Jonathan membuka kedua matanya secara perlahan. Ia mendengar suara dering ponselnya yang sejak tadi mengganggu tidurnya.
Ia lalu meraih ponselnya yang semalam memang sengaja ia letakkan di atas lemari kecil dekat ranjangnya.
Di layar ponsel Jonathan tertera nama papa. Jonathan langsung menggeser tombol warna hijau.
“Ya, Pa,” sahutnya setelah panggilan mulai tersambung.
Jonathan memijit pelipisnya yang terasa sangat pusing. Efek semalam mabuk berat.
Hanya demi melupakan sejenak masalahnya dengan Dina. Itulah kebiasaan yang Jonathan lakukan setiap mengingat pengkhianatan yang Dina lakukan.
Jonathan memang sudah membalas pengkhianatan Dina dengan pengkhianatan yang lebih menyakitkan.
Tapi, ia tetap tak terima dan merasa sakit hati setiap melihat Dina dan Dava. Ingin rasanya Jonathan menghancurkan mereka berdua sekaligus, tapi ia tak mampu melakukan semua itu.
Dava—adalah sosok sahabat yang sudah Jonathan anggap seperti saudaranya sendiri.
Keluarga Jonathan pun sangat menyayangi Dava dan sudah menganggap Dava seperti anak kandung mereka sendiri.
“Jo! Kamu dimana? Sekarang sudah jam berapa? Apa kamu lupa kalau hari ini kamu sudah masuk kantor untuk menggantikan posisi Papa?”
Jonathan mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Ia lalu menatap jam dinding di kamarnya. waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi.
“Maaf, Pa. Jo benar-benar lupa.” Jonathan memang menjadi pelupa setelah mabuk berat.
“Papa tunggu kamu di kantor sekarang. Papa gak mau tau apapun alasan kamu. Ingat Jo, hanya kamu harapan Papa satu-satunya. Gak mungkin ‘kan Papa memberikan perusahaan Papa kepada orang lain? Atau kamu memang gak mau meneruskan usaha Papa ini?”
Jonathan menghela nafas. Pagi-pagi ia harus mendengar omelan papanya.
“Bukan gitu, Pa. Maafkan, Jo. Jo ke kantor sekarang, Pa. Jo akan melakukan apapun permintaan Papa. Jo akan bersiap-siap dulu.”
“Ok. Papa tunggu di kantor.”
“Hem.”
Jonathan langsung mengakhiri panggilan itu. Ia lalu bergegas turun dari ranjang, mengambil handuk dari dalam lemari, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Meskipun Jonathan tidak ingin bekerja di kantor menggantikan papanya. Tapi, ia juga tidak punya pilihan lain.
Hanya dirinyalah satu-satunya harapan kedua orang tuanya. Jonathan juga tak mungkin membiarkan satu-satunya perusahaan keluarganya jatuh ke tangan orang lain.
Jonathan berdiri di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Memakai dasi yang ia rasa cocok dengan kemeja yang dikenakannya hari ini.
“Gue ngerasa aneh aja kalau pakai pakaian kayak gini. Berasa udah tua aja umur gue. Meskipun gue akui, gue cocok pakai pakaian apapun. Wajah gue tampan, tubuh badboy. Ok lah pokoknya.” Berbicara dengan pantulan dirinya di cermin dengan sangat percaya diri.
Setelah selesai bersiap-siap, Jonathan melangkah keluar dari kamar. Yang pertama ia tuju adalah dapur, ia mengambil s**u dari dalam lemari pendingin, lalu menuangkannya ke dalam gelas. Meneguknya sampai tandas.
“Lumayan untuk mengganjal perut. Entar sarapan di kantin kantor aja, nanggung kalau bikin sarapan sekarang. Waktu mepet. Gue juga gak ingin mendengar omelan Papa lagi,” berucap sambil mengusap perutnya yang sudah merasa sedikit kenyang hanya dengan segelas s**u dingin, karena Jonathan malas untuk sekedar membuat s**u hangat.
Jonathan mengambil kunci mobil yang semalam ia lempar ke atas meja. Melangkah keluar dari apartemennya. Menuju lift.
Masuk ke dalam lift ketika lift terbuka. Mengambil ponselnya dari saku celananya untuk mengecek aplikasi WA di layar ponselnya.
“Tumben itu 2 kunyuk gak chat gue.”
Setelah tak ada pesan dari kedua kedua sahabatnya, Jonathan kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Tapi, ia merasa heran, karena tak seperti biasanya Tegar dan Rendy tak berbalas chat dengannya.
Tak berselang lama, pintu lift terbuka, Jonathan sampai di basement apartemennya. Ia langsung melangkah menuju mobilnya. Masuk ke dalam mobil, mulai melajukan mobilnya keluar dari basement.
Dalam perjalanan, menuju kantor, Jonathan melihat Dava tengah berdiri di samping mobilnya yang terparkir di sebuah butik. Ia pun menghentikan mobilnya di tepi jalan. Menatap Dava yang tengah memainkan ponsel di tangannya.
“Sedang apa Dava di butik jam segini? Apa dia sedang mengantar nyokapnya? Tapi di jam segini?”
Jonathan terlihat sangat terkejut, saat melihat Dina keluar dari butik itu dan langsung menghampiri Dava.
Sialan!
“Kenapa tadi gue pakai acara berhenti segala! Bikin mood gue tambah jelek pagi ini!” umpat Jonathan.
Jonathan yang tak ingin melihat kemesraan Dina dan Dava memilih untuk kembali melajukan mobilnya.
Setelah satu jam, Jonathan sudah berada di basement kantornya. Ia lalu membuka pintu mobil, melangkah keluar. Masuk ke dalam lift dan langsung menuju lantai 8, dimana ruangan papanya berada.
Seorang wanita kisaran usia 30 an, beranjak berdiri saat melihat Jonathan melangkah ke arahnya.
“Papa ada di dalam?” tanya Jonathan, bahkan ia tak mengucapkan salam terlebih dahulu.
Wanita yang bernama Gresia, yang tak lain sekretaris papanya, menganggukkan kepalanya.
“Pak Barack sudah menunggu anda dari tadi,” ucapnya.
Jonathan mengangguk pelan, ia lalu melangkah menuju ruangan papanya—ruangan CEO yang akan menjadi ruangan nya mulai dari sekarang.
Tanpa mengetuk pintu, Jonathan langsung membuka pintu ruangan CEO itu, melangkah masuk ke dalam, menghampiri papanya yang sudah menunggunya.
Barack beranjak dari duduknya, “sekarang kamu ikut sama Papa,” ucapnya tanpa basa-basi.
Barack bahkan tak membiarkan Jonathan untuk beristirahat sebentar dan langsung mengajaknya untuk bertemu dengan semua karyawannya.
Jonathan hanya bisa menganggukkan kepalanya. Mengikuti langkah papanya yang mulai melangkah menuju pintu, membuka pintu, dan berjalan keluar dari ruangannya.
Barack menghampiri sang sekretaris, “apa semua sudah berkumpul di ruang meeting?” tanyanya.
Gresia menganggukkan kepalanya, “sudah, Pak. Semua karyawan sudah menunggu dari tadi,” jawabnya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya.
“Kita kesana sekarang. Hari ini juga, saya akan memberitahu semua karyawan siapa pemimpin mereka yang baru.”
Gresia menganggukkan kepalanya.
Barack dan Jonathan melangkah menuju lift, diikuti Gresia di belakangnya.
Entah apa yang Jonathan rasakan saat ini. Gugup itu pasti, karena ini pertama kalinya ia bertemu tatap dengan semua karyawan yang bekerja di perusahaan papanya.
Tapi, Jonathan berusaha untuk bersikap tenang. Ia bahkan membuang jauh-jauh bayang-bayang Dava dan Dina yang tadi sempat dilihatnya.
Baginya saat ini yang terpenting adalah kesan pertamanya di kantor. Apalagi dirinya akan menjabat sebagai pimpinan di perusahaan papanya itu.
CEO tampan dan muda. Berkarisma, membuat para kaum hawa terpesona saat melihatnya.
Itu yang ada di angan Jonathan saat ini.
Jonathan mendudukkan tubuhnya di kursi kebesaran yang biasa diduduki oleh papanya.
Mulai hari ini, lebih tepatnya setelah satu jam yang lalu, Barack memberitahukan kabar dirinya yang akan pensiun dari jabatannya, dan menyerahkannya kepada putra tunggalnya.
Jonathan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya, menatap langit-langit ruangan.
“Baru juga satu jam gue di kantor ini. Tapi gue udah bosen. Mau ngapain juga, gue malah bingung sendiri.”
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Jonathan menyahut, meminta seseorang yang ada diluar untuk masuk.
Yang diminta masuk pun langsung membuka pintu, melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan dimana Jonathan tengah terduduk santai di kursi kerjanya.
“Saya membawakan berkas-berkas yang harus anda tandatangani.”
Wanita yang tak lain sekretaris Jonathan, meletakkan berkas-berkas itu ke atas meja.
Jonathan menatap berkas-berkas yang ada di depannya.
“Semua ini harus saya tandatangani sekarang juga?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
Wanita yang bernama Gresia itu menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu saya pamit undur diri,” ucapnya sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Tunggu!” seru Jonathan saat Gresia ingin melangkahkan kakinya.
Gresia mengurungkan niatnya, “ada apa, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Apa jadwal saya hari ini? apa hari ini akan ada meeting penting?”
Semoga gak ada. Lagi pula ini hari pertama gue di kantor ini. Gila aja kalau sampai ada. Baru juga gue masuk kerja, udah banyak aja kerjaan yang harus gue kerjakan.
“Tidak, Pak. Pak Barack sudah menghandle semuanya. Pak Jonathan hanya diminta untuk beradaptasi terlebih dahulu dengan kantor ini, dan juga mempelajari berkas-berkas yang tadi saya berikan. Itu adalah perintah dari Pak Barack langsung.”
Jonathan menghela nafas lega, “Ok. Sekarang kamu boleh keluar.”
Gresia menganggukkan kepalanya, “saya permisi,” pamitnya lalu melangkah keluar dari ruangan atasannya itu.
Jonathan mulai membuka berkas yang tadi dibawa sekretarisnya. Membacanya, mencoba untuk mempelajarinya. Ia akan mencoba untuk belajar mengurus perusahaan keluarganya.
Waktu memasuki makan siang. Perut Jonathan juga sudah keroncongan. Apalagi tadi pagi belum sempat sarapan. Cacing dalam perut mulai berontak sepertinya.
Jonathan mengusap perutnya yang sudah kelaparan.
“Mending sekarang gue makan siang dulu. Bisa pingsan gue kalau gak makan lagi. Meski otak yang gue pakai buat mikir. Tapi, kalau perut gue kosong, otak gue juga bisa kosong. Mana bisa gue konsentrasi sama pekerjaan.”
Jonathan beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu. Menurunkan handle pintu, menariknya biar terbuka. Melangkah keluar dari ruangannya. Tak lagi melihat sekretarisnya, mungkin dia sudah pergi makan siang.
Melangkah menuju lift, masuk ke dalam lift setelah lift terbuka, lalu menekan lantai satu, karena kantin kantor ada di lantai satu.
Jonathan melihat kantin yang sangat penuh dengan karyawan kantornya. Merasa sangat asing, dia lalu memilih untuk makan diluar. Mengambil ponsel dari saku celananya, lalu menghubungi salah satu sahabatnya.
“Halo,” sahutnya setelah panggilan mulai tersambung.
“Lo sekarang dimana? Temani gue makan siang. Ada hal yang mau gue omongin sama lo,” lanjutnya lagi setelah 10 detik terdiam.
“Gue di rumah. Lo share lock aja, gue ke sana.”
“Lo ke restoran depan kantor gue aja. Kita ketemu disana.”
Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Jonathan langsung mengakhiri panggilan. Melangkah keluar dari kantin, merasa tak enak karena sudah menjadi pusat perhatian.
Wajahnya memang tampan, banyak kaum hawa yang terpesona dengan ketampanannya.
Sesampainya di restoran, Jonathan langsung memanggil pelayan untuk memesan makanan. Ia juga memesan makanan dan minuman untuk orang yang tadi dihubungi.
Tak berselang lama, seseorang menarik salah satu kursi yang ada di depan Jonathan.
“Sorry, jalanan macet. Lo mau bicara sama gue?” tanya seseorang yang tak lain adalah Tegar.
“Apa lo masih minat kerja sama gue?”
Tegar mengernyitkan dahinya, “lo mau nawarin gue pekerjaan? serius?”
Jonathan menganggukkan kepalanya, “mau gak jadi asisten pribadi gue. Dari ketiga sahabat gue, hanya lo yang otaknya encer.”
Mereka menghentikan obrolan, saat pelayan datang mengantarkan makanan dan minuman. Meletakkan di atas meja, lalu pamit undur, karena tentunya masih ada pekerjaan lain yang menunggunya.
Tegar menatap makanan yang terhidang diatas meja, “lo tau aja makanan kesukaan gue.”
“Gimana? Lo mau terima tawaran gue gak?” tanya Jonathan sekali lagi.
“Gue sih mau-mau aja. Apalagi sekarang cari kerja susah. Tapi, bukannya lo udah punya sekretaris ya?”
Mulai mengambil satu sendok makanan, lalu dimasukkan kedalam mulut.
“Enak coy.” Kembali memasukkan satu suap lagi.
“Gue emang punya sekretaris, tapi dia udah tua. Bikin gak semangat kerja aja. Bukannya biasanya sekretaris itu cantik, seksi, dan menggoda ya?”
Jonathan membayangkan wajah Gresia yang memang gak lagi muda, tapi tetap terlihat cantik. Meskipun begitu, Jonathan tak merasa tertarik. Bukan level.
Tegar tertawa, “lo mau kerja atau mau mesumm!” sindirnya.
“Ya, sambil menyelam minum air lah. Kalau ada yang bening-bening kan jadi tambah semangat gitu,” candanya sambil nyengir kuda.
“Kenapa lo gak minta Dina tuk jadi sekretaris lo? Lo bisa mesumm terus ‘kan ama dia.’
Jonathan menggelengkan kepalanya, “bosen. Cari pemandangan lain lah kalau bisa.”
“Lha, terus kenapa lo minta gue jadi asisten pribadi lo? Bukannya bikin lo jadi gak semangat?” tanya Tegar yang masih sangat penasaran.
Tapi, tawaran Jonathan sangatlah mengiurkan. Gaji sebagai asisten pribadi tidaklah sedikit. Cukuplah untuk biaya hidup satu bulan plus buat tabungan masa depan.
Apalagi Tegar sudah tak ingin membebani kedua orang tuanya lagi. Kalau bisa membalas budi kebaikan kedua orang tuanya selama ini.
“Kan tadi gue udah bilang. Gue butuh lo, karena otak lo encer. Lo bisa bantu gue untuk mengurus semua pekerjaan gue. Semua gue serahin sama lo, gitu.”
Jonathan mulai menikmati makanan yang terhidang di meja. Tak ingin sampai makanan itu jadi dingin, tidak akan enak disantap nantinya.
“Lo mau gaji gue berapa? Lo tau kan, gue butuh duit banyak.”
“Lo tenang aja. Jika kinerja lo bagus, gaji lo gue naikin.”
Tegar tersenyum, “ok lah kalau begitu. Kapan gue bisa langsung kerja?” tanyanya bersemangat.
“Besok lo bawa semua yang biasa dipakai buat melamar pekerjaan. Terus lo serahin ke HRD. Bilang gue yang suruh. Setelah itu lo keruangan gue.”
Tegar mengangguk mengerti.
“Tapi, saat lo jadi asisten pribadi gue. Lo harus bisa jaga rahasia.”
Tegar mengacungkan ibu jarinya, “soal itu, lo gak perlu khawatir. Lo kenal gue lama.”
“Itu juga yang membuat gue ingin jadikan lo asisten pribadi gue. Lo itu beda dengan yang lain. Tapi, lo juga harus tau, kalau gue juga bukan Jonathan yang lo kenal dulu. Lo pasti juga udah sadar dengan perubahan sikap gue.”
Tegar melipat kedua tangannya di dadanya, mulai tertarik dengan arah pembicaraan Jonathan.
“Apa lo mau cerita ke gue, apa penyebab lo berubah jadi Jonathan yang sekarang ini?”
Jonathan tak marah saat Tegar menyebutnya b******k, karena ia mengakui jika dirinya memang seperti itu.
“Suatu saat lo akan tau sendiri. Tapi, saat lo tau itu, gue harap lo bisa tutup mulut lo rapat-rapat. Jangan ikut campur, apapun yang terjadi. Biar gue yang urus sendiri.”
Jonathan mengambil minuman dari atas meja, lalu meneguknya hingga tersisa separuh.
“Jo. Jujur ni ya, gue benar-benar penasaran. Kenapa lo gak cerita sekarang aja ama gue? Lo pengen gue mati mendadak karena penasaran?” cebik nya.
Jonathan tertawa, “kalau lo sampai mati karena rasa penasaran lo. Jangan jadi arwah penasaran, terus datengin gue ya, gue gak rela lo datengin gue dan minta penjelasan ama gue,” candanya.
Jonathan lalu beranjak dari duduknya, “gue cabut dulu. Baru juga hari pertama, tapi kerjaan gue udah menumpuk,” keluhnya lalu melangkah pergi meninggalkan Tegar.
Tegar menghela nafas, 'sampai kapan lo akan rahasiain ini dari gue, Jo. Apa lo gak percaya sama gue? gue janji, kalau lo cerita ama gue, gue akan jaga rahasia lo itu,' gumamnya dalam hati.