayang ke pernikahan beberapa tahun silam, betapa bahagianya dia saat itu.
Lamunan Elvina buyar ketika mendengar dering dari ponselnya, Elvina melihat nama Dimas tertera di layarnya. Mengernyitkan kening dan menerima panggilan itu.
“Ya Mas?” tanya Elvina.
“Sudah sampai rumah?” tanya Dimas dari seberang telepon.
“Sudah, baru saja. Ada apa ya?” tanya Elvina, merasa aneh ditelepon seperti ini, dia berpikir pasti ada sesuatu hal penting yang membuat Dimas sampai meneleponnya.
“Nggak ada apa-apa sih, aku ganggu ya?” tanya Dimas tidak enak.
“Nggak juga sih,” kekeh Elvina.
“Lagi apa?”
“Baru mau mandi, gerah.”
“Oke, nanti video call pas kamu mandi ya,” ledek Dimas.
“Ish dasar!” Elvina tertawa menanggapi ledekan Dimas padanya, dia tahu pasti laki-laki itu tak bersungguh-sungguh.
“Besok makan siang bareng. Mau nggak?” tanya Dimas lagi.
“Hmm, boleh aja.”
“Oke deh, yaudah kamu mandi dulu sana, baunya sampe sini nih,” ledek Dimas lagi.
“Hahaha iya iya! Ya udah sampai ketemu besok.”
“Ya, sampai ketemu besok,” tutur Dimas, menunggu Elvina mematikan panggilan itu.
Dia menyandarkan tubuh di kursi kerjanya, masih berada di kantor saat ini. Dia memang tak terbiasa pulang on time, lagipula dirumah sudah tak ada lagi yang menunggunya saat ini.
Ruangan kerjanya berukuran empat kali empat meter dengan dinding kaca, dan ada lemari berisi buku di sisi sebelah kanannya.
Ada sofa juga dalam ruangan itu meski tak terlalu besar. Juga lukisan bergambar pemandangan malam hari yang tergantung di dinding.
Meja kerja yang cukup besar dengan beberapa box surat, pesawat telepon, gelas berisi alat tulis. Kalender meja dan beberapa buku agenda.
Bahkan di meja itu masih ada bingkai fotonya bersama Kamila, mereka terlihat bahagia saat pengambilan foto itu yang dilakukan di Paris beberapa tahun lalu. Meskipun usia Kamila lebih tua dua tahun darinya, tak membuat hubungan mereka menjadi merenggang, setidaknya saat itu.
Dimas mengambil bingkai foto itu, membuka laci meja kerjanya dan meletakkan bingkai itu di dalamnya, tertumpuk dengan barang lainnya. Dia harus segera memutuskan saat ini.
Dimas melihat keluar melalui kaca dindingnya, dimana lampu-lampu ruangan di hadapannya banyak yang sudah dipadamkan. Hampir seluruh karyawan sudah pulang, sementara dia masih disini, memikirkan banyak hal sendirian.
Dimas menarik napas panjang dan berdiri, mengambil jaketnya yang tersampir di kursi, lalu meninggalkan ruangan itu, dengan lampu yang dipadamkan.
***
Setelah mandi, Elvina duduk di kursi meja makan dimana meja berbentuk lingkaran itu telah terisi aneka lauk yang dimasak ibunya, ada kursi berjumlah empat buah mengelilingi meja itu.
Yonna dan ayah Elvina ikut duduk di kursi meja makan tersebut, sementara ibu Elvina menyelesaikan membuat sambalnya dan membawanya ke meja.
Dia memang selalu memasak menu yang beda untuk makan siang dan malam, karena jika sarapan mereka lebih sering memakan gorengan, buah atau roti saja, tidak makan berat.
Ibu Elvina selalu memasak dengan porsi yang tak banyak, agar tidak mubazir, dia sudah dapat mengukur porsi makan seluruh anggota keluarganya.
Meskipun sudah berusia 54 tahun, namun wajahnya masih terlihat awet muda, usia ibunya hanya terpaut empat tahun dari ayahnya yang kini berusia 58 tahun.
“Nek, Yonna katanya mau punya ayah,” ucap ayah Elvina kepada istrinya, sambil menyendok nasi dan meletakkan dalam piringnya.
“Oiya? Tuh El denger, anaknya sudah mau punya ayah, lagi pula lima tahun sudah cukup kamu untuk menjanda,” timpal sang ibu, memberikan lauk ayam goreng pada suaminya.
“Iya Bu, iya, nanti Elvina cari,” tutur Elvina malas.
“Masa Nek, kata mamah mau cari kalau ada yang buang, memangnya ayah itu barang rongsokan apa?” cibir Yonna, membuat ibu dan ayah Elvina tertawa keras.
Elvina menjulurkan lidah pada Yonna yang dibalas dengan juluran lidah juga oleh Yonna, sebagai ibu dan anak, hubungan mereka memang sangat dekat dan tak jarang sering bertengkar saat selisih paham, seperti adik kakak saja.
“Kemarin anak bu RT mau cari jodoh tuh, kan sering kesini dia cari perhatian ke kamu,” ujar ibu Elvina, mengingatkan Elvina pada lelaki berusia 45 tahun, bergaya urakan dengan rambut ikal yang menjuntai panjang hingga melewati bahu, ciri khasnya sebagai seorang yang bekerja di dunia musik, memang sejak remaja hobinya bermain musik. Entah apa yang membuatnya belum menikah di usianya yang sudah sangat matang ini? Elvina menggeleng, dia tak suka pria seperti itu. Yang dia suka saat ini mungkin tipikal yang seperti Dimas, rapih dan pintar.
“Jangan sama dia, lebih baik jadi janda selamanya, daripada nikah dengan anak band nggak jelas kayak dia!” tunjuk ayahnya kepada Elvina dengan timun yang dipegangnya, sampai ibu Elvina tertawa dan mendorong timun itu ke hadapan ayahnya.
“Untung bukan tembakan ya Bu, bisa mati El dijedor bapak!” sungut Elvina yang dihadiahi pelototan oleh ayahnya. Menggigit timun itu keras-keras sebagai lalapan.
“Dipikirkan keinginan Yonna ya El,” ucap ibu Elvina lagi. Elvina mengangguk dan mengiyakan ucapan ibunya.
Sudah waktunya dia membuka hati, setelah kepergian suaminya dan dia berharap suaminya kelak, adalah orang yang mencintai dirinya dan juga anaknya.
Dimas mungkin? Elvina tersipu mengingat kejadian pagi tadi, saat mereka berdua berjalan dibawah payung, diiringi rintik hujan yang deras. Dan besok mereka akan makan siang bersama. Bolehkah Elvina mengharapkan sesuatu yang lebih dari hubungan mereka?
***