BAB 10
“Istirahat dulu, kamu pasti lelah. Yuk!”
Suara Juragan Arga membuat Nuria menoleh. Lelaki yang masih dengan setelan tuxedo itu mengulurkan tangan ke arahnya. Meskipun rasa penasaran menggelayuti hati, tetapi jangankan bertanya hal itu, Nuria tak memiliki keberanian sama sekali. Hingga perlahan tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi.
Rumah besar itu begitu sepi. Nuria celingukan ke kanan kiri, tetapi seolah tak ada orang lain lagi di sana, selain mereka berdua. Dirinya masih pasrah mengikuti langkah demi langkah yang diambil Juragan Arga dan meniti tangga. Meskipun hatinya kebat-kebit, bercampur baur seluruh rasa yang ada dalam d**a.
Tiba di lantai dua, yang ada hanya lorong di mana kanan kiri lorong itu terdiri dari beberapa kamar yang saling berhadapan. Juragan Arga mengajaknya memasuki kamar pertama, menyisakkan rasa penasaran Nuria pada deretan kamar lainnya yang entah berjumlah berapa. Namun, lagi-lagi, dirinya tak memiliki keberanian untuk sekadar bertanya.
Kamar tersebut cukup luas, di mana sebuah tempat tidur besar berada di samping jendela yang menghubungkan dengan balkon. Juntaian tirai putih memberikan kesan elegan, senada dengan seprai yang terpasang di atas tempat tidur yang tampaknya begitu empuk. Berbeda sekali dengan tempat tidur Nuria di rumah Paman Nursam, yang mana hanya menggelar kasur lantai sebagai alasnya.
“Semua pakaianmu ada di lemari. Ambillah yang mana kamu suka. Lekas mandi dan beristirahat.”
Juragan Arga yang memilih duduk pada sofa minimalis yang menempel pada tembok melirik ke arah Nuria yang masih mematung. Sesekali gadis itu menggosokkan tangan karena hawa dingin dari AC yang baru saja Juragan Arga nyalakan.
“P-pakaian saya, Juragan? L-lemari mana, Juragan?” Nuria menatap lelaki yang kini menyisakkan kemeja lengan pendek dengan dua kancing yang sudah dibukanya.
Juragan Arga tak menjawab. Dia hanya menunjukkan dengan sorot matanya pada sebuah lemari empat pintu yang tampak berpahat indah. Kayunya mengkilap, terbuat dari jati pilihan.
Nuria melangkah, lalu membuka lemari tersebut perlahan. Tampak dalam satu deretan penuh pakaian milik suaminya mendominasi. Namun, pada satu deretan lainnya tampak beragam pakaian bertumpuk rapi dengan warna lembut. Nuria kira jika itu adalah untuknya.
Iseng tangannya membuka dua pintu lainnya, untuk menuntaskan rasa penasaran akan isi lemari kayu tersebut. Rupanya, di sana tak ada sekat. Nuria dibuatnya terkesiap, rasanya malu dan gugup melihat deretan lingerie dengan berbagai warna lebih mendominasi isinya. Gegas tangannya yang mendadak tremor menutupnya kembali. Tiba-tiba dirinya bergidik sendiri, membayangkan jika pakaian itu harus dikenakan ketika melayani suaminya. Lelaki paruh baya yang usianya lebih dari dua kali lipat darinya.
“Kamu boleh memilihnya, Istriku. Pakailah mana yang kamu suka.” Suara bariton itu terdengar.
Nuria menoleh sekilas, lalu mengangguk ragu. Perlahan, tangannya menarik satu set piyama tidur. Piyama tersebut berbahan lembut dan juga memiliki model paling tertutup. Hanya saja, memang tangannya tak ada yang lengan panjang. Kemudian, Nuria mengambil juga satu buah handuk warna putih. Gegas dia menutup kembali lemari. Nuria tampak celingukan, bingung harus duduk di mana untuk melepas riasan yang masih menempel padanya.
Sorot matanya menangkap meja rias yang memiliki kaca lebar. Akhirnya, perlahan dia memutuskan untuk menghampirinya. Disimpannya pakaian dan handuk itu di samping tempat tidur, lalu duduk di depan meja rias tersebut. Nuria membuka peniti-peniti dan jarum yang mengikat mahkota dan ronce bunga melati dari kepalanya. Sedikit sulit, hingga tiba-tiba bayangan Juragan Arga muncul di belakangnya.
“Sini, saya bantu lepaskan.” tukasnya.
Jemari kokohnya menumpuk sekilas pada tangan mungil Nuria yang tengah membuka ronce melati dengan susah payah. Namun, Nuria lekas menarik tangannya. Dia pun mengangguk dan menunduk saja, membiarkan satu per satu hiasan di kepalanya dilepas oleh lelaki yang sudah bergelar suami itu.
Tak butuh waktu lama, akhirnya semuanya selesai. Kini, Nuria tinggal melepas kerudung yang dikenakan. Sedikit ragu, tetapi Juragan Arga tampak sudah berjalan kembali menuju sofa dan duduk bersandar. Nuria pun melepas jilbabnya, rambut panjang bergelombang miliknya yang diikat sudah cukup berantakan. Dia pun gegas menggulungnya kembali dan tak berlama-lama di sana. Ingin rasanya segera menghilang dari sepasang mata yang memindainya sejak tadi.
Nuria bangkit, lalu mengangkat kain yang terseret. Dia gegas menuju kamar mandi. Namun, suara Juragan Arga menghentikan langkahnya.
“Istriku, apa kamu mau mandi memakai kebaya itu?”
Nuria bergeming. Sebetulnya bingung, dirinya tak bisa membuka ritsleting yang ada pada bagian belakang kebaya. Gugup jika harus meminta bantuan lelaki itu untuk melepasnya. Nuria takut, benar-benar merasakan kecemasan luar biasa. Apalagi membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Berada di dalam kamar berdua dengan lelaki asing yang sudah resmi menjadi suaminya.
Langkah itu mendekat, suaminya sudah berada di belakangnya. Tanpa banyak tanya, jemari kokoh itu membantunya menarik ritsleting hingga bawah. Nuria berulang kali menelan saliva. Napasnya memburu karena takut, tetapi apa yang ada di kepalanya tak terjadi. Juragan Arga kembali duduk dan tampak menyandarkan tubuhnya. Dia memejamkan mata dan membiarkan kepalanya bersandar pada penyangga sofa.
Nuria gegas melarikan diri, masuk ke kamar mandi dengan tergesa. Sampai di sana, dirinya dibuat bingung. Semua yang dihadapannya tampak asing. Tak ada bak mandi seperti di rumah Paman Nursam dan Bi Lela. Meskipun begitu, Nuria tak berani meminta bantuan Juragan Arga. Rasa takut lebih mendominasi, hingga akhirnya dirinya mencoba-coba sendiri. Memutar tuas yang ada dan memperhatikan dari mana air mengalir. Dia memilih shower daripada bathub yang juga ada di sana.
Akhirnya, drama hari ini selesai. Nuria bisa mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat kuku. Segar dan membuat seluruh rasa takutnya terlupakan sementara. Usai mandi, ia gegas mengenakan pakaian lengkap dan keluar dengan lilitan handuk di atas kepala. Napas lega terembus, ketika rupanya di kamar tak ada siapa-siapa.
Namun, pada meja kecil, tampak segelas teh manis hangat, potongan buah dan beberapa kue tersedia. Entah siapa yang membawakannya, mungkin Juragan Arga. Nuria tak berani menyentuhnya. Rasa lelah lebih membuatnya tertarik untuk berbaring di atas tempat tidur yang luas. Rasa dingin dari AC yang berembus, membuatnya memilih membenamkan tubuh mungilnya ke dalam selimut. Waktu magrib belum tiba, mungkin masih ada waktu sekitar satu jam untuknya beristirahat. Perlahan, kesadarannya menguap. Meskipun dia tahu jika tidur di waktu tersebut tak baik, tetapi rasa lelah mengalahkan segalanya.
Entah berapa lama dirinya tertidur, hingga tiba-tiba tubuhnya merasakan dekapan hangat dan membuatnya mengerjap. Dirinya hampir berteriak ketika sosok yang tengah menatapnya dalam itu begitu dekat.
“Ju-juragan?” Nuria terbata dan menarik tubuhnya menjauh dari lelaki asing yang sudah menjadi suaminya itu.
“Aku suamimu. Jangan panggil seperti itu, hm?” Suaranya terdengar sedikit serak, seperti baru bangun tidru juga.
Nuria menelan saliva, mencoba waras dan mengatur degup jantungnya yang bertalu cepat. Tangan kekar itu kembali menariknya ke dalam dekapan, membuat rasa takut dan gugup itu kembali hadir di dalam dadanya. Namun, belum juga debar jantungnya stabil, suara teriakan yang nyaring terdengar dari luar. Suara teriakan seorang perempuan.
“Kembalikan anakku! Kembalikan anakku!”
Suaranya melengking, membuat siapa pun yang mendengarnya mungkin ikut tersayat. Ada pedih, ketakutan dan kehilangan yang bercampur baur dalam jeritannya.