Mark dan Megan sampai di sebuah gereja yang ada di ujung jalan Jois, ke gereja ini mereka menghabiskan waktu perjalanan hampir satu jam. Mark masih terus menggenggam jari jemarinya, membuat Megan mendongak menatap Mark yang lebih tinggi darinya.
Tinggi Megan hanya sampai bahu Mark. Membuat perempuan itu merasa kecil setiap kali berdekatan dengan pria yang sudah memiliki istri itu.
"Kita mau apa di sini?" tanya Megan, alisnya hampir saja bertaut ketika Jhony datang membisikkan sesuatu di telinga Mark.
"Baiklah. Kita masuk," kata Mark, lalu menyeret Megan hingga di depan mimbar.
"Hei. Kita mau apa?" tanya Megan.
"Ikuti saja aku. Jika kamu mau keluargamu tetap hidup penuh kemewahan dan tidak lagi di pandang sebelah mata oleh orang-orang," bisik Mark, membuat alis Megan nyaris bertaut.
"Selalu saja mengancam! Aku 'kan hanya tanya, kita mau apa di sini?"
"Pasangkan selendang itu pada kedua mempelai," perintah pendeta yang baru keluat dari arah pintu, lalu berdiri di atas mimbar.
"Apa? Menikah? Kamu mau menikahiku?" tanya Megan, membuat matanya nyaris melebar begitu saja.
"Diam!" bentak Mark masih menggenggam erat pergelangan tangan Megan.
"Tapi, ini tetap salah. Kau punya istri, aku punya keluarga, kita tidak mungkin melakukan ini," tolak Megan.
"Lalu, kau pikir aku peduli?"
"Nona tidak perlu khawatir. Orangtua anda sudah di sini, adik anda juga," kata Jhony, menunjuk keluarga Megan, membuat Megan melotot tak percaya ketika kedua orangtuanya duduk di salah satu kursi.
"Papi, ini tidak seperti yang Papi lihat," kata Megan.
Sedangkan Aston—Sang Ayah—dan Noely—Sang Ibu tiri—hanya menganggukkan kepala memberi isyarat kepada Megan agar melanjutkan, mereka bisa membicarakannya nanti.
"Sebenarnya apa rencanamu?" bisik Megan. Impiannya menikah dengan gaun yang indah, di ramaikan oleh orang-orang terdekat malah seperti ini. Ia menikah dengan pakaian ala kadarnya.
"Apa bisa menikah seperti ini?" tanya Megan kepada pendeta.
"Bisa, Nona, menikah bukan melihat dari pakaiannya tapi sah nya pernikahan," jawab pendeta. "Baik kita mulai."
Prosesi pun terlaksana secara sederhana dan cepat membuat Megan menitikkan air mata, bukan air mata bahagia tapi air mata kehancurannya. Ia tidak mungkin menikah dengan lelaki yang sudah beristri dan ia menghancurkan harapan perempuan lain.
***
Setelah menikah, keluarga Megan di antarkan sampai ke rumah Mark yang di tinggali Megan, sedangkan sejak tadi Megan hanya diam, ia tak bisa membayangkan menikah dengan lelaki yang sudah beristri.
Terlihat Morgan—Adik Megan—menyusuri setiap tempat dan berjalan-jalan di sekitaran rumah.
Rumah ini terlihat seperti mansion mini, luas dan teratur.
"Kalian bisa menginap," kata Mark, pada kedua orangtua Megan.
"Tidak perlu. Kami akan pulang," jawab Aston.
"Ini sudah malam. Kalian bisa pulang besok pagi," paksa Mark, membuat Noely mencubit suaminya.
"Baiklah. Kami akan menginap," sergah Noely, membuat mata Megan melotot tak suka.
"Bukannya anda sudah menikah? Kenapa menikahi anak saya?" tanya Aston yang langsung ke intinya, ia malas basa-basi ketika seorang lelaki beristri menikahi putrinya terlepas dari siapa dia dan apa kedudukannya.
Noely mencubit suaminya agar tak melanjutkan pertanyaannya. Noely adalah Ibu tiri Megan, yang bahkan tak peduli dengan status Mark yang sudah beristri.
"Aku menikahinya karena kami sudah bersama selama ini," jawab Mark, santai. Membuat Megan tak percaya dengan jawaban Mark yang sudah pasti melukai ayahnya.
"Putri saya ini sudah memiliki kekasih. Namanya Arley," tantang Aston.
"Arley? Pria b******k itu tidak pantas buat putrimu," kata Mark, membuat Aston memicingkan mata menatap wajah tampan Mark.
Aston tak pernah mengurusi kehidupan pribadi putrinya, namun menikah dengan Mark terdengar mendadak dan Aston tak mau sampai putrinya menjadi pelampiasan sang bangsawan.
"Maksud anda apa?" tanya Aston.
"Pi, tidak usah dengarkan, Papi istirahat saja dulu," kata Megan.
"Apa maksud anda, Arley b******k?" tanya Aston lagi, membuat Megan menatap marah ke arah Mark yang kini menyunggingkan senyum.
"Anda bisa mendengarkannya langsung dari putrimu," jawab Mark.
"Lalu apa istri anda tahu anda sudah menikah lagi?"
"Tentu saja tidak. Namun, cepat atau lambat istriku pasti mengetahuinya," jawab Mark, santai. "Beginilah cara orang kaya menghabiskan uangnya."
Aston terlihat geram menatap Mark, namun ia tak bisa melawan seseorang yang berkedudukan seperti Mark, terlepas dari Mark adalah menantunya.
"Saya memang miskin, tapi saya mendidik anak-anak saya dengan baik, saya tidak pernah menyuruh mereka menikah dengan orang kaya, karena saya tahu orang kaya seperti anda pasti suatu saat akan membuang anak saya jika anda tak membutuhkannya lagi," kata Aston.
"Apa yang kau lakukan?" bisik Noely tak enak hati pada Mark.
"Pemikiran anda memang hebat, namun saya pun di ajarkan oleh mendiang ayah saya agar terus menghargai orang tua," jawab Mark.
"Pi, cukup!" bisik Megan.
"Baiklah. Saya tidak akan segan-segan datang mengambil putri saya kembali, jika dia tidak bahagia," kata Aston.
"Baiklah. Anda bisa menantikannya."
"Semoga istri anda tidak menyakiti putri saya."
"Saya akan melindungi putri anda. Jadi, sekarang kalian beristirahat saja." Mark menganggukkan kepala. "Bella!"
"Iya, Tuan?"
"Antarkan mereka ke kamar tamu," perintah Mark.
"Baik, Tuan," jawab Bella. "Silahkan ikut saya."
Sepeninggalan keluarganya, Megan menatap penuh amarah ke arah Mark yang kini tengah tersenyum penuh kemenangan.
"Sebenarnya apa yang kau rencanakan? Kenapa kau melibatkan keluargaku dalam masalah kita?" tanya Megan. "Kau sendiri yang mengatakan bahwa akan menjadikanku simpanan selama 1 tahun. Apa kau tak bisa menutup mulutmu selama setahun?"
"Maka dari itu nikmati hidupmu sebagai istriku selama satu tahun," jawab Mark, membuat Megan menghela napas panjang.
"Apa kau pikir bisa memilikiku sepenuhnya? Kau salah. Jangan pernah menganggap bahwa pernikahan kita ini ada."
"Dan kau harus ingat, bahwa seluruh hidupmu sudah kau serahkan padaku. Selama 1 tahun," tantang Mark.
"Kau memang lelaki yang tidak bisa di percaya! Bahkan kau b******k dan b******n!" teriak Megan membuat Mark tak perduli.
"Terserah apa katamu! Kau hanya harus melakukan tugasmu sebagai istri dan simpanan," kata Mark, menatap mata Megan yang memerah karena menahan amarah. "Dan berusahalah untuk tidak membuatku marah. Karena jika aku marah. Aku bisa saja menyakitimu."
Mark melangkah meninggalkan Megan yang masih berdiri di tempatnya. Jalan pikiran Mark memang sangat susah untuk di tebak, bahkan menikah tanpa persiapan bisa terlaksana meski ia tak bergerak.
"Apa tuanmu itu memang arrogant?" tanya Megan pada Jhony yang kini berdiri di sampingnya.
"Beliau baik kok orangnya," jawab Jhony.
"Baik? Haha ... baik darimana? Dia bahkan jauh dari kata baik, dia bahkan tak pantas menerima pujian dari kamu," kata Megan, membuat Jhony tersenyum.
"Jika anda mengenal Tuan lebih lama anda akan tahu seperti apa Tuan sebenarnya," kata Jhony.
"Siapa juga yang mau mengenal tuanmu lebih lama, aku malah berharap pas bangun esok hari aku tidak bertemu dengannya."
.
.
Bersambung.