"D - duduk dulu nak. Ibu dan bapak akan jelasin semuanya pelan - pelan. Ternyata kami sudah tidak bisa menyimpan rahasia ini lebih lama dari kamu."
"Ngapain duduk segala sih. Kelamaan!" Freya membentak sang ibu.
"Freya, jangan teriak sama ibumu!" Roni berseru dengan nada tinggi. Dibanding Fera, Roni memang selalu lebih tegas pada putri mereka itu.
"Gimana aku nggak teriak? Apa yang kalian sembunyikan dari aku selama ini, hm? Siapa wanita itu tadi? Kenapa mirip banget sama aku?"
"Duduk dulu, Freya. Ibu akan jelaskan." Fera nampak begitu panik, sedih, sekaligus bingung bagaimana menenangkan putrinya terlebih dahulu. Sehingga ia bisa bercerita dengan lebih leluasa.
Freya akhirnya benar - benar duduk setelah itu. Bukan karena ia menurut pada Fera. Tapi karena ia sudah terlalu lelah berdiri sejak sembunyi di depan tadi.
Fera dan Roni juga duduk. Keduanya saling berpandangan. Akhirnya Roni yang kemudian memulai cerita itu. Berharap jika Roni yang menceritakan, Freya tidak akan langsung tersulut emosi, seperti jika seandainya Fera yang menjelaskan.
Ya, mungkin Freya akan tetap emosi. Tapi sedikit lebih terkontrol.
"Freya, sebelumnya Bapak dan Ibu minta maaf karena merahasiakan hal sebesar ini dari kamu. Tapi kami pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Jadi untuk apa juga kamu tahu, kan."
"Jadi sebenarnya dia siapa?" Freya membentak Roni. Ia ingin segera tahu kenyataan. Tidak ingin mendengar basa - basi apa pun.
Roni menarik napas dalam, berusaha tidak emosi. Meski putrinya bersikap keterlaluan seperti itu. Ini karena rasa bersalah Roni, akibat menyembunyikan fakta besar yang jika dipikir - pikir lagi, perlu Freya ketahui sejak awal.
"Freya ... sebenarnya kamu terlahir kembar. Sama - sama perempuan. Identik. Bapak kasih nama kalian Freya dan Raya. Tapi karena Bapak dan Ibu sangat miskin. Ketika ada orang yang datang untuk mengadopsi salah satu dari kalian, Bapak dan Ibu dengan begitu berat hati memberikannya. Saat itu sebenarnya mereka ingin memilih kamu. Tapi karena kamu menangis, tidak mau lepas dari Ibu, mereka akhirnya membawa Raya. Mereka mengadopsi Raya secara resmi. Sebagai hadiah atas kami yang bersedia memberikan anak kami pada mereka, mereka tetap menggunakan nama asli Raya. Tanpa mengubahnya. Hanya ditambah nama belakang keluarga mereka, Iskandar."
Napas Freya berderu kencang. Dadanya bergemuruh. Begitu jelas di rautnya. Freya sedang begitu marah. "Bagaimana bisa kalian menyembunyikan hal ini dari aku, hm? Sial. Kenapa juga aku dulu menangis saat mau mereka ambil. Bodoh sekali aku. Seharusnya aku tidak menangis. Sehingga aku bisa diasuh keluarga kaya. Tidak perlu menderita bersama kalian seperti ini, berselimut kemiskinan tiada akhir."
"Freya ... tutup mulut kamu. Bapak sudah berusaha menahan emosi sejak tadi. Tapi kamu bukannya melunak, justru semakin menjadi - jadi." Roni pun akhirnya hilang kendali.
Sementara Fera hanya bisa menangis. Hatinya begitu sakit. Teramat sangat sakit.
"Menjadi - jadi bagaimana maksud Bapak? Siapa yang tidak akan marah jika seumur hidupnya hidup miskin? Apa pernah sekali saja Bapak dan Ibu menuruti apa yang aku inginkan? Kalian hanya bisa membeli barang - barang murahan. Kalian pikir aku tidak malu karena itu?"
"Freya ... kamu sudah dewasa. Kamu harusnya bisa sedikit saja menghargai kami. Ya, kita memang miskin. Bapak pun menyesal karena belum bisa mendapatkan banyak penghasilan. Tapi setidaknya kita bisa makan setiap hari, kita juga bisa membeli pakaian yang layak, juga barang - barang lain yang meskipun tidak mahal, tapi bisa berfungsi dengan baik. Kamu harusnya jangan terus melihat ke atas. Sekali - sekali lihat lah ke bawah. Banyak orang yang jauh lebih malang dari kita. Untuk makan saja tidak bisa."
Freya menyeringai. "Bapak ingin aku membayangkan jadi mereka? Mana aku Sudi. Hidup seperti ini saja aku sudah hampir mati rasanya. Bapak harusnya bisa berusaha lebih keras. Bukannya pasrah menjadi buruh seumur hidup bapak."
"Freya cukup. Jaga omongan kamu. Bapak sudah berusaha semaksimal mungkin. Mendapatkan rezeki halal untuk kita sekeluarga. Bukankah itu yang terpenting?"
"Cih ... rezeki halal katanya. Tuntunan zaman seperti sekarang apa masih penting halal atau tidak? Yang penting banyak, Pak. Bisa hidup enak."
Baik Roni atau pun Fera tidak tahu jika Freya memiliki pekerjaan lain selain menjadi teller bank. Freya pulang pagi setiap bekerja, ia bilang karena melembur di bank. Roni dan Fera percaya saja, karena mereka memang bukan orang berpendidikan yang tahu ini itu. Mereka bahkan hanya lulusan SD.
Tetangga pun tidak ada yang curiga, karena Freya memiliki reputasi baik. Freya terlalu pandai menutupi aib - aibnya.
"Hati - hati kalau bicara, Nak. Tolong jangan seperti itu. Tolong pegang ucapan Bapak. Meski sedikit, setiap rezeki yang kita makan, semuanya harus halal, Nak. Kalau tidak .... naudzubillahimindzalik. Azab Allah sangat pedih, Nak. Semoga kita senantiasa dihindarkan dadi segala hal yang haram."
Freya lagi - lagi menyeringai. "Raya ... kenapa tadi dia tiba - tiba datang?" Freya akhirnya segera mengganti topik, karena sudah malas mendengar ceramah Roni.
"Dia ... katanya dia baru tahu bahwa ternyata dirinya diadopsi. Dia tidak sengaja menemukan surat adopsi ketika mencari berkas di kamar ayah angkatnya. Dia akhirnya meminta penjelasan. Setelah tahu faktanya, dia segera menemui kami. Karena dia sibuk, dia bisanya pagi - pagi buta sebelum berangkat ke kantor."
"Woah ... enak dong ya. Sekarang Ibu sama Bapak pasti bakal rutin dapet duit banyak dari Raya. Enak banget punya anak diadopsi sama orang kaya. Sama Sultan. Duh, apes amat nasibku tetep jadi anak kalian. Kalau gitu mulai sekarang aku akan cari tahu tentang keluarga Iskandar yang udah adopsi saudara kembar aku. Aku mau deketin mereka. Kali aja ntar aku diadopsi juga."
Freya kemudian beranjak, berlalu dari hadapan kedua orang tuanya. Meninggalkan Fera dan Roni yang benar - benar miris dengan sikap dan pola pikir Raya. Padahal mereka merasa sudah membesarkan Freya dengan didikan yang baik. Tapi entah kenapa Freya tumbuh menjadi sosok pencinta materi yang tidak punya sopan santun.
Freya berbaring pada kasur kapuk yang keras di kamarnya. Rautnya nampak serius menatap langit - langit kamar berupa gambaran genteng lawas yang sudah bernoda di mana - mana.
Pikirannya sedang menyusun siasat. Ia harus memanfaatkan situasi ini. Memiliki saudara kembar yang kaya raya? Bukan kah itu hebat? Ini adalah kesempatan emas bagi Freya. Tentu saja.
Bukan Freya namanya jika tidak bisa memanfaatkan situasi ini semaksimal mungkin, demi keuntungannya sendiri.
***