1. Anastasha Life

2015 Kata
Pagi ini suasana sedang basah karena hujan yang mengguyur sejak semalam tak kunjung reda. Karena itulah seorang gadis cantik yang akan berangkat ke sekolah memilih mengenakan jaket tebalnya supaya tidak kedinginan. Anastasha Aviane, gadis cantik bertubuh mungil dengan wajah seperti boneka hidup namun memiliki sifat yang sangat pemberani. Biasa dipanggil Ana oleh orang terdekatnya. Ana melangkah menuju lift karena sedang malas menggerakkan kakinya untuk turun ke lantai satu. Bukannya apa, kamar Ana berada di lantai lima dan untuk tiba ke lantai satu akan membutuhkan waktu yang cukup lama apalagi Ana hanya sebesar anak SMP. “DARLING ... AYO TURUN!!!” Teriakkan dari lantai satu membuat Ana melangkah lebih cepat menuju lift sebelum rumahnya roboh karena teriakkan orang tersebut. Ting! Dentingan yang disusul pintu terbuka membuat Ana segera keluar. Saat tubuhnya sudah keluar dari lift, aroma masakan langsung menyeruak ke indera penciuman Ana. Gadis itu sampai merem melek karena masakan koki di rumahnya memang selalu menjadi juara. Saat tiba di meja makan, kedua mata bulat Ana mengerjap kaget. Penampakan yang ada di depannya benar-benar horor untuk diperhatikan. Ingin rasanya Ana menghilang atau paling tidak meratakan rumahnya saja biar pemandangan di depannya tidak terlihat. “Hai, Ana.” Tanpa menjawab sapaan dari ketiga manusia di depannya, Ana langsung mendudukkan dirinya di kursi kemudian menenggak s**u hingga setengah. Gadis itu beralih menatap wanita yang saat ini masih mondar-mandir menyiapkan makanan dengan bantuan para maid. “Pagi, Mama,” sapa Ana lucu. Ella Aviane, Mama dari Ana yang masih berusia 40 tahun itu tersenyum kearah putri bungsunya. “Pagi sayang,” balas Ella hangat. “Ana, gue tadi nyapa kok lo gak jawab?” ujar Nich tak terima. Nicholas Ivander Reegan, pemuda tampan berstatus sebagai sahabat Ana yang memiliki sifat kekanakan serta konyol. Namun sifat itu akan berubah menjadi pelindung jika sahabatnya mendapatkan ancaman. “Apa sih?” cuek Ana. Tak lama setelah itu datanglah seorang pria setengah baya dengan wajah yang tampan membawa benda atau binatang berwarna putih dengan bulu lebatnya. Terlihat jika sesuatu yang mirip dengan binatang itu tertidur dalam pelukan pria tersebut. “Ana, lihatlah Papa membawakan sesuatu untukmu.” Evander Martino, pria tampan berusia 42 tahun yang berstatus sebagai Papa dari Ana. Pria yang suka menciptakan hal-hal baru termasuk membuat binatang dalam bentuk robot. “Kali ini Papa bikin apa?” sahut Ana ogah-ogahan. Evan tersenyum cerah kala mengetahui putrinya mau menyahuti ucapannya. Langsung saja Evan menyerahkan hasil buatannya kepada Ana yang saat ini menunggu penjelasannya. “Dia Max, usianya 3 hari, jen—” “Plis, Ana nanya apa yang Papa buat. Bukan harus menjelaskan seperti tukang sensus,” potong Ana jengah. Evan cengengesan kemudian menjawab, “Robot kucing, tapi mukanya lebih cakep daripada yang ada di film.” “Film?” Alis Ana bertaut karena bingung. Tak hanya Ana, keempat manusia yang menyimak pembicaraan itu nyatanya juga bingung dengan ucapan Evan. “Iya, yang suka makan dorayaki itu,” jelas Evan yang ternyata juga lupa nama robot itu. “Doranyemon, Om,” sahut Xan setelah keterdiamannya. Xanthos Fredell Maximilian, satu-satunya sahabat Ana yang memiliki sifat paling bijaksana dan selalu mendukung apapun yang para sahabatnya lakukan selagi itu positif. “Oh ... Iya ...,” Evan menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Nih, Papa hadiahkan buat kamu.” Pria itu menyerahkan kucing cantik yang sayangnya robot itu kepada Ana. Ana menerima pemberian Papanya dengan senang hati. Mata gadis itu menelisik penampilan kucing berwarna putih dengan bulu seperti kapas itu dengan memicing. Tak lama kucing cantik itu menggeliat pelan dan membuka matanya yang berwarna biru. “Meow ...” Kucing itu mengeong pelan saat matanya terbuka sempurna. Badannya semakin menggeliat kemudian kembali menenggelamkan badan gembulnya kepada Ana membuat gadis cantik itu mendengus. “Kucing pemalas gini, Papa kasih ke Ana? Buang aja lah, jadiin rongsokan,” cibir Ana. Sepertinya robot kucing itu paham akan ucapan Ana. Buktinya saja setelah Ana berkata seperti itu, mata birunya langsung terbuka lebar. “Meow ...” “Udah, taruh dulu itu si pemalas. Mending kita semua makan,” ujar Ella setelah semua menu untuk sarapan tersaji. Mendengar sang Nyonya besar sudah menginterupsi, mereka semua langsung memulai sarapannya sementara Ana meletakkan kucing itu dilantai. Hanya membutuhkan waktu 15 menit saja untuk mereka menyelesaikan kegiatan sarapannya, kini mereka mulai bersiap untuk melakukan kegiatannya masing-masing. Evan sang kepala keluarga, pergi ke tempat penelitian. Ella si Nyonya besar, bergegas menuju butik karena akan ada pameran busana. Sementara para remaja-remaja itu berangkat ke sekolahnya bersama. “Ana, lo gak masalah kan naik mobilnya Nich?” tanya Gaby Allesiana Fransiska, sahabat perempuan Ana yang memiliki sifat dewasa. Kening Ana berkerut tipis, “Emangnya kenapa kalau mobil Nich?” “Ya ... Takutnya lo gak mau soalnya dia bawa dorkas,” jawab Gaby sedikit ragu. “Hah?” *** Disinilah Ana sekarang, di sebuah dorkas bersama dengan Xan dan Gaby. Ucapan Gaby tadi bukan hanya candaan semata karena terbukti sekarang mereka bertiga duduk di belakang sedangkan Nich sebagai pemilik duduk di depan. Ana sendiri duduk dengan kepala yang menelungkup karena angin yang kencang membuat kepalanya pusing. Ingin rasanya Ana muntah, namun tak mau membuat sahabatnya khawatir. “Lo sakit, An?” tanya Xan khawatir saat melihat wajah pucat Ana. Kepala Ana mendongak sedikit kemudian menggeleng sebagai jawaban. Setelah itu Ana kembali menelungkupkan kepalanya sembari berharap saat dorkas itu tiba, rasa mualnya berangsur hilang. “GIMANA GUYS? SERU KAN?” teriak Nich selaku supir dengan wajah bahagianya. Baik Xan maupun Gaby, keduanya tak menjawab. Mereka memperhatikan gerak-gerik Ana yang hanya terdiam tanpa melakukan apapun. Nich yang tidak mendapatkan balasan langsung melirik spion yang berada di tengah-tengah. Matanya melotot saat mengetahui Ana tak bereaksi. Sebagai supir yang baik, dia langsung saja mengegas dorkas kesayangannya supaya bisa tiba lebih cepat. Benar saja, waktu yang harusnya ditempuh selama 20 menit kini mengikis menjadi lima menit. Keempat orang itu akhirnya tiba di parkiran SMAN 1 dengan raut berbeda-beda. Ana yang sudah tidak tahan langsung melompat turun guna mencari tong sampah. Gadis itu memuntahkan semuanya supaya tidak ada lagi yang mengganjal di perutnya. Gaby sendiri langsung menghampiri Ana dan membantu gadis itu dengan memijit tengkuknya. “Lain kali gak usah naik kayak gini lagi,” tegas Xan sembari melirik kedua sahabatnya. Nich yang tidak tau apapun langsung menggaruk kepalanya. Dasarnya Nich orang yang kekanakan, pemuda itu memasang cengiran lebar yang membuat Xan geram sekali. “Gara-gara lo, nih, Ana sampe pucat!” teriak Gaby yang sudah terlampau khawatir. “Lah, kok gue?” Nich mengernyit karena heran. “Udah-udah gue gak kenapa-kenapa kok. Yuk ke kelas aja, takutnya keburu bel,” ajak Ana sekaligus mengalihkan. Gaby hanya bisa menghela nafasnya pasrah. Ana itu tidak bisa ditentang ucapannya karena jika ditentang, pasti akan ngambek. Keempat orang itu melangkah beriringan menuju 11 IPA 1, kelas dimana mereka menuntut ilmu selama satu tahun kedepan. “KALIAN!” Keempat orang itu berhenti saat mendengar suara panggilan yang jelas sekali ditujukan untuk mereka. Tak lama seorang wanita dengan seragam guru khasnya menghampiri dengan keringat yang membanjiri. “Kalian dari IPA 1, kan?” tanya wanita itu. “Iya, ada apa, Bu?” sahut Gaby yang paling dewasa sifatnya diantara mereka. Bu Naomi menyerahkan tumpukan buku yang membuat mereka berempat menganga. Sepertinya mereka tau kelanjutan dari percakapan ini. Mereka akan diminta membawakan barang dan guru itu akan berperilaku baik ketika ada butuhnya seperti ini. “Nich, jadi ke perpustakaan gak?” cetus Ana bermaksud mengajak Nich kabur. Nich yang kebetulan dalam mode normal langsung tersenyum cerah. Pemuda itu mengangguk kemudian menggandeng tangan Ana dan melenggang santai dari hadapan Bu Naomi serta kedua sahabatnya. Tersisa Bu Naomi, Xan, dan Gaby yang saat ini masih berada di koridor. “Kalian—” Ucapan Bu Naomi menggantung saat melihat Xan serta Gaby menghilang dari pandangannya. Meninggalkan Bu Naomi seorang diri tiada yang menemani. “Gue tuh males banget sama guru yang baik kalau lagi butuh doang,” omel Ana sepanjang perjalanan menuju kantin. Nich yang berada di sebelahnya langsung tertawa kecil. “Untung lo tadi bawa gue pergi. Tapi kasihan sama Xan sama Gaby,” sahut Nich. “Bagus banget kalian berdua ya!” Ana dan Nich menghentikan langkahnya saat mendengar suara Xan. Saat menoleh, mereka mendapati Xan tengah berkacak pinggang sembari menatap tajam keduanya. “Hehehe ...” Ana cengar-cengir kemudian mendekati Xan dengan pandangan lugu. “Maap ya, Xan?” Gaby hanya menggelengkan kepalanya karena tingkah sahabatnya tidak ada yang benar. “Xan ...”  Xan yang tadinya akan menyahuti ucapan Ana langsung menghentikan begitu saja kala melihat sosok gadis cantik dengan bandana biru muda di kepalanya. Xan mendengus jengkel dibuatnya. Sedangkan Ana, Gaby, serta Nich langsung mengulum bibir karena menahan senyum melihat dua orang itu. Yang satu mengejar, yang satu dikejar namun risih. “Minggir lo,” usir Xan malas. Adrienne cemberut dengan pengusiran Xan. Namun itu hanya sebentar karena gadis cantik dan lembut itu kembali tersenyum manis kepada Xan. “Xan, Adrienne bawakan Xan sarapan lagi ... dimakan, ya?” ucap Adrienne dengan menunjukkan puppy eyes andalannya. “Gak,” tolak Xan berniat pergi dari hadapan Adrienne sebelum gadis itu mengeluarkan kalimat yang membuat Xan membeku. Tak hanya Xan, nyatanya tiga orang lainnya yang berada disana juga membeku dengan ucapan Adrienne. Mereka berharap apa yang sudah dilontarkan oleh Adrienne tidak terjadi dalam kehidupan mereka. *** Ana menginjakkan kaki di rumahnya dengan wajah yang lesu. Semangatnya hari ini luntur hanya karena ucapan dari gadis bernama Adrienne Bella tersebut. Namun karena dia orang yang tak mudah percaya begitu saja, Ana akhirnya memutuskan untuk kembali tersenyum tanpa peduli lagi dengan ucapan Adrienne. “Ana? Kayaknya tadi Mama lihat kamu cemberut, kok udah senyum lagi?” Ella yang tadinya sedang melintas mencari ponsel langsung dibuat heran dengan tingkah anaknya itu. Mood Ana seringkali berubah-ubah dan itu membuat Ella dilanda khawatir. Kedua orang tua Ella sering memintanya untuk membawa Ana ke dokter karena tingkah Ana kadang membuat seluruh keluarganya khawatir. “Ana tadinya pengen sedih karena denger suatu berita, Ma ... tapi karena Ana gak percaya itu semua, akhirnya Ana memutuskan buat buang semua pikiran buruk itu,” jelas Ana jujur. Wajar Ana merasakan khawatir yang begitu besar atas ucapan Adrienne. Gadis yang sejak awal sekolah selalu mengejar cinta Xan itu memang memiliki kemampuan lebih alias indigo dan yang ia ucapkan tadi kebenarannya bisa mencapai 75%. “Memang apa yang kamu dengar?” tanya Ella penasaran. Ana bimbang akan menceritakan kepada Mamanya atau tidak. Setelah menimang untuk beberapa saat, Ana memutuskan akan menceritakan kepada Mamanya. Tak ada salahnya kan, curhat dengan sang Mama? Meow Sayangnya saat akan mengeluarkan suara, robot kucing pemberian Evan tadi pagi mengganggu. Kucing cantik itu mengeong keras kemudian menduselkan kepalanya pada kaki Ana yang membuat gadis itu lupa seketika. “Eh pemalas, ngapain lo?” Kucing itu kembali mengeong yang ditangkap Ana sebagai permintaan untuk digendong. Mau tak mau Ana mengangkat kucing berbulu tebal itu kedalam gendongannya. “Ma, Ana ganti baju dulu, ya, gerah soalnya,” pamit Ana yang dibalas anggukan oleh Ella dengan pikiran berkecamuk. Setibanya di kamar, Ana langsung meletakkan kucing itu ke atas kasur. “Lo disini dulu, ya? Gue mau ganti.” Meow Ana segera mengganti seragamnya kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Selama di kamar mandi, pikiran Ana berkecamuk antara takut meninggalkan kedua orang tuanya dan takut terjadi sesuatu dengan mereka semua. Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Ana yang terlahir sebagai gadis pemberani tak boleh takut dengan hal seperti itu. Dia harus bisa melawan rasa takutnya dan memunculkan rasa egois dalam dirinya. Setelah 10 menit Ana akhirnya keluar dari kamar mandi dengan kimono yang melekat pada tubuh indahnya. Mata gadis itu melihat kucing buatan Papanya yang masih tertidur santai di kasur. Ana sampai heran, tingkah kucing itu sudah seperti makhluk hidup sungguhan karena bisa merasakan kantuk. Betapa hebatnya sang Papa dalam menciptakan hal baru seperti ini. Lain kali Ana akan meminta sang Papa untuk menciptakan Adik bayi supaya bisa ia dandani. Ana melangkah menuju kasur setelah mengenakan piyama dengan motif keropi. Gadis itu memikirkan nama yang cocok untuk si kucing cantik dengan bulu lebat berwarna putihnya. Karena terus berpikir, Ana sampai tidak sadar jika matanya mulai memberat dan akhirnya tertidur di sebelah kucingnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN