BAB IX

1595 Kata
“Apa ia masih hidup?” Billy bertanya pada Archel dengan pandangan mengerikannya. Tentu saja Billy merinding melihat sosok yang sekarang ada di depannya, sekarang sosok itu sudah mengeluarkan sisik bewarna hijau dan sedikit berbau amis. “Kau melakukan apa saja? Kenapa dia bisa sampai kaya gitu?” Billy memandang kasian kepada sosok tersebut. Banyak darah yang memenuhi dirinya bahkan sampai jatuh ke lantai yang ada pada ruang isolasi itu. “Sudahlah Billy, apa kau serius mengasihaninya? Dia pantas mendapatkan luka seperti itu, ya walaupun sebenarnya aku juga kasian.” Archel menatap sosok di depannya dengan pandangan datar, ia kasian, tetapi ia juga dendam. “Yuk keluar,” ajak Archel dan Billy hanya mengangguk saja. Mereka berdua akhirnya keluar dari ruangan isolasi itu dan balik ke kamar Archel. “Sepertinya bangsa sebelah itu akan benar-benar menghancurkan kota ini,” ucap Archel dengan memanyunkan bibirnya. “Kenapa begitu? Bentar... Apa kau sungguh belum mengetahui nama asli bangsa itu?” tanya Billy kembali. “Ya aku emang belum mengetahuinya, emang apaan? Lagian mereka tetap saja bangsa penganngu, kalau dilihat-lihat tujuan mereka emang ingin mengambil alih kota ini,” jawab Archel. “Oh begitu.. kemarin aku mendapatkan informasi kalau nama bangsa mereka itu bangsa Cordict. Nama yang cukup aneh, tetapi mereka menyebut diri mereka bangsa Cordict.” “Bentar.. mereka tau darimana?” tanay Archel penasaaran dan bangkit dari tidurnya menatap Billy yang bersandar pada kepala tempat tidur Archel. “Kemarin ada beberapa perekam suara yang ditanamkan di dekat area mereka, dan semua itu terekam dengan jelas. Bahasa mereka juga sudah sama persis seperti kita dan di akhir percakapan mereka ada yang berkata kalau mereka itu bangsa Cordict. Intinya seperti itu.” Billy menjelaskan kepada Archel. “Tapi mereka seperti sengaja bukan sih? Seperti sudah tau kalau disana ada penyadap suara dan mereka ingin memancing emosi kita sekalian memberitahukan nama resmi bangsa mereka?” “Yap, aku sebenarnya berpikiran seperti itu. Dan emang sepertinya hal itu benar,” ungkap Billy seraya mengangguk. “Eh? Ini Hexaint ngajak ketemuan di restoran dekat tempat praktek Delvin,” ungkap Archel dengan melihat Tabnya. “Seriusan? Apa karena Cordict?” “Sepertinya begitu, tapi aku sedikit takut Vano malah memihak mereka.” “Lah iya juga, kalau begitu kau harus mengawasi mereka semua mulai besok,” saran Billy. “Kalau misalnya nanti malah aku yang memihak mereka bagaimana?” tanya Archel memainkan pikiran Billy. “Nggak mungkin Ar, kau pasti akan membela penduduk kota Vanxyere, meskipun sebenarnya kita yang salah. Aku tau kau pasti akan tetap membela bangsa manusia!” ucap Billy dengan mutlak. Mana mungkin dirinya percaya jika temannya itu memihak ke musuh. “Ah... Kau sangat memahamiku dengan baik Bil,” pujia Archel tanpa melihat temannya itu. “Kau lebih seperti menghinaku daripada memujiku,” timpal Billy. “Kalau aku memujimu dengan sungguh-sungguh apa kau tidak takut?” Archel menolehkan wajahnya ke belakang dan menatap Billy dengan intesn. “Sialan lo! Jangan buat aku berpikiran aneh-aneh. Aku tau isi otak kau selalu saja membunuh Ar,” ungkap Billy dan melemparkan buku Archel yang berada pada meja belajar tepat di samping kanannya. “Aduh..” Archel mengelus-elus kepalanya sakit. “Jangan pakai ngelempar juga anjir,” “Kau terlalu brisik Ar,” ucap Billy dan memicingkat matanya melihat teman satunya itu. “Udah ah, aku masih ada beberapa tugas. Jangan ganggu!” seru Archel dan kembali fokus kepada layar Tabnya. *** Lia mendudukkan dirinya pada tempat tidurnya dan membuka buku untuk mempelajari beberapa hal tentang bangsa Cordict. Tentu saja buku yang dibuka Lia adalah buku tentang hewan, lebih spesifik kadal dan hewan melata lainnya yang merupakan predator ganas. Lia membaca buku itu untuk mempelajari sifat mereka, supaya nanti ketia ia bertemu dengan mereka, setidaknya dirinya tau kelemahannya apa. “Tapi apa mereka sudah pasti merupakan kadal?” gumam Lia masih sedikit kurang percaya dengan beberapa pernyataan dan gosip tentang bangsa Cordict. “Entahlah... Sebaiknya aku membaca buku ini saja dahulu dengan sangat khitmad.” Lia melanjutkan membaca buku tentang sifat berbagai jenis hewan itu selama tiga jam. Ia sama seperti Tania, sangat suka membaca, tetapi bedanya Tania suka membaca n****+, sedangkan Lia membaca buku non fiksi, terutama tentang psikologis. Karena bidangnya emang disitu. Saking menguasai ilmunya itu, Lia juga kerap sekali disuruh ikut andil dalam peran penting berbagai urusan negara. Hal yang paling dibutuhkan dari Lia adalah cara ia bisa mendeteksi kebohongan dan kejanggalan suatu hal, baik dari orang maupun suatu pristiwa. Setelah Lia membaca selama tiga jam-an ia mengakhiri bacannya pada buku itu sebanyak 200 halaman. Sangat singkat dan cepat tanggap, itulah kemampuan Lia yang sangat cepat merespon dalam berbagai hal. Tidak heran jika ia dijuluki seorang pembunuh berdarah dingin yang tangkas. Karena emang ia juga sering terlibat dalam penangkapan penjahat di kota Vanxyere, tentu saja Lia yang suka tidak dapat mengontrol diri seringkali melukai, mencabik, bahkan sampai membunuh penjahat yang dikejarnya. Lia meletakkan buku itu di meja belajarnya dan membaringkan dirinya dengan lansung menutup matanya, “Capek juga menatap buku yang penuh tulisan.” “Apa besok jadi?” gumam Lia dan melihat ponselnya. Ada pesan masuk dari Tania kalau besok mereka akan bertemu di taman pada pagi hari jam 9. “Jam 9? Kenapa aku berada diantara orang-orang yang sangat rajin?” keluh Lia dan menghelakan napasnya. Ia terkadang tidak bisa sesuai dengan Hexaint, meskipun sefrekuensi, tetapi tetap saja rasanya aneh ketika kebiasaan mereka sering tidak cocok dengan Lia. “Apa besok aku bisa bangun pagi ya?” Lia melihat jam hologramnya dan menunjukkan pukul satu malam. Melihat hal itu Lia menghelakan napasnya dan mulai merasakan kegerahan karena ia khawatir tidak dapat bisa bangun pagi. Tapi daripada memikirkan hal yang belum tentu terjadi, Lia pun akhirnya memejamkan matanya dan mematikan lampu kamarnya supaya ia bisa lebih fokus untuk tidur. *** Delvin mengasah pisau dapurnya, entah mengapa ia sangat senang melakukan hal itu, apalagi membuat pisaunya lebih tajam, seperti hal yang menyenangkan bagi Delvin. Mungkin ia seperti itu karena kebiasaannya dalam bekerja sebagai seorang dokter bedah di kota Vanxyere. Jangan tanya mengapa di umur 17 tahun Delvin sudah sangat mahir dalam membedah dan menjadi dokter bedah, itu karena bakat alaminya, maka dari itu ia juga masuk ke Hexaint, perkumpulan anak yang berbakat dan populer di Vanxyere. Jangan tanya apakah Delvin pernah melakukan kesalaan karena usianya yang masih belia? Jawabannya tentu tidak, ia juga sangat pandai mengontrol diri dan tidak seperti Lia yang sangat suka lepas kendali. Delvin merupakan anak yang memiliki kesadaran sangat penuh di Hexaint. Delvin sebenarnya ingin memasak makan malam saat sekarang, tetapi ia tiba-tiba saja merasa malam dan akhirnya memilih memesan makanan diluar. Ia menyuruh robot kecilnya yang diberlinya dari perusahaan AX.Corporation. Setiap orang yang tinggal di Vanyxere pasti memiliki robot kecil itu, karena ia sangat berguna melakukan aktivitas seharian. Selama menunggu makannya datang Delvin yang bosanpun memilih untuk mengasah pisau dapurnya, ia juga sebenarnya sudah pengen membedah perut seseorang lagi, karena menurutnya hal seperti itu sangatlah asik. Setelah beberapa menit kemudian, robot kecil milik Delvin yang bisa melayangpun datang dan menaruh makanan itu di atas meja. Delvin langsung menhampirinya, :Terima kasih Razh.” Delvin langsung membuka makanannya dan memakan makanannya itu dengan santai. Ia juga menaruh televisi di dapur, jadi ia tidak akan bosan jika berlama-lama di ruang tempat makan itu. *** “Apa Billy sudah pulang?” tanya Vallery kepada Archel. Mereka bertiga sekarang sedang berada di meja makan untuk makan malam bersama, tentunya semua makanan mereka selalu dimasak oleh Vallery. “Billy? Sudah Bu, dia baru saja pulang beberapa menit yang lalu,” jawab Archel. “Kenapa kamu tidak mengajaknya untuk makan bersama?” tanya Axer melihat anaknya itu seraya menyuapkan sesendok pasta keju ke mulutnya. “Sudah Archel ajak Yah.. tetapi ia menolak karena mendadak ada urusan penting dari pusat.” “Oh begitu.. pusat emang belakangan ini lagi sibuk karena bangsa Cordict,” ujar Vallery dan Archel juga Axer mengangguk secara bersamaan. “Setidaknya pusat bertindak dengan cepat, jika tidak itu akan merugikan kota Vanxyere,” ucap Axer. “Oh iya, bagaimana dengan sosok Pria yang kamu tangkap kemarin?” tanay Axer kepada Archel. “Ia tidak ingin menjawab apapun, jadi Archel memberinya sedikit pelajaran dengan sedikit menyiksanya. Dan berakhir ia pingsan sekarang, bahkan tubuhnya sekarang berubah menjadi bewarna hijau dan bersisik, tidak lupa bau amis yang mulai menyerbak dari tubuhnya,” jelas Archel kepada kedua orang tuanya. “Kamu sedikit berlebihan Archel,” ujar Vallery sedikit merinding dengan sikap mengerikan anaknya itu. Terkadang ia bingung darimana sifat Archel berasal. “Tidak Ibu, itu sudah sesuai dengan apa yang mereka buat.” “Archel benar, bagaimanapun tetap saja ia pantas menerima konsekuensinya jika ia tidak ingin menjawab. Itu berarti banyak rahasia besar yang bangsa Cordict sembunyikan.” Axer setuju dengan sikap yang diambil Archel. “Baiklah, sepertinya kali ini kalian berdua satu pikiran. Ibu akan mengikutinya,” ucap Vallery. Topik pembicaraan mereka pun habis sampai disitu, karena sebenarnya kebudayaan makan mereka tidak boleh berbicara, maka dari itu sepanjang waktu mereka makan malam hanya ditemani oleh keheningan dan suara angin yang menyapa tubuh ketiga anggota keluarga itu. *** “Driad.. Kita ada dimana?” tanya Selvi yang sudah terbangun dan memegangi kepalanya. “Sekarang kita ada di salah satu penginapan kota Vanxyere,” jawab Driad singkat dan kembali melanjutkan membaca bukunya. “Bentar deh.. bagaimana bisa kita sudah sampai sini? Bagaimana cara kau membawa kami?” tanya Selvi. Ia tau bahwa dirinya, William, dan Vian pingsan akibat serangan mendadak dari pasukan khusus Kota Vanxyere. “Sudahlah, tidak usah kau pikirkan. Sebaiknya kau beristirahat aja terlebih dahulu, disaat yang tepat nanti aku akan menceritakannya,” ucap Driad mutlak dan Selvi hanya mengangguk menurutinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN