Part 1
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku.”
QS. Az - Zariyat : 56
❤️❤️❤️
Ujung rambut panjangnya yang bergelombang mulai tertiup angin. Ia menyekanya pelan tanpa menghentikan langkah. Lagi pula ia tidak suka aroma selokan yang dibawa udara ke hidungnya. Sedetik yang tanpa diduga ia menghentikan langkah, memandang selokan. Ia memikirkan sesuatu, tentang hati dan hidupnya. Ia kemudian menengadah ke langit, awan yang berarak di sana seperti tubuhnya. Ia hanya raga tanpa kuasa. Hanya memiliki hati tanpa rasa. Ia melanjutkan langkah, kemudian angin yang lebih kencang meniup rok selutut lebar yang dikenakannya. Bahkan angin, tanpa wujudnya bisa dirasakan. Namun ia dengan hatinya yang mati, hidup entah untuk apa. Ia tersenyum sesaat. Ia baru saja memikirkan pertanyaan paling aneh, hidup untuk apa? Ia sekali lagi tersenyum sendirian.
Semua makhluk jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Begitupun Talita, sedikit berbeda caranya, alasan hidupnya untuk penebus dosa sekaligus bakti kepada orang tua. Alasan hidupnya, karena Tuhan pemiliknya belum mengizinkan ia untuk dicabut nyawa dan Tuan pemiliknya belum memberi perintah untuk meninggalkan dunia. Berjalan dengan pikiran membuat langkah lebih mudah. Ia berhasil mencapai tempat tujuan tepat waktu. Begitu membuka pintu ia langsung melihat seseorang melambaikan tangan dengan senyum cerah. Ia mendekat dan duduk di depan lelaki itu.
"Kau bilang akan berdandan cantik untukku, ini hanya seperti kau yang biasanya," protesnya tanpa marah.
"Yah, ini aku. Bukankah kau bilang aku selalu cantik?"
Lelaki itu tersenyum. "Oke. Jadi seperti biasa. Kau membawanya?"
Ia mengangguk dan menunjuk tas dengan matanya. "Aku harap ini yang terakhir."
Lelaki itu tertawa tanpa ragu. "Sayang, kau bisa menghentikanku, kenapa tidak mencobanya?"
"Rafael..."
"Bisa sedikit lebih memohon?" potongnya sambil memasang telinga, "Ah, aku lebih suka kau mendesah sayang."
Ia menghela napas. "Kau tidak butuh bantuanku. Aku pergi."
Rafael berdiri lebih cepat darinya, menahan pergelangan tangannya. "Aku bercanda. Duduk dulu. Kita perlu sedikit pemanasan."
Ia kembali menghempaskan diri. "Kali ini seperti apa dia?"
Rafael tersenyum. "Cantik, manja, kaya dan seperti biasa... bukan perawan."
"Aku selalu paham kenapa orang-orang mengatakan aku bodoh. Dan kenapa para wanita membenciku. Itu semua karenamu," katanya sinis.
Rafael tertawa sambil menepuk pelan kepalanya, "Talita manis, sayangku."
"Aku hanya sedikit bersyukur karena seleramu masih wanita yang belum menikah. Aku tidak ingin nanti mengobati wajah bajinganmu itu."
"Kau perlu mempelajarinya sayang. Setelah kau menikah aku akan merubah seleraku, kecuali aku menikah dan kau istriku," jelasnya tanpa dosa.
Talita sudah kebal dengan rayuan, dan kalimat itu, ia ragu otaknya masih bisa mendeteksi mana pujian, rayuan atau malah hinaan. Biasanya ia hanya menerima perintah, tanpa membantah karena tidak boleh ada bantahan.
Rafael mengulurkan tangan dan mengelus pipi mulusnya, "Dia datang."
Talita memasang wajah senyum, seolah mereka adalah sepasang kekasih. Ia tahu satu lagi pakaiannya akan robek hari ini, dengan beberapa helai rambut rontok, bekas cakaran atau sedikitnya rasa perih tamparan.
"Kau berselingkuh?" suara wanita terdengar meninggi.
Rafael tersenyum kepada Talita. "Sebenarnya kaulah selingkuhanku. Dia ini calon istriku."
"Apa?!"
Talita tahu rambutnya yang tergerai adalah sasaran utama. Dan memang itulah yang terjadi. Talita terlalu sering berada dalam kondisi itu hingga bisa memprediksi yang akan terjadi, bahkan sebenarnya ia bisa membuat satu buku tentang survey tindakan marah para wanita karena cinta.
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku?!"
Rafael tersenyum lagi, "Kalau begitu kita tidak akan melaluinya bersama."
Rambut Talita ditarik hingga ia menatap mata wanita itu. "Kenapa kau mau menikah dengan lelaki seperti ini?"
Talita merasa anak rambutnya sakit, tapi ia tersenyum atas kepedulian wanita itu. "Supaya kau tidak bisa memilikinya."
"Kau wanita paling tidak masuk akal," katanya lalu pergi.
Talita memijat kepalanya pelan, lalu merapikan lagi tanpa peduli orang-orang sekitar. Mereka lebih tertarik kepada Talita daripada makan siangnya atau TV layar lebar di depan mereka. Anggap saja ia melakukan sebuah kebaikan besar bagi kaumnya. Talita peduli kehidupan baik yang mungkin para wanita itu abaikan demi Rafael, sebuah kehidupan yang mungkin Talita inginkan dalam hidupnya.
"Kita tidak memerlukan baju ganti," komentar Rafael takjub.
Talita berdiri dan mengambil tasnya, "Kita perlu mencoret tempat ini sebagai tempat putusmu. Kurasa tidak ada lagi tempat yang belum kita lewati sebagai lokasimu putus."
"Hampir seluruh kota. Tapi akan ada tempat baru yang buka seminggu lagi," katanya dengan senyum yang bisa dipastikan akan menarik Talita dalam masalah lagi.
Talita membiarkannya berjalan sedikit di depan, dengan ceritanya yang seolah menyenangkan. Mungkin memang menyenangkan bagi Rafael, kehidupan bebas, tanpa beban, tanpa hati dan tanpa ada yang peduli. "Aku iri kepadamu," komentar Talita jujur.
"Kalau begitu kau targetku besok," kata Rafael girang.
Talita tidak menggubrisnya. Talita harus perawan, untuk menebus dosa ayahnya. Ia tahu untuk itulah dirinya masih hidup sampai saat ini.
Talita baru saja memasuki gerbang rumah saat melihat seorang nenek keluar dari pintu rumah orangtuanya. Talita kagum nenek itu masih bisa tersenyum setelah keluar dari neraka. Talita tahu mereka disediakan untuk para pendosa, tapi kandang neraka yang sekarang di depannya telah menyiksa seorang tanpa kesalahan. Bagaimana seseorang harus memikul dosa orang lain, sementara dosanya sendiri siapa yang akan menebusnya?
"Beri salam, Talita," perintah Jesy datar.
Talita tersenyum, "Assalamualaikum, Nek."
"Waalaikumsalam. Nenek ingat kau dulunya berkerudung, kenapa dilepas?"
"Rasanya Talita belum siap untuk itu Nek."
"Yah, Nenek mengerti. Nenek dulu juga begitu, tapi Nak, berkerudung itu bukan menunggu siap. Itu wajib sejak kamu baligh."
Talita tidak tersinggung. "Talita tahu. Nenek datang sendiri?"
"Ya, dia masih belum selesai dengan pencariannya."
"Tiga tahun Mi," kata Jesy menyela. "Dia mungkin sudah banyak berubah sekarang."
"Ya, tapi dia belum menikah juga. Artinya Talita juga belum bisa memilih orang lain."
Talita tahu alur percakapan itu. Tentang konsekuensi dari kejadian lima tahun lalu, yang dicetuskan dua tahun setelahnya.
"Tapi ini tidak akan lama lagi. Dia sudah punya rencana kembali, dan kuharap dia akan membebaskan Talita.”
"Aku lebih senang kalau dia mengambil anak ini, dan mendidiknya lebih baik."
Talita menunduk dari tatapan tajam ibunya. Kemudian tangan keriput hangat milik Nenek mengusap pelan pipinya. Talita bingung dengan arti senyuman itu.
"Dia bukan lagi seorang pendendam," katanya lembut. "Siapapun yang menikah dengannya akan bebas dari siksa."
"Entahlah Mi. Selamanya dia dan semua orang bagiku sama saja, mereka membenci Justin, maka aku akan membenci mereka."
"Kebencian hanya akan membuatmu lebih terluka Jesy. Kalau Justin tidak salah, menurutmu Erick yang salah?"
Jesy diam. Memang itulah yang terjadi. Semua orang mempercayai Erick karena dia waktu itu selamat, dan membenarkan semua yang Erick katakan karena Justin tidak lagi bisa menyuarakan kebenarannya.
"Lalu kenapa kau ingin putri kesayangan suamimu ini bersama orang yang tidak bisa kau percayai?" tanya Nenek heran.
Talita bisa melihat kesan bijaksana Nenek membungkam keras hati ibunya. Yang Talita ingat, Nenek tersebut adalah seorang yang paling disegani, dihormati oleh ibunya.
"Sama seperti Mami yang membiarkan cucu kesayangan Mami bersama anak seorang yang merenggut istrinya."
Talita pikir Nenek akan tersentak, tapi tidak, beliau tersenyum seolah geli dengan jawaban itu.
"Aku tidak membiarkannya. Dia menentukan sendiri pilihannya. Aku sekedar mengarahkan. Sebagai orang yang lebih tua diantara kalian aku akan jadi penonton yang bijaksana."
Talita melihat ketegangan diantara mereka. "Boleh Talita masuk dulu?"
"Di mana ajaran sopan santun yang Justin ajarkan padamu Talita!" Jesy membentak dengan nada datar. "Mami harus banyak istriahat."
Nenek menggeleng sambil memandang penuh arti kepada Talita. "Aku harus banyak bergerak, bergerak cepat. Aku tidak ingin meninggal sebelum melihat cicitku lahir. Mereka bahkan belum bertemu lagi sejak lima tahun lalu. Bukankah kau juga menginginkan itu?"
Talita pernah bertemu orang yang mereka bicarakan, dia lelaki pendiam dengan tatapan mata yang menakutkan. Talita tidak pernah berani mendekatinya, dan untuk bertegur sapa pun ia tidak ingin mencobanya. William Hartono adalah satu-satunya pewaris keluarga mereka, perpaduan mata biru dengan rambut cokelat yang Talita ingat. Begitupun Talita, ia keturunan terakhir keluarga Barsinu. Keluarganya memang tidak sekaya Hartono, tapi tidak akan miskin walau Talita tidak ingin bekerja seumur hidupnya.
"Kami tidak perlu penerus yang membenci darahnya," kata Jesy kesal.
"Ah, lututku mulai lelah. Aku pulang dulu."
"Hati-hati di jalan Nek."
Talita melihat Nenek menjauh, sangat pelan dengan nada ketukan tongkatnya. Beliau menghilang ke dalam mobil hitam cemerlang yang bisa dipastikan mahal.
"Dari mana saja?"
Talita memasuki rumah, "Jalan-jalan Bu."
"Dengan Rafael lagi?" Talita diam. "Sudah Ibu bilang jangan dekat-dekat dengannya. Dia itu bukan lelaki baik Talita."
"Dia sahabat Talita Bu, Talita lebih mengenal dia daripada orang lain."
"Seorang bisa dinilai dari siapa teman baiknya, Talita. Rasulullah yang mengatakan itu. Perkataan siapa lagi yang harus seorang muslimah percayai selain Al-Quran dan hadist?"
Talita bosan. Ia tahu Rafael buruk, tapi tidak semua keburukan itu juga buruk bagi Talita. Misalnya ia bisa memilah mana lelaki baik dan buruk, mana yang tulus dan sekedar modus. Rafael memberinya semua informasi tentang sosok paling buruk lelaki, dan Talita juga menemukan sesosok terburuk lelaki kedua, ayahnya. Cinta mana yang lebih menyakitimu, yang sakitnya lebih parah dari pada cinta yang pertama? Talita punya ayah yang ternyata seorang peselingkuh. Ia pernah punya kekasih yang ternyata penghianat. Dan ia juga punya sahabat yang paling buruk sebagai lelaki. Lelaki tidak pernah baik di mata Talita, ia sudah lelah untuk percaya ada kisah sempurna seperti yang Rasulullah contohkan.
"Kenapa Ibu masih percaya Ayah tidak berselingkuh?"
"Karena dia suamiku. Orang lain hanya berbicara tentang yang mereka lihat, tapi aku satu hati dengannya."
"Lalu apa, akhir yang buruk untuk orang yang baik?"
"Aku lebih suka kau tidak memaksakan keburukan menjadi kenangan tentang ayahmu."
"Tapi Bu, lihatlah kenyataannya. Ayah tewas bersama seorang wanita di dalam mobilnya. Orang-orang juga ragu bayi wanita itu anak suaminya atau anak Ayah."
"Talita!"
"Ibu juga perlu melihat secara objektif."
"Aku melihat Rafael buruk, itu objektif. Bagaimana denganmu?"
"Rafael memang buruk. Semua orang punya sisi buruk."
Jesy memegang kepalanya yang berdenyut, "Aku tahu kau putriku. Harusnya kami memiliki putra sepertinya, bukan putri sepertiku."
Talita meninggalkan ibunya dan mengunci diri di kamar. Demi sebuah kepercayaan Jesy kepada Justin, dia sudah menjual Talita. Sepenuh hati Talita merasa hidupnya tanpa arti. Ia ingin segera bertemu Tuannya itu, dan mengakhiri hidupnya yang sia-sia.