Seperti biasa, rapat selesai di sore hari. Seperti biasa pula, Archie bukan pribadi yang banyak omong. Dan seperti biasa yang lain, Athar merupakan sosok yang lebih vokal dibandingkan sang kakak.
Mereka seperti mengulang tadi pagi. Tetap berjalan beriringan bertiga. Bedanya tadi pagi mereka turun, sementara sekarang mereka naik. Dan juga berjalan ke arah berlawanan.
"Baru juga sekali ikut rapat. Rasanya udah bosan setengah mati. Gimana nanti hidup aku kalo udah resmi jadi CEO? Aku bakal jadi mayat hidup lah. Sama seperti kakakku." Athar bicara sendiri, bertanya sendiri, dijawab sendiri.
"Kenapa sih harus kita yang susah - susah mikir." Athar masih melanjutkannya ocehannya. "Papa harusnya serahin aja perusahaan pada seorang ahli. Kita sebagai atasan ya tinggal ongkang - ongkang kaki. Bukannya malah bekerja paling keras. Jadi nggak ada waktu buat bersenang - senang. Ini nih yang bikin aku males banget dilantik jadi CEO."
Archie melirik sang adik di sampingnya. Panas juga telinganya lama - lama karena ocehan Athar. "Kalau nggak suka, kamu harusnya terus terang sama Papa sejak awal. Jadi Papa nggak perlu repot - repot sekolahin kamu tinggi - tinggi demi bisa jadi penerus di keluarga kita."
Athar terkikik. "Woes ... Mister perfect lagi sensi. Padahal tadi aku hanya berpendapat. Kalau diterima ya Alhamdulillah. Kalau nggak diterima ya nggak apa - apa. Santai aja lah. Hidup jangan terlalu dibawa serius. Woles ... woles ...." Athar kembali terkikik mengakhiri ucapannya.
Sesampainya di kamar sang kakak, ia segera masuk untuk mengambil kunci mobil yang tertinggal di sana. Kesal sebenarnya Athar karena lupa membawa kunci mobilnya sekalian tadi pagi. Ia jadi harus kembali lagi ke kamar Archie untuk mengambilnya. Padahal seharusnya ia bisa langsung pergi untuk menjemput Jena.
Rasanya sudah sangat rindu pada wanita itu. Karena seharian ini belum bertemu sama sekali.
"Aku langsung balik ya." Athar berpamitan.
"Masih rutin antar jemput Jena?" tanya Archie.
"Ya masih lah. Emangnya kenapa? Tumben peduli. Masih inget ternyata punya temen namanya Jena."
Archie hanya diam. Lagi - lagi berpikir tidak ada gunanya juga menjawab. Karena apa pun yang ia lontarkan pasti akan salah di benak Athar.
Sebenarnya bukannya Archie tak ingat dengan sahabat baiknya sejak kecil, Jena. Tentu ia ingat. Mana mungkin bisa lupa. Tapi Archie bahkan tidak memiliki waktu untuk waktu kualitas dengan dirinya sendiri. Apa lagi bersosialisasi.
Terakhir kali ia bertemu Jena, adalah beberapa hari sebelum kecelakaan yang menimpa Raya. Mereka keluar bersama, berempat -- Archie, Raya, Jena, dan Athar.
Lagi pula sejak Jena mengakui bahwa ia mencintai Archie, hubungan mereka memang menjadi agak canggung. Terlebih Archie malah jatuh cinta pada sahabat Jena sendiri, Raya.
Archie dan Raya saling mencintai. Harusnya mereka saling mencinta dengan bebas. Tapi karena perasaan Jena pada Archie, mereka harus sembunyi - sembunyi dalam menjalani hubungan mereka, karena tidak mau ketahuan Jena dan membuat wanita itu sedih. Alhasil, ya tentu saja mereka akhirnya ketahuan.
Jena bilang tak apa. Saling mencintai itu wajar. Mereka bisa berkencan dengan bebas karena mereka tidak selingkuh dari siapa pun.
Meski berkata begitu, pasti lah hati Jena tetap tersakiti bukan? Dan tetap merasa dikhianati, itu sudah pasti.
Sejak saat itu pula ketidak akraban Athar dan Archie juga semakin parah. Karena Athar pro kepada Jena. Ia kesal karena juga merasa sang kakak sudah mengkhianati Jena dengan menjalin hubungan cinta dengan sahabat Jena sendiri.
Ah, memikirkan masa lalu mereka, tidak akan ada habisnya untuk dibahas.
"Sampaikan salam ke Jena." Archie tiba - tiba berkata seperti itu.
Cukup untuk membuat Athar menghentikan langkahnya. Batal untuk membuka pintu keluar, padahal tinggal satu langkah lagi.
"Nggak akan disampaikan. Karena salam itu bakal bikin Jena inget semua hal yang menyakitkan akibat hubungan Lo sama Raya." Athar menjawab dengan terus terang.
Archie lagi - lagi tak menjawab.
Dan Athar lagi - lagi menunda niat untuk keluar dari kamar kakaknya ini. "Gue hanya kasih peringatan. Hati - hati sama rayuan perempuan yang belum Lo kenal dengan baik. Cuman itu sih. Ya udah gue beneran pamit kali ini."
Athar benar - benar pergi setelahnya. Archie tetap duduk diam di tempatnya. Memikirkan peringatan dari Athar barusan.
Apa maksud Athar bicara seperti itu? Archie benar - benar tidak mengerti.
Menganggap ucapan Athar hanya sebuah cangkang kosong yang tidak memiliki makna apa pun.
***
Freya cukup bahagia karena sorenl ini tidak ada mobil Athar. Ia aman karena belum akan bertemu dengan pemuda itu lagi dalam waktu dekat. Semoga saja.
Mungkin Athar masih sibuk dengan Archie karena urusan mereka tadi pagi.
Perjalanan menuju hotel Halim terasa singkat. Setelah membayar, Freya langsung masuk ke hotel. Ia ingin segera beristirahat. Dan bersiap - siap karena rencananya malam ini ia akan melancarkan aksi lain untuk menarik perhatian Archie.
"Nona Freya!"
Seruan itu ... suaranya amat Freya kenal. Suara paling memancing amarah, juara satu memancing amarahnya.
Freya ingin sekali tidak menanggapi. Pura - pura tak mendengar. Sayangnya otot lehernya tidak mau bekerja sama ternyata. Ia tetap menoleh.
Kemudian ia terpaksa melihat manusia paling menyebalkan di dunia itu sekali lagi. Padahal tadi ia sudah lega karena menganggap tak akan bertemu lagi dengan orang itu hari ini.
Athar kelihatannya sudah akan pergi. Jam segini, biasanya Archie juga sudah selesai rapat. Benar dugaan Freya bahwa Athar hari ini terlibat dalam rapat Virendra Inc. di sini.
Athar hanya tertawa melihat wajah kesal Freya.
Nyatanya Athar tidak mengatakan apa pun setelahnya. Ia hanya membentuk pistol dengan ibu jari dan telunjuknya, kemudian mengarahkan pada Freya, menggoyangkannya seolah - olah ia sedang menembak. Athar kemudian meniup ujung telunjuknya, seakan - akan tembakannya sudah tepat sasaran.
Ia tertawa sekali lagi. Sebelum akhirnya terus berjalan keluar dari pintu hotel.
Freya masih terdiam di tempat. Ia sudah pasang badan tadi. Juga sudah menyiapkan sumpah serapah seandainya Athar mencari masalah lagi dengannya. Tapi ternyata tidak.
***