Sepuluh

1377 Kata
Elvina baru saja selesai rapat di ruang meeting yang berada di lantai lima, dia memutuskan ke toilet dahulu sebelum menuju ruangannya. Seperti biasa jika menyambut acara diskon bulanan, setiap tim akan melakukan persiapan dan pembagian jam kerja atau pekerjaan yang penting. Yang harus mereka tamakan. Elvina mendengar suara berisik, seperti orang bertengkar yang berasal dari toilet laki-laki. Dia tak ambil pusing akan hal itu, setelah menuntaskan buang air kecilnya, dia pun keluar dari toilet, namun tubuhnya hampir bertabrakan dengan sosok pria yang juga keluar dengan tergesa dari toilet laki-laki. Elvina mendongak demi menatap pria yang lebih tinggi darinya itu, pria berpakaian seragam yang dipakai khusus hari senin itu tampak kikuk melihat Elvina. “Kenapa, Mas?” tanya Elvina. Melihat bahwa pria di hadapannya adalah calon suaminya. Dimas berdehem, memasukkan ponsel ke sakunya. “Nggak apa-apa, tumben ke toilet sini?” tanya Dimas. “Iya, aku habis meeting. Tadi kamu yang kedengeran marah? Marah sama siapa?” “Oh, kedengeran sampai sebelah ya?” Dimas menggaruk tengkuknya, “klien, permintaannya ada-ada aja, udah lah nggak penting. Oiya kamu sudah makan siang?” tanya Dimas. Elvina menggeleng, baru juga pukul dua belas, tentu dia belum makan siang apalagi rapat tadi cukup lama karena dia yang diajak bosnya mewakili timnya. “Mau makan bareng?” tawar Dimas yang di beri jawaban dengan gelengan kepala oleh Elvina. Dia memang sudah janji mau makan siang dengan Lita hari ini. “Aku udah janji mau makan sama Lita,” ucap Elvina. Dimas hanya mengangguk dan melihat ponselnya yang sudah kembali menerima panggilan dari nomor yang tidak disimpannya. “Ya sudah aku ke bawah dulu ya,” ujar Elvina, memberi waktu bagi Dimas untuk menerima panggilan telepon itu. “Jangan lupa nanti malam kita ke percetakan undangan,” ucap Dimas. “Siap,” jawab Elvina, berjalan meninggalkan Dimas yang sudah menerima panggilan itu. Elvina sebenarnya penasaran, apakah Dimas memang tipikal yang suka berteriak dengan klien seperti tadi? Karena yang Elvina dengar selama ini, Dimas adalah pria yang paling sabar menghadapi klien maupun karyawan, selalu menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin, jika memang dia sampai se –emosi yang kedengarannya tadi, mungkin memang dia mendapatkan Klien yang cukup merepotkan. Elvina memilih mengabaikan perasaan yang mengganjalnya itu, dia pun memutuskan langsung ke Lobby karena Lita yang mengabarkan bahwa dia sudah menunggunya. Elvina menghampiri Lita yang sedang memainkan ponselnya, “lama banget,” cebik Lita saal Elvina menggamit tangannya dan berjalan di sampingnya. “Ketemu mas Dimas tadi di toilet,” ucap Elvina. “Cuma ketemu apa pacaran?” sindir Lita. “Lo tau nggak tadi deket kalian ada orang lain? Sebentar lagi juga nyebar berita pernikahan kalian, tau sendiri disini intelnya jempolan.” “Masa sih? Ya udah biar aja,” ujar Elvina membuat Lita menggeleng, selalu saja Elvina mengabaikan omongan orang-orang terhadapnya. “Sebulan ini gue bakalan sibuk banget,” ucap Elvina sambil mengunyah baksonya. Mereka memutuskan makan siang di kedai Bakso tak jauh dari kantor, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Lita sudah membubuhi banyak sambal di mangkok baksonya, lalu mengaduknya sebelum memasukkan kuah bakso pedas tersebut ke dalam mulutnya. “Lagian acara nya mendadak banget, lo bilang mas Dimas yang mau siapin semuanya?” “Iya tapi kan kasian kalau dia sendiri, banyak yang harus disiapin lagi pula gue nggak mau pakai baju kebesaran atau undangan pernikahan yang bukan selera gue.” Elvina kembali menyuap baksonya dengan tak mengalihkan pandangan dari Lita yang sudah kepedasan dan meminum teh manisnya. “Ya, yang terbaik aja deh buat kalian,” ucap Lita. “Lo kayaknya keliatan nggak ngedukung gue sama mas Dimas? Apa cuma perasaan gue aja?” “Perasaan lo aja kali, yang pasti ya, Lo harus tahu perasaan dia dulu,” ucap Lita. “Dia suka kok sama gue, dia aja udah bilang Love you El, malam itu.” Wajah Elvina bersemu merah mengingat ucapan manis Dimas dan bibir yang seolah masih tertinggal di atas bibir Elvina, masih terasa kecupan itu yang singkat namun mampu menggetarkan saraf di sekujur tubuh Elvina. “Serius? Nggak salah dengar kan?” “Nggak kok, jaman sekarang nyari cowok yang langsung serius itu nggak mudah, apalagi yang bisa nerima gue dan anak gue sepaket, sementara Dia dengan cepat melamar gue, deket sama Yonna pula, dan dia pandai banget merebut hati orang tua gue yang dengan cepat kelihatan suka sama dia.” “Sebagai teman, gue Cuma mau yang terbaik untuk Lo dan Yonna, semoga dia memang yang terbaik untuk kalian, meskipun gue tuh sedikit curiga justru karena dia yang terkesan terlalu terburu-buru menikahi lo,” tutur Lita, kembali meminum es teh manisnya yang hampir tandas, bahkan dia memesan lagi satu gelas es teh manis kepada abang penjual bakso tersebut. Elvina tersenyum pada Lita, dia merasa yakin bahwa Dimas adalah pilihan terbaik dalam hidupnya. Dan keputusannya sudah bulat. Dia ingin mendampingi Dimas dalam keadaan apapun, karena di hatinya kini telah dipenuhi nama Dimas. Lihat saja, bahkan dia mengirimkannya pesan perhatian kepada Elvina agar menghabiskan makan siangnya, di sela kesibukannya. *** Sepulang kerja, tak biasanya, Dimas menjemput Elvina di lobby dengan mobil yang di berhentikan tepat di depan lobby bukan di basement seperti biasa. Elvina memang tak membawa motor pagi ini karena Dimas yang memintanya pulang bersama malam ini. Sehingga Elvina memesan ojek online untuk mengantarnya ke kantor. Jam pulang kerja merupakan saat-saat paling ramai, dimana hampir seluruh karyawan keluar dari gedung bertingkat tersebut untuk kembali ke rumah masing-masing. Tentu banyak diantara mereka yang melihat pemandangan di depan lobby itu, dimana Dimas sudah membuka kan pintu mobil untuk Elvina. Memberikan senyuman indahnya pada wanita itu, hilang sudah wajah emosi Dimas siang tadi, berganti dengan paras tampannya yang diidolakan hampir seluruh wanita single di gedung itu. “Kenapa nggak di basement janjiannya, dilihatin orang – orang,” ucap Elvina, sembari menarik seat belt dan menguncinya. Dimas memandang ke sekitar, memang banyak yang tampak memperhatikan mereka namun Dimas acuh, menstarter mobil dan mulai melajukan keluar dari halaman gedung. “Nggak apa-apa, nggak ada yang perlu ditutupi, aku juga sudah hapus semua fotoku dan Kamila di sosmed kok,” ucap Dimas, memusatkan perhatian pada jalanan di hadapan mereka. Elvina tersenyum lega, mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai berseluncur ke akun sosial media Dimas, di scroll ke seluruh foto yang ada di akun itu, dan memang tak diketemukan satupun fotonya dengan Kamila. “Follow back aku dong,” pinta Elvina sambil mengerucutkan bibirnya. Dimas mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menyerahkan ke Elvina. “Nih, follow sendiri ya, aku nggak tahu akun kamu,” ucap Dimas, karena pandangannya yang terfokus pada jalanan dan hanya sesekali melirik ke Elvina itupun melalui kaca di hadapannya. “Memang nggak apa-apa aku buka sosmed di handphone kamu?” tanya Elvina ragu. Dimas menoleh dan tersenyum, “nggak apa-apa kok, kamu kan calon istri aku,” ucapnya. Elvina kali ini benar-benar merasa lega, membuka akun sosial media Dimas dan mengetik namanya sambil menyebutkannya lalu memfollow akun pribadi miliknya, kini mereka telah resmi saling memfollow akun satu sama lain. Elvina melihat banyak pesan yang masuk ke sosial media Dimas, namun dia tak berniat membukanya, baginya tetaplah harus ada privasi yang dijaga, dan tak seharusnya dia membuka hal yang terlalu pribadi seperti itu. Baginya cukup dipercaya untuk memegang dan membuka ponselnya saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa. “Kamu download lagi aplikasinya? Waktu itu katanya sudah nggak main aplikasi ini?” tunjuk Elvina. Dimas menghentikan mobilnya karena terjebak lampu merah, dengan perlahan diambil ponsel miliknya yang berada di tangan Elvina. “Iya aku install ulang, nggak enak kan kalau kita mau nikah ternyata masih ada foto dia di sini, lagi pula banyak karyawan kantor yang follow aku,” ucap Dimas, membuka aplikasi kamera di ponselnya dan mengarahkan ke arah mereka berdua. “Sini, kita foto,” ucap Dimas, Elvina mencondongkan diri ke arah Dimas dan tersenyum saat Dimas membidik gambar itu. Langsung mengupload ke media sosialnya dengan menandai Elvina pula, “Akun kamu yang ini?” tanyanya saat mengetik nama Elvina, Elvina pun mengangguk. Lalu dia menulis caption, “Semoga lancar sampai hari H,” tulisnya dan kembali memberikan ponsel itu pada Elvina. “Kalau penasaran, buka aja semua pesannya, nggak apa-apa,” tukas Dimas. Elvina menggeleng dan memegang saja ponsel itu di pangkuannya. “Aku nggak mau terlalu melanggar privasi kamu,” ucap Elvina. Dimas tersenyum dan mengusap kepala Elvina dengan lembut, lalu kembali melajukan mobilnya karena sudah lampu hijau. Menuju tempat percetakan undangan, malam ini designya harus selesai agar bisa segera di cetak dan di sebarkan, karena besok mereka harus mencari penata rias dan fitting gaun pengantin. Elvina memang pernah melangsungkan resepsi pernikahan, namun tetap saja karena bersama orang yang berbeda membuat pengalamannya juga berbeda, dan bersama Dimas dia merasakan dirinya begitu di istimewakan. Perlakuan Dimas yang selalu mengutamakannya, melibatkan dalam setiap keputusan, membuat Elvina merasa dihargai dan dianggap ada. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN