Kebetulan ini weekend, dan Freya benci banget enggak bisa ke kantor, rasa malas benar-benar menyapa kalau dia harus seharian sama mertuanya, segitu enggak sukanya Freya sama Lastri, bukan enggak suka sih tapi lebih kepada kesal karena memiliki mertua bermulut julid seperti Lastri, tetapi mau bagaimana lagi, itu adalah ayah dari suaminya, yang mau tidak mau Freya harus bisa menerimanya dengan lapang hati. Saat ini mereka sarapan bertiga, tentu saja yang memasak sarapan adalah Lastri karena Freya bangun kesiangan, dan saat Bian ingin membantu ibunya benar-benar dilarang. Bian tahu ketidaknyamanan Freya karena ada ibunya di sini, tetapi ia tidak mungkin ibu yang telah melahirkannya, jadi ia hanya bisa diam dan menunggu ibunya untuk pergi dengan inisiatif sendiri.
“Freya ... Freya ... Kamu itu gimana mau jadi istri dan menantu idaman, di hari libur pun kamu enggak masak buat suami kamu, melayani suami itu adalah tugas istri, kamu pikir tugas istri Cuma di ranjang aja? Lebih dari itu, Fre. Kayak contohnya, kamu masak untuk Bian, siapin baju untuk Bian, pijatin tubuh Bian, dan hal-hal kecil lainnya. Itu memang kelihatannya simpel tapi itu membuktikan bahwa kamu layak menjadi istri atau enggak.” Bisa-bisanya Lastri membahas hal itu di saat mereka lagi makan, seharusnya saat mereka makan seperti ini, tidak ada suara.
Freya menghentikan kunyahannya, ia tidak bisa diam terus, ini adalah rumahnya, ia bebas menyuruh dan melarang siapa pun yang datang ke rumahnya, termasuk ibu mertuanya sendiri. “Bu, maaf ya, saya enggak mesti lapor ke Ibu kan apa pun yang saya lakukan untuk Bian. Jujur saya kurang nyaman dengan kehadiran Ibu di sini, terlalu banyak mengatur dan menuntut, kalau ibu diam saya juga akan bisa menerima ibu sebagai mertua saya, tapi ini ibu seakan terus memojokkan saya, saya juga butuh ketenangan. Senin sampai jumat saya udah kerja banting tulang, jadi tolong weekend ini beri saya ruang istirahat, bukan Cuma fisik saya, tapi hati dan pikiran juga. Saya mohon, saya yakin ibu pasti mengerti, kan?”
Lastri menghela napas kasar. “Kerja? Memangnya itu tugas istri, ibu yakin kalau Bian bisa menafkahi kamu lebih dari cukup, ini karena kamu egois, sampai detik ini kalian belum juga punya anak, kalian udah nikah 3 tahun dan sampai sekarang kamu belum juga hamil, kamu itu egois, Freya. Kalau kamu udah enggak mau jadi istrinya Bian itu bilang, biar kalian bercerai, dan Bian nikah sama perempuan yang bisa menghargainya sebagai laki-laki.”
Bian dan Freya langsung terkejut, saat Lastri mengatakan cerai, mereka rasa Lastri sudah terlalu dala mencampuri hubungan rumah tangganya. “Bu, Bian mohon jangan berbicara seperti itu lagi, kami saling mencintai, jadi enggak ada alasan untuk kami berpisah, anak bukan segalanya, kalau memang Freya enggak bisa hamil, kan bisa adopsi anak. Inti dari pernikahan bukan hanya tentang anak dan anak.” Bian harus tegas walaupun sama ibunya sendiri, karena sekarang Bian mempunyai tugas untuk menjaga istrinya.
Freya pun ikut menanggapi, mertuanya itu lama-lama bukan bikin kesal lagi tapi darah tinggi. “Bu, jangan pernah masuk ke suatu wilayah yang ibu sendiri yang enggak tahu wilayahnya seperti apa, gimana keadaan kami, ibu memang ibunya Bian, tapi ibu enggak ada hak untuk mencampuri urusannya lebih dalam, apalagi urusan rumah tangganya. Saya juga punya ibu, Bian juga punya mertua, tapi ibu saya enggak pernah menuntut apa-apa untuk Bian, jadi tolong, Bu, perlakukan saya seperti ibu saya memperlakukan anak ibu. Kalau terus dituntut untuk menjadi sempurna, untuk menjadi apa yang ibu inginkan itu terlalu memuakkan. Dan masalah anak, benar apa kata Bian, kalau memang sudah waktu kita bakal punya anak, ini hanya masalah waktu.”
Lastri tidak mau kalah dalam perdebatan ini. “Saya engga ada hak sama Bian? Kamu jangan lupa, Bian adalah anak saya, 9 bulan saya mengandung dan saya melahirkan dengan susah payah, saya membesarkan dia dengan keringat saya sendiri, ayahnya Bian udah meninggal sejak Bian kecil, itu yang membuat saya harus banting tulang untuk menyekolahkan dia sampai jadi seperti ini dan kamu masih bisa bilang kalau saya enggak ada hak atas Bian? Dan satu lagi, kamu enggak bisa bandingkan saya dengan ibumu, setiap ibu memiliki rasa kasih sayang yang beda untuk anaknya, mungkin rasa kasih sayang ibu kamu enggak sebesar rasa kasih sayang saya ke Bian, saya hanya ingin dia bahagia, kalau kamu enggak bisa memberikan dia kebahagiaan, lebih baik Bian mencari kebahagiaan dengan wanita lain, saya yakin Bian bisa mendapatkan yang lebih baik dari kamu. Oh iya saya Cuma mau bilang, walaupun kamu enggak suka ada saya di rumah ini, saya tetap akan di sini, sampai kamu benar-benar membuat anak saya bahagia.”
Bian langsung membalas omongan Lastri. “Bu, aku bahagia jadi suaminya Freya, aku juga bahagia memiliki Freya, kami saling mencintai, aku menerima kekurangannya Freya, begitupun Freya, kami saling melengkapi, jadi Ibu tolong banget jangan pernah bilang cerai karena aku enggak mau mendengar hal itu, sampai kapan pun Freya tetap istriku, terlepas dari semua kekurangan dia, aku menerima dia apa adanya, aku enggak mau membatasi ruang gerak dia, aku enggak mau jadi suami yang egois.”
Lastri tidak mau kalah, ia tetap menjawab. “Kamu enggak mau egois, sedangkan dia sangat egois. Kamu jangan bodoh, Bian, kamu terlalu dibutakan sama cina. Satu lagi, pernikahan bukan hanya tentang cinta, kalau Cuma modal cinta ya anak SMP juga bisa nikah. Kalau kamu enggak bisa menceraikan istri kamu, lebih baik poligami saja. Istri kamu enggak bisa memberikan kamu anak, berarti kamu bisa mendapatkan anak dari wanita lain, lagipula poligami bukan sesuatu yang dilarang sama agama. Gimana?”
Bian menggeleng. “Bu, tolong aku enggak mau menduakan Freya, aku hanya ingin menjadikan dia satu-satunya istriku, enggak ada yang lain, aku cinta Freya, hanya Freya, tolong jangan menyuruh aku melakukan apa pun yang aku enggak mau.”
Freya tersenyum tipis. “Ibu selalu koar-koar saya egois, lalu bagaimana dengan ibu? Apa ibu enggak dikatakan egois selalu memaksa anaknya melakukan apa yang ibu inginkan. Bian bukan anak kecil lagi yang bisa Ibu kendaliin, Bian yang punya kehidupan, dan semua kebaikan yang ibu lakukan di masa lalu, itu enggak bisa dijadikan alasan untuk ibu mencampuri urusan Bian, urusan rumah tangga Bian. Tanpa ibu sadari, ibu jauh lebih egois dari saya. Ibu mempunyai versi kebahagiaan sendiri, sedangkan Bian sudah bahagia dengan saya sekarang.”
Lastri mengembuskan napasnya. “Bahagia? Kebahagiaan sesungguhnya terletak pada hati, bukan pada mulut, saya ini ibunya Bian, saya tahu persis bagaimana Bian, dia enggak bisa bahagai sementara punya istri yang super sibuk kayak kamu, apalagi kalian belum ada anak. Dia bilang dia bahagia karena dia enggak mau menyakiti kamu, Freya. Dia cinta sama kamu bukan berarti sekarang kehidupan yang dia jalani sama kamu itu buat bahagia.” Lastri menoleh ke Bian. “Kamu bahagia sama Freya? Kamu bahagia belum ada anak di sisi kamu? Kamu bahagia hidup dengan wanita yang enggak bisa menjadi istri kamu dengan baik? Kamu bahagia di saat status kamu sudah menikah tapi enggak ada bedanya dengan lajang? Jawab ibu, Bian.”
Bian terdiam, jujur apa yang ibu katakan itu adalah hal yang Bian inginkan, tetapi Bian enggak mau menuntut yang macam-macama ke Freya, karena dari awal mereka sudah memiliki kesepakatan untuk jangan mengekang satu sama lain. Bian pun mengangguk seraya tersenyum. “Iya, Bu, aku bahagia. Sangat bahagia. Aku bahagia memiliki Freya sebagai istriku, aku bahagai menjadi suaminya Freya, jadi Ibu enggak punya alasan lagi untuk menuntut hal yang aneh aneh kan.”
Lastri memutar bola matanya, lalu mengangkat piring kotor ke wastafel. “Ibu tahu kamu bohong, kamu Cuma pengin istrinya senang,” ujar Lastri sebelum berlalu.
***