PART 10 - AYAHNYA ALVIN

1363 Kata
PART 10 – AYAHNYA ALVIN. Sepulang dari sekolah, Aira sengaja mampir ke rumah Alvin. Berbekal alamat dari Maya, sampailah ia didepan rumah Alvin. Sebuah rumah yang tertata rapi, dan terlihat megah dibanding rumah yang lain. Benar kata Maya, Ayahnya Alvin termasuk orang berada. Aira teringat sesuatu. Kado yang Alvin berikan, bahkan belum sempat ia buka. Entah apa isinya. Mungkin nanti jika sudah di rumah, akan Aira buka. Tengah Aira bingung mencari bel yang biasa di sediakan untuk ukuran rumah seperti ini, pintu utama rumah itu terbuka. “Lho Bu Aira?” Sesosok tubuh seusia ibu Aira ke luar membawa bungkusan. “Oma Lani,” sapa Aira. Yang dipanggil Oma Lani segera membuka gerbang untuk Aira. “Mari silahkan masuk Bu Aira,” ajak Oma Lani. Ternyata Oma Lani hendak membuang sampah. “Bagaimana khabar Alvin, Oma? Menurut Bu guru Maya, Alvin sedang sakit?” Aira memperhatikan Oma Lani yang meletakkan bungkusan plastik besar di tong sampang. Lalu ia mengikuti langkah Oma Lani ke dalam rumah. Tak lupa membantu menutup pintu gerbang. “Iya Bu Aira, semalaman Alvin mendadak demam. Tapi sudah turun kok demamnya. Ini sudah pergi dengan Ayahnya keluar, mungkin bosan di rumah. Silahkan duduk ya bu Aira.” Aira memasuki rumah yang tertata rapi. Sebuah ruang tamu luas yang di apit dua buah kamar tidur. Aira memperhatikan beberapa pigura yang terpajang di ruang tamu. Semua milik Alvin. Sejak dia bayi hingga seusia sekarang. Tidak ada pigura yang menunjukkan wajah kedua orang tua Alvin. “Silahkan diminum Bu Aira.” “Bagaimana kabar Ibunya? Kemarin saat saya mengantar Alvin, Bu Maya mengatakan ibunya Bu Aira sakit?” Oma Lani duduk di samping Aira. “Alhamdullah Oma, Ibu sudah sehat. Makanya saya masuk kerja lagi. Eh malah mendengar Alvin sakit.” Tepat ketika Aira meneguk teh manis yang di sediakan, terdengar suara panggilan dari depan pintu. “Bu Aira?” Aira dan Oma Lani menoleh. Mereka melihat Alvin tersenyum di ambang pintu. Alvin langsung menghambur ke pelukan Aira. “Bu Aira pasti mau jenguk aku?” tanya Alvin dengan wajah polos dan tak mampu menyembunyikan roman bahagia, ketika melihat Aira duduk bersama Oma. Aira yang melihat Alvin sudah ada dalam pelukannya, refleks menyentuh dahi Alvin. Benar kata Oma, demamnya sudah turun. Batin Aira. “Aku sudah sembuh kok Bu Aira,” ucap Alvin sambil tersenyum memperlihatkan gusinya yang ompong. “Iya donk, kan Bu Aira sudah jenguk Alvin. Jadi Alvin harus sembuh. Besok sudah bisa ke sekolah kan?” Aira mengelus rambut Alvin dengan sayang. Alvin mengangguk tersenyum bahagia. Mereka tak menyadari sepasang mata memperhatikan interaksi keduanya. Sepasang mata yang masih berdiri di ambang pintu, milik ayah Alvin. “Lho Gara, kok malah bengong di sana. Ini ada Bu Aira datang menjenguk Alvin.” Ucapan Oma Lani, membuat gerakan Aira yang membelai rambut Alvin berhenti. Dia menoleh ke arah yang sedang ditatap Oma Lani. Aira terkejut. Bukan karena melihat siapa yang berdiri disana, namun mendengar sebuah nama yang masih menjadi pertanyaan di hatinya. Gara yang tadi sempat terkesima, segera melangkah. Ia tidak menyangka wanita yang selalu di bicarakan oleh putranya Alvin dengan semangat adalah wanita yang berulang kali ia temui. Ia pikir pasti banyak orang memakai nama Aira. Namun, tidak menyangka mereka orang yang sama. Orang yang sudah membuat senyumnya mengembang ketika bertemu beberapa kali, juga orang yang sudah banyak membantu pertumbuhan putranya. Sesuatu yang kebetulan sekali bukan? Jika ia dan putranya menyukai wanita yang sama. Aira mengangguk dan tersenyum. Jadi ayahnya Alvin bernama Gara? Jadi ia yang sudah membayar biaya klinik Ibu. “Bu Aira, ini kenalkan Ayahnya Alvin, putra saya,” ucap Oma Lani. “Selamat datang di rumah saya, Aira. Saya gak menyangka kita ketemu lagi disini.” Oma Lani memandang ke arah Aira dan Gara bergantian. “Kamu sudah kenal dengan Bu Aira, Gara?” Gara tersenyum. “Kami sudah sering bertemu Bu. Benarkan Aira?” Seketika Aira merasakan wajahnya menghangat. *** “Bagaimana khabar Ibu Yuni?” tanya Gara sambil menatap wajah Aira yang masih saja menunduk. Aira mengangkat wajahnya, dan pipinya kembali menghangat ketika bertemu tatap dengan Gara. “Alhamdulillah Ibu sudah baikan, Pak. Dan terima kasih karena kemarin bapak sudah berbaik hati mau membayar biaya rumah sakit ibu saya. Nanti saya pasti ganti.” Gara tersenyum. “Gak usah kamu pikirkan. Anggap itu ucapan terima kasih saya atas bantuan kamu membimbing Alvin, putra saya.” Dahi Aira berlipat. “Tapi ... itu telalu banyak Pak.” “Apa yang sudah kamu lakukan pada Alvin tidak bisa saya hitung dengan uang. Bagaimana saya harus membawa dia bolak balik konsultasi ke dokter, karena mogok bicara setelah ibunya meninggal. Saya sempat menyerah. Itu sebabnya saya pindah ke tempat ini, berharap ada perubahan untuk Alvin.” Aira menyimak kalimat yang keluar dari mulut Gara. Tentu ia masih mengingat bagaimana pertama kalinya Alvin masuk ke sekolah tempatnya bekerja. Anak itu tidak mau bicara. Bahkan Maya menyerah membiarkan Alvin menjadi patung ketika di kelas. Aira yang merasa iba, mencoba mengajaknya bicara. Awalnya ia juga di diamkan. Tapi karena sering bermain dengan Nada, membuat Aira tahu bagaimana menaklukkan hati anak kecil. Hampir tiap hari Aira menemui Alvin di kelasnya, mengajaknya bicara. Entah mendongeng ataupun bercerita tentang sosok Nada. Membuat lama-lama Alvin tertarik. Senyum pertama Alvin, Aira dapatkan setelah sebulan ia bercerita. Melihat itu saja, Aira makin bersemangat, jika ia bisa membuat Alvin kembali bersuara. Selanjutnya Alvin akan menunggunya diparkiran sepeda, walau hanya senyum yang tampak dari wajahnya. Aira tak patah semangat. Kesabaran berbuah hasil. Ketika berjalan tiga bulan, akhirnya Alvin mau mengeluarkan suaranya. Ucapan syukur dan terima kasih tak henti keluar dari mulut Oma Lani, ketika mendengar suara cucunya.   “Kalau menurut saya, mungkin Alvin hanya merindukan sosok seorang ibu.” Aira bukan bermaksud menggurui. Itu yang ia tangkap dari perilaku Alvin. “Bisa jadi,” Gara melarikan pandangannya pada Alvin yang sedang bermain bongkar pasang, tak jauh dari tempat mereka duduk. Lalu Gara menoleh ke arah Aira. “Mungkin saya harus mencari wanita yang bisa menaklukkan hati putra saya, seperti yang kamu lakukan.” Aira mengerjap, wajahnya tiba-tiba terasa panas. Tatapan Gara terasa menembus matanya dan langsung meluncur menuju hatinya, membuat Aira merasakan organ jantungnya berdegup kencang tanpa di pinta. “Kado yang saya titipkan pada Alvin, apa kamu menyukainya?” Aira kikuk.   “Maaf Pak. Saya belum sempat buka, karena kemarin Ibu mendadak sakit. Tapi sepulang dari sini pasti saya buka. Sekali lagi terima kasih ya Pak.” Gara mengangguk. “Oh ya, bisa saya minta tolong sekali lagi?” Ketika melihat Aira mengangguk, Gara berkata : “Panggil nama saya Gara, tidak perlu pake embel-embel Bapak. Bisa?” ** Aira membuka bungkusan yang beberapa hari lalu ia terima dari Alvin. Sebuah syal. Berwarna pink tua motif bunga. Aira tersenyum dan mencoba memakainya di leher. “Kamu beli baru?” tanya Yuni yang memasuki kamar. Aira segera melipat dan memasukannya ke dalam lemari. “Kado dari salah satu anak muridnya Maya, Bu.” Yuni mengangguk. “Oh ya Aira, kamu sudah cek siapa yang bayar biaya rumah sakit ibu kemarin?” Aira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aira sudah tahu bu, siapa yang bayar biaya perawatan ibu.” “Siapa?” tanya Yuni penasaran. “Hmm namanya Gara, dia yang antar ibu pulang kemarin dari klinik.” Yuni terkejut. “Kok dia baik sampai mau bayarkan biaya rumah sakit ibu?” “Dia ... dia ayahnya Alvin, salah satu muridnya Maya. Dan ... hmmm dia juga yang sudah kasih hadiah syal tadi,” ucap Aira sambil menyembunyikan wajah gugupnya. “Oooo.” Yuni mengangguk. “Baik ya orangnya. Alvin itu kan yang sudah tidak memiliki Ibu itukan? Yang dulu mogok bicara?” Aira mengangguk. Yuni memang selalu mendengarkan apapun cerita Aira tentang kegiatannya di sekolah. “Jangan-jangan dia baik sama kamu, ada maunya Aira.” “Maksud ibu?” “Siapa tahu dia sedang mencari ibu buat Alvin.” Melihat senyum di wajah Ibunya, Aira menggeleng. Ia tidak boleh berprasangka dulu pada kebaikan orang lain. Ia tak ingin memberi harapan tinggi pada ibunya, terutama pada hatinya. Tak ada salahnya membuka hati. Ketika yakin ia sanggup menjadi pengganti. Karena kesempatan tidak akan datang dua kali. Dari pada harus kembali kecewa berulang kali. Semoga suka yaaaaaa Jakarta 10 maret 2021 Love Herni.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN