"Setelah kamu tahu jika ternyata berada di sekitar Archie itu berbahaya, apa kamu masih ingin terus mendekatinya?" tanya Athar sebelum kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Anti pakai sendok saat makan enak, Athar makan dengan tangannya.
Ia dan Freya kini tengah makan nasi bebek goreng di sebuah rumah makan lesehan. Mengingat mereka sedang lapar setengah mati, mereka ingin makan enak, dan banyak. Dengan mengesampingkan gengsi. Semua juga tahu, makanan kaki lima sebenarnya memiliki rasa yang jauh lebih enak dibanding restoran. Lebih memuaskan dalam segi rasa, porsi, dan harga.
Freya pun makan dengan tangan. Sebelumnya ia tak pernah serakus ini ketika makan bersama denga seorang laki - laki. Tapi berhubung ia dan Athar tidak ada relasi apa - apa, ia cuek saja.
Freya baru saja menyuapkan kembali nasi beserta lauk dan sambal ke mulutnya. Kemudian ia menggigit lalapan yang segar.
"Aku sama sekali nggak ada niatan untuk berhenti." Freya menjawab di sela aktivitas mengunyahnya.
"Gede juga nyali kamu, ya." Athar menenggak satu gelas besar es jeruk sampai habis. "Mbak, tolong es jeruknya satu lagi." Athar berbicara pada pelayan di rumah makan itu.
Kemudian lanjut bicara dengan Freya lagi. "Si Wardhana kan belum ketangkep tuh. Gimana kalau setelah ini dia buntutin kamu ke mana - mana, terus cilik kamu lagi, terus melanjutkan rencana menjijikan yang kemarin, atau justru kamu akan bernasib sama kayak Raya? Gimana? Kemarin masih beruntung kamu, asa aku yang lihat dan terlibat. Gimana kalau lain kali, mereka culik kamu di tempat sepi? Bisa habis beneran kamu."
Freya mendengarkan ucapan mengerikan Athar yang lebih terdengar seperti ancaman yang begitu mengerikan. Namun itu tidak mengurangi nafsu makan Freya. Ia tetap makan dengan begitu lahap.
"Archie saat ini pasti khawatir banget sama aku. Ketika dia tahu ternyata aku diculik musuhnya, dia pasti akan berusaha lindungi aku lah. Jadi nggak perlu khawatir. Ancaman kamu itu nonsense semuanya." Freya menjawab dengan enteng.
"Yakin kamu dia bakal melindungi kamu? Nah, kalau dia marah gara - gara kita diculik barengan gimana? Dia pasti curiga kalau kita ada hubungan apa - apa. Secara dia orangnya cemburuan, gampang sirik."
"Ya aku cerita kronologi yang sebenarnya lah. Kan rencananya cuman aku yang diculik. Ada kamu, itu bukan bagian dari rencana. Dia pasti ngerti lah. Apa lagi dia udah mulai jatuh sama aku."
"Makasih." Athar mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan es jeruk. "Kalau kamu maju terus, berarti aku juga maju terus untuk menggagalkan kamu. Aku pikir setelah ini kita bisa berteman. Soalnya kerja sama kita saat kabur dari Wardhana cukup bagus. Kita cukup kompak. Tapi ternyata kita tetap menjadi rival."
"Ya nggak apa - apa. Udah digariskan Tuhan kalau kita bakal hidup dengan terus menjadi rival."
"Oke, lah. Kalau gitu ini makanannya kamu yang bayar, ya. Kan bajunya aku yang bayarin."
"Ish ... Laki - laki macam apa yang minta dibayarin sama perempuan?"
"Tapi kan kita rival. Ya sah - sah aja dong. Berapa sih harga makanannya. Inget, baju kamu itu harganya total 20 juta atas bawah."
"Pelit. Harga segitu untuk kamu mah kecil."
"Ya iya lah. Namanya juga orang kaya. Beda sama kamu yang kebelet jadi kaya, tapi nggak mau kerja."
"Lhah, aku kerja tauk. Kamu yang nggak kerja. Disuruh belajar jadi CEO malah kelayaban terus."
Athar tidak membalas ucapan Freya kali ini. Ia hanya tersenyum tipis. Menahan sesuatu dalam hatinya untuk diungkapkan. Kemudian melanjutkan makan dengan tenang.
Freya pun lanjut makan setelah itu.
***
Athar segera putar balik setelah mengantar Freya ke hotel Halim. Ia harus segera pulang untuk menemui Siska dan Brama. Tak mau mereka akan semakin khawatir. Keduanya memang selalu protektif kepadanya sejak dulu. Makanya kadang Athar sengaja berbohong untuk beberapa hal. Tak mau mereka terlalu berlebihan dalam mengkhawatirkannya.
Ketika memasuki pelataran rumah, Athar segera disambut oleh para asisten dan butler yang kerja di rumah megah Keluarga Virendra.
Semuanya nampak terkejut dan antusias dengan kedatangan Athar secara tiba - tiba, setelah beberapa hari menghilang tanpa kabar.
Ketika lelaki itu keluar dari mobil, semua agaknya cukup lega. Karena dilihat dari penampilan, Athar nampaknya baik - baik saja.
Athar melenggang memasuki area teras rumah yang luas. Para asisten di sana segera bersiap untuk membukakan pintu.
Siska dan Brama sudah mendengar dari beberapa asisten bahwa Athar akhirnya pulang. Mereka segera turun, menyambut kedatangan Athar di ambang Pintu.
Bahkan ketika Athar mulai terlihat, Siska langsung menangis. Saking bahagia melihat putranya ternyata baik - baik saja. Brama segera menenangkan sang istri. Ia tepuk pundak wanita itu sembari merangkulnya.
Athar memberikan senyum terbaik pada kedua orang tuanya ketika sampai di hadapan mereka.
Siska tanpa ragu segera memeluk putranya itu dengan begitu erat. Tangis Siska kembali pecah dalam pelukan putra bungsunya.
Athar membiarkan sang ibu menangis di sana, sembari menenangkan wanita itu.
"Kamu sebenarnya ke mana aja, hm? Kenapa nggak ada kabar sama sekali?" Brama yang akhirnya bertanya, mewakili semua orang yang ingin tahu tentang keberadaan Athar.
Athar tersenyum. "Aku nggak ke mana - mana, Pa. Cuman lagi pengin sendiri aja. Maaf karena nggak kasih kabar. Segala hp, dan apa pun yang berkaitan dengan dunia luar aku singkirkan sementara. Merasa cukup, ya udah aku pulang."
"Astaga ... harusnya kamu bilang dong, Thar. Kami semua nyariin kamu, bahkan Jena pun nggak tahu di mana kamu."
"Maaf, Pa. Kan udah minta maaf juga tadi." Athar terkikik.
"Tapi kamu baik - baik aja, kan, sayang? Kamu kelihatan agak pucat." Siska meletakkan tangannya di dahi Athar.
"Aku nggak apa - apa kok, Ma. Serius." Tentu Athar berbohong.
"Ya udah kalau gitu. Ayo kita masuk."
Athar hanya mengangguk, mengikuti orang tuanya masuk ke rumah.
***