PART 8 – SIAPA GARA ?
Dari jauh Aira melihat beberapa tetangganya di depan pintu rumah. Ia menambah kecepatan mengayuh sepedanya supaya bisa segera sampai di sana. Rasa khawatir muncul di dalam diri Aira pun jantungnya mendadak berdebar kencang.
Aira menaruh sembarang sepedanya, dan bergegas berjalan ke pintu rumah.
“Aira, ibumu sakitnya kumat.”
Seorang wanita seusia ibunya memberitahukan saat melihat wajah kekhawatiran tampak dari wajah Aira.
Aira segera ke kamar, dan di sana tampak beberapa tetangga menemani ibunya.
“Bu, ibu kenapa?” tanyanya ketika sudah di hadapan Yuni.
Rasa was-was menimpa Aira. Ia tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan ibunya. Hanya ibu yang ia miliki di dunia ini.
“Aira, kepala ibu pusing sekali,” Yuni memegang kepalanya sambil merintih. Matanya bahkan terpejam erat.
“Aira, sebaiknya bawa ibumu ke klinik, mungkin darah tingginya naik,” saran Bu RT yang kebetulan berdekatan rumahnya dengan Aira. Ia yang banyak membantu Yuni dan Aira selama ini. Karena tahu Aira hanya tinggal dengan ibunya saja.
Aira mengangguk dengan mata berkaca. Ia menatap wajah pucat ibunya.
“Mang, mang jaya. Cepet bantu Aira bawa ibunya ke mobil,” titah Bu RT pada salah satu warganya.
Aira tidak tahu siapa yang menyiapkan, nampak sebuah mobil seperti mobil angkot sudah berada di depan rumahnya.
Dan tampak beberapa orang membantu menggotong tubuh ibunya ke dalam mobil angkot, tentu dengan duduk bersandar pada Aira di dalam mobil. Aira membelai telapak tangan ibunya.
Dulu mereka hidup berkecukupan, bahkan kemana-mana ada mobil pribadi. Kini Aira hanya bisa meringis dalam hati mendapati kehidupan mereka yang makin memprihatinkan. Tak terhitung permintaan maafnya dalam hati, andai ia tidak cepat mengambil keputusan terhadap pernikahannya, mungkin nasib mereka tak seperti ini.
Bahkan untuk membahagiakan ibunya saja Aira belum bisa. Semoga Tuhan masih memberi kesempatan buat Aira untuk mengembalikan senyum ibunya.
Walau Aira sendiri tidak tahu, apa yang akan ia lakukan demi mewujudkan mimpinya itu.
Aira mengusap pelipis ibunya.
Ibu sembuh ya, Aira cuma punya ibu sekarang. Batin Aira.
Dibantu mang Jaya, Aira membawa bu Yuni ke dalam klinik.
Kebetulan klinik saat itu sudah ramai.
Aira bahkan melihat beberapa orang berpakaian seragam seperti seragam pabrik. Mungkin ada kecelakaan kerja, itu yang ada dalam pikirannya.
Tubuh bu Yuni dibaringkan disalah satu ranjang, tirai segera di tutup. Ternyata ruangan periksa terdiri dari beberapa ranjang, dan dipisah hanya dengan tirai yang tertutup memutari ranjang.
“Tekanan darah tingginya naik, sementara harus dirawat di sini Ibunya,” ucap salah seorang dokter pada Aira.
“Lakukan yang terbaik dok, untuk ibu saya,” pinta Aira.
Dokter mengangguk bersamaan dengan jeritan dari ranjang sebelah yang tentu saja Aira tak bisa lihat.
“Aira. Ibu takut.” Bu Yuni memegang telapak tangan putrinya.
“Tenang bu, Aira ada disini, gak kemana-mana kok.”
Aira sebenarnya takut juga mendengar teriakan di sebelah.
“Sebentar ya bu, saya kesebelah dulu ya. Ibu bisa urus administrasinya dulu, baru ada tindakan.”
Lalu Dokter melangkah menuju ranjang sebelah setelah menyibak tirai.
“Sus, itu yang disebelah memangnya kenapa?” tanya Aira kepada salah satu perawat yang masih memeriksa Ibunya
“Kecelakaan kerja bu, biasa. Tapi sudah di tangani kok, gak menginap sepertinya,” tutur perawat.
“Oh ya neng silahkan urus administrasinya, sementara saya menunggu ibu neng di sini.”
Aira mengangguk mendengar penuturan suster.
“Sebentar ya bu, Aira ke depan dulu,” pamit Aira pada Yuni.
Setelah melihat Yuni mengangguk, Aira melangkah ke luar ruangan.
Aira hampir bertabrakan dengan seorang lelaki yang kalau di ingat, ini adalah pertemuan mereka yang ketiga.
“Lho, mbanya ada disini?” tanya lelaki itu yang masih rapi mengenakan kemeja.
Lelaki yang hampir menabraknya dan yang kembali bertemu di depan gerbang sekolah.
“Iya, saya mengantar Ibu saya. Bapak sendiri sedang apa disini? Menjenguk?”
Karena dari penampilannya yang rapi, tak mungkin ia mejadi pasien di sini.
“Salah satu karyawan saya kecelakaan kerja tadi.”
“Ooo.” Aira mengangguk. Berarti benar, yang tadi teriak.
Tak lama Aira melihat Alam datang bersama istrinya Mila.
“Bagaimana keadaan ibu?”
Wajah Alam terlihat cemas. Alam bahkan melirik ke samping Aira, dan bertemu mata dengan lelaki yang menurutnya pasti salah satu tamu di klinik ini.
“Darah tingginya kumat lagi kak, dan harus di rawat disini,” jawab Aira.
“Ooo tapi gak parah kan?”
Aira menggeleng. Lalu tersenyum pada Mila, yang hanya di jawab Mila dengan tatapan biasa. Justru tatapan curiga yang Mila alamatkan pada lelaki disamping Aira.
Jangan-jangan inceran si Aira. Ah gak mungkin, orang ganteng gini naksir si Aira. Palingan juga orang nengok yang sakit. Batin Mila.
“Kak, aku bisa minta tolong gak,” pinta Aira memelas pada Alam.
“Gak bisa,” jawab Mila tegas, membuat ketiga pasang mata memandang ke arahnya.
“Mila!” bentak Alam pelan.
“Udah ya kang, pokoknya aku gak setuju akang terus bantu si Aira dan ibunya. Ingat kita tidak memiliki hubungan darah apapun sama mereka. Jasa mereka pada Akang sudah terbayar lunas, saat akang membantu mereka selama ini.”
Alam menghela napas, sejak awal menerima kabar tentang Aira dan ibunya, Alam sama sekali tidak ingin mengikut sertakan Mila istrinya, karena pasti akan seperti ini jadinya.
“Mila, Aira sudah ku anggap sebagai ....”
“Jangan bohong kang! Mila tahu akang masih suka sama dia, iyakan.”
Aira mengerutkan dahinya, jelas ia merasa tak enak mendengar pertengkaran Alam dengan istrinya kembali, gara-gara kebaikan hati Alam padanya. Apalagi lelaki yang kini masih disampingnya mendengarkan semua pembicaraan mereka.
“Mil, ya sudah aku gak jadi minta tolong sama kak Alam. Maaf ya, aku dan ibu selalu merepotkan kalian. Kalau begitu aku masuk dulu menemani ibu.”
“Aira tunggu ....” Alam berusaha menahan.
“Akang! Kita pulang sekarang! Nada nanti mencari jika kita pergi terlalu lama.”
Mila bahkan menarik tangan suaminya untuk segera beranjak pergi.
“Kamu gak seharusnya bicara seperti itu pada Aira, Mila.” Bahkan Alam berusaha menahan istrinya.
“Kalau akang masih mau disini silahkan! Sekalian akang jadikan saja Aira itu istri akang. Biar saya dan Nada yang pergi dari hidup akang!”
Mila tak mau repot untuk kedua kali memaksa. Ia pergi begitu saja dari hadapan suaminya.
Alam mengusap wajahnya.
Mila, selalu saja seperti ini. Andai tidak ada Nada diantara mereka, mungkin Alam sudah lama memikirkan untuk meninggalkan istrinya ini. Dengan segala kecemburuannya pada Aira. Padahal Aira jelas tidak pernah menggodanya. Aira bukan w*************a, tak perlu dengan menggodapun, rasa dihati Alam tak akan pernah berubah untuk seorang Safa Aira.
Sementara Aira kembali ke ruangan tempat ibunya yang masih terbaring.
Ibunya menoleh ketika melihat putrinya datang.
“Bagaimana Aira? Kamu punya uang dari mana buat bayar perawatan ibu disini? Ibu pulang saja ya, ibu sudah gak sakit kok.”
Aira tersenyum.
“Ibu gak usah khawatir, kak Alam bersedia membantu kita kok.”
Aira bohong jelas, karena ia tahu Alam tak akan bisa membantunya kini. Ia harus putar otak kepada siapa bisa meminjam uang.
Pak Danang.
Hanya kepada Pak Danang ia bisa meminta tolong.
Ia baru saja bayar cicilan rumah tadi, tapi sepertinya ia akan meminta kembali. Karena ia tidak tahu mau cari kemana lagi uang untuk biaya ibunya.
Aira mengerutkan dahi ketika melihat beberapa perawat membawa botol infus.
“Sus, saya kan belum bayar administrasinya.”
Jelas Aira heran melihat perawat itu melakukan tindakan terhadap Ibunya.
Perawat yang ditanya justru tersenyum.
“Sudah dibayar lunas kok neng, sama keluarga Ibunya.”
“Oh ya?” tanya Aira tak percaya.
“Alam baik sekali ya Aira, padahal ibu tahu Mila sering marah jika ia sering membantu kita,” ucap Yuni yang langsung meringis kala jarum suntik masuk ke lengannya.
Rasa penasaran yang membuat Aira melangkah ke arah kasir klinik.
“Bu saya mau tanya perawatan untuk pasien Ibu saya, siapa yang bayar ya?”
“Atas nama siapa neng?” tanya perawat penjaga loket kasir.
“Yuni.”
“Sebentar ya, saya cari kwintansinya.”
Terlihat perawat itu memilah kertas dihadapannya, dan menyerahkan secarik kertas pada Aira.
“Ini kwitansinya, atas nama Gara.”
Aira menerima dengan heran. Gara? Gara siapa?
“Sus, ini gak salah? Kwitansinya kok atas nama Gara? Ini beneran untuk biaya perawatan ibu saya?” Mencoba kembali meyakinkan jika perawat itu tidak salah.
“Iya bu, yang bayar tadi memang bernama Gara, semua sudah dibayar dimuka.”
Ucapan petugas administrasi tadi membuat Aira mengangguk.
“Terima kasih ya sus.” Aira berusaha mengingat, ia yakin tidak memiliki teman bernama Gara.
Walau bingung, Aira tetap melangkah menuju ruang Ibunya. Siapa Gara ini? Kenapa ia bayar biaya perawatan Ibu? Apa Kak Alam memakai nama palsu?
Ah pasti Kak Alam yang berbuat ini. Supaya tidak diketahui istrinya Mila.