Bab 4

1614 Kata
Laura merasa kesal, rasanya ia ingin mengutuk dosen yang bernama Bian itu. Sudah pulang kuliah sor, terus harus mengejarkan tuga dengan deadline entar malam, benar-benar tidak punya hati. Kadang Laura berpikir, apa istrinya sanggup menghadapi sikap Bian yang menyebalkan seperti itu? Laura yang bertemu dua kali seminggu saja rasanya ingin melambaikan tangan pada kamera, apalagi istrinya yang harus ketemu 24 jam. Daripada memikirkan Bian dan istrinya lebih baik ia sekarang mandi dan langsung mengerjakan tugas itu, daripada ia telat dan bakal kena hukuman lagi, bisa-bisa nilainya Laura tidak diluluskan dalam mata kuliahnya Bian. Setelah selesai mandi, Laura langsung duduk di depan meja belajarnya, dan saat hendak membuka laptop, tiba-tiba terdengar suara gaduh di ruang tengah, Laura sudah bisa menebak pasti itu abang dan mama nya. Ini bukan pertama kalinya terjadi kekacauan, ia tidak suka tinggal di sini karena di sini ia tidak mendapatkan kebebasan dan ketenangan, tetapi ia tidak tahu harus ke mana, sedangkan untuk makan dan biaya kuliah masih minta orang tua. Laura bukan mahasiswa yang cerdas, otaknya pas-pasan, jadi ia tidak bisa kuliah dengan beasiswa, dan juga ia tidak bisa membagi waktu antara bekerja dan kuliah. Ia ingin mempunyai masa depan yang lebih cerah, makanya ia harus tahan-tahan tinggal di rumah yang seperti neraka ini. Permasalahan mereka selalu sama, abangnya selalu minta duit, duit, dan duit, kalau tidak dikasih dia akan mengamuk dan bahkan tidak segan-segan untuk melempar barang-barang di rumah ini. Entahlah, kenpaa Kevin selalu minta duit dengan jumlah yang besar hampir setiap hari. Setiap kali ditanya dia pasti akan mengamuk, jadi sejak saat itu Laura sudah bodo amat dengan keadaan keluarganya. Laura juga tidak begitu dekat dengan sang ibu karena ibunya terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, sedangkan tugas Laura hanya kuliah, dan belajar, ia tidak ingin hal lain selain itu. “Mama, udah enggak punya duit, Kevin, duit di bank itu buat kuliah adik kamu sama buat makan kita, memangnya kamu itu duit buat apa? Kamu itu kerja, udah dewasa, disuruh kerja enggak mau, kerjanya Cuma minta uang, uang, dan uang, apa kamu enggak malu sama diri kamu sendiri, hah?” ucap Ayla, sang mama. Karena kesal dengan ucapan ibunya, akhirnya Kevin mendorongnya, hingga kepala membentur tembok dengan keras. Laura yang mendengar hal itu, langsung keluar dari kamarnya dan melihat ibunya yang sudah tergeletak di di lantai dengan kepalanya. Laura menatap kakaknya dengan tatapan amarah yang memuncak. “Lo itu manusia apa iblis hah? Ini ibu lo sendiri yang lo ginian, benar-benar dakjal.” Laura langsung membantu ibunya untuk duduk di sofa, setelah itu ia ke dapur untuk mengambil minum. Bukannya membantu sang ibu, Kevin justru masuk ke kamar Laura, mencari sesuatu yang bisa menghasilkan uang, akhirnya tatapan Kevin tertuju pada sebuah laptop yang berada di atas meja, kalau dijual uangnya lumayan, ia pun langsung buru-buru keluar dari rumah ini sebelum Laura melihat laptopnya telah dibawa oleh Kevin. Setelah kembali dari dapur, ia pun membantu ibunya untuk minum, walaupun Laura dan ibunya tidak terlalu dekat seperti anak dan ibu yang lain, tetapi ia sangat menyayangi ibunya, tidak ingin ibunya kenapa-kenapa. Sejak kecil Laura memang lebih dekat dengan ayahnya, di saat ibunya bekerja, ada ayahnya yang selalu menemani Laura, ayahnya dulu seorang pegawai pemerintahan yang jam kerjanya tidak sepadat Ayla yang pekerja kantoran, jadinya Ayla terlalu sibuk, sehingga waktu dan kedekatannya dengan anak-anaknya terbatas. Namun, ayahnya telah dulu dipanggil oleh Tuhan 5 tahun yang lalu, dunia Laura benar-benar hancur saat menerima fakta kematian sang ayah, tetapi lambat laun ia mulai bisa menerima itu semua, sekarang yang Laura punya hanya ibunya, terlepas dari si berengsek Kevin. “Mama, enggak apa-apa? Apa perlu kita ke rumah sakit?” tanya Laura dengan tatapan sendu yang melihat ibunya terus memegangi kepalanya, pasti sakit banget rasanya terbentur benda keras. Ayla menggeleng. “Enggak apa-apa, Ra, Mama Cuma butuh istirahat. Sekarang Mama ke kamar dulu, mau tidur.” Laura pun langsung membantu ibunya ke kamar. Setelah dari kamar sang ibu, Laura langsung kembali ke kamarnya, dan ia melihat laptopnya yang ada di atas meja tidak ada, pikiran Laural langsung tertuju pada abangnya. “Kevin sialan, tugas-tugas gue, materi kuliah gue semua ada di situ.” Laura pun segera menghubungi abangnya, tetapi nomornya tidak aktif, ia langsung keluar rumah untuk mencari ke tempat tongkrongan Kevin. Motor matic milik Laura mmebelah Jakarta, mendatangi tempat-tempat yang biasa didatangi oleh Kevin, tetapi tidak ada. Sedikit informasi, dulu Kevin dan Laura adalah dua orang yang sangat akrab, bahkan Laura pernah memasukkan Kevin sebagai kriteria laki-laki idamanannya, tetapi semua berubah semenjak Kevin tamat SMA, tiga tahun lalu, dia berubah seperti iblis yang menjelma sebagai manusia, menurut Laura. Laura pun masuk ke sebuah kafe untuk menenangkan pikirannya, ia menenggelamkan wajahnya di meja, air matanya perlahan turun seketika, ia tidak bisa banyangkan kalau laptop itu benar-benar lenyap, padahal semua file ada di laptop itu, belum lagi tugas yang deadline nanti malam, Laura semakin menangis, ia tidak tahu harus mengadu ke siapa tentang perasaannya saat ini. Laura tidak mungkin menceritakan hal ini ke mamanya, nanti dia semakin kepikiran, apalagi kepalanya lagi sakit. Cerita ke teman? Laura punya teman, tetapi ia terlalu introvert jadi tidak bisa cerita hal-hal pribadi ke orang lain. Laura pun menegakan kepalanya dan menyeka air mataya, leih baik ia sekarang pulang, tetapi saat ia beranjak dari tempatnya, pandangannya tertuju kepada Bian yang baru masuk kafe dengan seorang laki-laki. Mampus. Pokoknya Laura tidak boleh berpapasan dengan Bian, apalagi keadaannya lagi kacau gini, ia tidak mau kalau dirinya terlihat konyol di hadapan dosen menyebalkan ini. Namun, sial, ternyata Laura tidak bisa menyembunyikan wajahnya, walaupun ia sudah menutup wajahnya dengan telapak tangan dan menunduk, dan jalan terburu-buru, tetap saja Bian mengenalinya. Bian pun menyerukan nama mahasiswanya itu. “Laura ... “ “Sial,” gumam Laura. Mau tidak mau ia menoleh dan menghampiri Bian dan temannya itu yang sudah menempati tempat duduk yang tak jauh dari tempat Laura. “Eh Pak Bian,” ucap Laura dengan senyuman yang sok manis. “Laura, kamu malah nongkrong di sini ya, bukannya kerjakan tugas yang saya kasih, kalau lewat dari deadline, kamu siap-siap menerima hukuman tambahan, atau bahkan saya bisa saja tidak meluluskan kamu di mata kuliah ini, mau ulang semester depan?” ujar Bian. Benar-benar menyebalkan, padahahl ini di luar kamus, tetapi dia masih bisa-bisanya seperti itu, tidak tahu kalau suasana hati Laura yang sedang kacau apa. Laura mengangguk. “Iya, Pak, ini saya mau pulang, mau kerjain. Duluan, Pak.” Laura pun langsung keluar dari kafe itu. Pulang kerjain? Kayak lo punya laptop aja. Mau tidak mau, Laura harus ke warnet untuk mengerjakan tugas-tugas itu, padahal Bian tidak suka kalau tugas yang merangkum yang ia berikan copy paste dari internet, karena Bian punya materi sendiri, dan semua materi dari Bian ada di laptop itu. “Tadi mahasiswa lo?” tanya Aga setelah Laura hilang dari pandangan mereka, Bian mengangguk. “Tadi gue perhatiin matanya kayak abis nangis.” Bian mengendikkan bahunya. “Paling putus cinta, memangnya apa lagi yang digalaui mahasiswa otak pas-pasan,” sarkas sekali ucapan Bian. “Bini gue hari ini masuk kantor, padahal baru kemarin dia keguguran, gue enggak tahu harus dengan cara apalagi, gue nasihatin dia, dia keras kepala banget, Ga, gue sampai pusing hadapi dia.” Bian lebih tertarik membahas kehidupan pribadinya daripada membahas Laura. Aga menyeruput kopi yang ada di hadapannya. “Lo mau punya anak banget? Kalau lo nikah aja lagi, masalah kelar.” “Gampang banget lo ngomong, Ga, ya enggak semudah itu lah, gue cinta sama Freya, mana mungkin gue mau duain dia.” “Kalau gitu lo sabar aja lagi, nikamti aja prosesnya, nanti juga dia mau punya anak.” Tak lama kemudian, muncul telepon dari ibunya Bian, ia pun segera mengangkat, ibunya memberitahu kalau dirinya sekarang sudah berada di depan rumah Bian. Kemudian, Bian pun segera pamit kepada Aga untuk pulang duluan karena ada ibunya yang dari Jawa. Setelah sampai di rumah Bian langsung menyalami punggung tangan ibunya dan memeluknya singkat, kemudian mempersilakan untuk masuk. “Ibu kok tumben ke sini enggak bilang-bilang,” ujar Bian seraya membawa masuk tas ibunya. Lastri, sang ibu, pun tersenyum tipis, ia jauh-jauh dari Solo ke Jakarta hanya untuk membantu menantunya yang sedang hamil, ia tidak mau kalau menantunya itu keguguran lagi seperti yang sudah-sudah, jadi sebagai wanita yang berpengalam ia ingin mengurusi menantunya itu agar tetap sehat kandungannya, memang Bian belum memberitahu kalau Freya sudah keguguran. “Ibu enggak mau kalau Freya keguguran lagi kayak yang sudah-sudah, jadi ibu mau nginap di sini untuk membantu Freya, kayak membuatkan jamu untuk kehamilan, dan segala macam, sudah tiga tahun menikah kok belum punya anak, apa kata tetangga.” Bian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Bu, tetangga di sini pada bodoh amat, enggak mau tahu urusan orang, enggak kayak tetangga di desa.” “Ya apa pu itu, terus sekarang kandungan Freya aman-aman aja, kan?” Bian tersenyum tipis kemudian menggeleng, menjawab dengan pelan. “Keguguran lagi, Bu.” Mata Lastri hampir keluar dari tempatnya saat mendengar Bian mengatakan hal itu. “Astaga, Bian, istri kamu itu becus ndak sih jadi istri? 3 tahun menikah 3 kali keguguran, ibu seumuran dia udah punya anak loh. Kamu itu harus tegas, jangan mau dikendaliin istri, minta istrimu buat berhenti kerja, untuk cari nafkah biar kamu. Ibu rasa gaji kamu cukup untuk kebutuhan sehar-hati.” Bian maunya juga gitu, tetapi ia tidak bisa memkasa Freya untuk meninggalkan pekerjaannya karena Freya sudah cinta dengan dunianya itu. “Nanti lagi aja bahasnya, Bu, lebih baik sekarang ibu ke kamar, istirahat, sekarang Bian mau masakin buat ibu.” “Ibu menyekolahkan kamu sampai sarjana bukan untuk jadi babu istrimu, seharusnya dia yang kerjain tugas rumah tangga, bukan kamu yang masak, yang beres-beres itu bukan pembantu, tapi istri. Freya, Freya.” Bian langsung membawa tas ibu ke kamarnya, kemudian ia langsung ke dapur untuk memasak, asisten rumah tangga memang datang ketika ada pekerjaan dan pulang ketika sudah selesai, dan tugas memasak memang Bian yang melakukannya. Ia tidak bisa membayangkan kalau ibunya nanti bertemu Freya, yang ada mereka akan beradu pendapat. Semoga nanti mertua dan menantu bisa akur.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN