Mereka kembali ke gedung seni dengan ekpresi aneh. Gita masih pasang wajah kesal, sementara Nenda juga sama. Hanya Arbi yang tampak tenang di antara mereka berdua. Arbi tidak ikut-ikut, namun terpaksa diseret karena dia berada di antara mereka. Kadang jadi pihak netral itu memang menyebalkan.
Acara pameran itu masih didominasi oleh penggemar lukisan. Gita masih sibuk bermesraan dengan pacarnya, mengabaikan keberadaan Nenda yang sudah berstatus mantan. Gita tidak terlalu peduli dengan keberadaan Nenda. Namun Arbi peduli. Cowok itu malah mengakrabkan diri dengan Nenda. Meskipun Gita yakin kalau pada akhirnya Nenda yang akan menyerah menghadapi sepupunya.
"Ar, kenalin dong!" Cewek-cewek nyentrik dari kelasnya tiba-tiba muncul entah dari mana. Arbi menoleh ke arah Nenda. Mungkin pemikiran bodoh yang terlintas sekilas di otak Arbi adalah membuat Gita dan Nenda bersatu. Namun Arbi mengurungkan niatnya.
Arbi ingat itu bukan urusannya. Lagipula dia tidak ahli dengan urusan seperti itu. Jadi prinsipnya berubah. Jangan kejar yang sudah pergi, tapi coba cari yang baru. Lalu pemikiran jahat selanjutnya muncul.
"Silakan kenalan, mbak! Ini teman saya. Namanya mas Nenda. Mas Nenda, ini teman-teman sekelas saya. Ini mbak Arum, ini mbak Puji. Kalau mbak yang ini namanya mbak Dila."
Nenda gugup setengah mati. Dia terlalu kaku untuk berkenalan dengan orang lain, cewek terutama. Dia punya masa lalu yang buruk dengan cewek. Bahkan pada akhirnya Gita juga menyerah terhadapnya.
"Aku minta nomor HPmu!" Nenda menyikut Arbi. Arbi menunduk, lalu mengetikkan nomornya di HP Nenda. Meskipun cowok itu tidak pernah menggunakan HPnya. HPnya selalu nganggur. Kecuali untuk menelpon biyung dan romo di rumah.
"Hai, Nenda!" Lalu setelahnya Arbi meringsek mundur. Dia lebih tertarik untuk berkeliling gedung seorang diri. Nenda dikerubungi cewek-cewek itu, ditanya macam-macam. Namun Nenda menjawabnya dengan dingin dan singkat. Nenda tidak ingin membuang-buang waktunya lebih lama, jadi dia ingin melepaskan diri. Dia berniat mencari cowok yang sudah menyeretnya dalam perkenalan itu.
Ketika matanya menatap seorang cowok yang sedang terdiam di sebuah lapak, kakinya melangkah spontan. Namun sebelum langkahnya berhasil mencapai cowok itu, kecelakaan kecil terjadi.
Nenda tidak sengaja menabrak seseorang. Harusnya permintaan maaf saja sudah cukup. Iya, sudah cukup begitu. Namun sayangnya maaf bukan hal yang bisa dia ucapkan saat ini. Matanya menatap seseorang yang sedang berdiri di depannya. Wajah itu masih menduduki puncak di hatinya. Seseorang yang dulu membuatnya tersenyum, seseorang yang membuatnya mengerti apa itu cinta.
"Liana?" Nenda tergagap kaget. Cewek yang disapa Liana itu mengerjap tak kalah terkejutnya. Dia melongo dan menunjuk wajah Nenda.
"Nenda...."
Ingatan Nenda kembali pada masa lalunya. Liana adalah tetangganya, teman mainnya sejak kecil. Kedua orang tua mereka berteman dekat. Mereka sering mengadakan piknik bersama. Liana sangat manis dan juga sangat lemah. Nenda selalu melindungi cewek itu kemanapun Liana pergi.
Nenda selalu ada ketika Liana menangis. Cowok itu akan mengusap pipi basahnya yang penuh air mata dan menggandeng jemarinya. Ketika orang tuanya meninggal, Liana yang selalu menggenggam tangannya. Liana menjadi kekuatan baru bagi Nenda. Luka dan trauma Nenda tidak sepenuhnya sembuh. Dia akan selalu berteriak kencang ketika melihat petir dan Liana akan menemaninya hingga Nenda terpejam. Lalu Liana juga yang punya ide untuk membuat kamar kedap suara. Ketika Nenda sudah tergantung sepenuhnya pada cewek itu, mengatakan cinta pada cewek itu, akan tetapi Liana meninggalkannya. Ketika menginjak kelas tiga SMP, Liana mengatakan kalau dia harus pindah ke luar negeri.
Sejak saat itu Nenda menutup pintu hatinya tentang cinta.
Dia hanya akan mengikat status, namun tidak benar-benar merasakan cinta hingga jantung berdebar dan hati menghangat.
"Apa kabar?" Liana seolah menguak luka lamanya.
"Jangan ngomong di sini!" Nenda bicara dingin.
Liana mengangguk mengerti. Dia mengajak Nenda keluar dan mencari tempat untuk bicara. Nenda mengajaknya ke cafe seberang jalan. Mereka memesan kopi dan diam. Nenda berpikir banyak soal ini. Dia masih kecewa dan juga sakit hati atas perbuatan Liana dulu. Liana bahkan tidak menoleh ketika berpamitan padanya.
"Udah lama, ya..." Liana membuka obrolan. Nenda terpaku, bungkam tanpa suara.
"Baru dua tahun." Nenda seperti menyindir. Liana terperanjat dengan respon Nenda. Cewek itu menghela napas. Kopi yang mereka pesan sampai. Asapnya mengepul. Aroma kopi menyapa hidung mereka, menyisakan mereka dengan pemikiran masing-masing. Liana mencoba bicara, dengan bahasa sederhana versi dia. Namun respon Nenda tidak seperti yang dia harapkan.
"Maafin aku, Nenda..."
Bisu. Nenda membisu. Matanya menatap mata Liana dengan raut memicing tajam. Dia masih punya gelenyar rasa itu. Rasa tenang ketika melihat Liana, juga rasa ingin melindungi cewek itu.
"Kenapa harus minta maaf? Itu hak kamu, hidup kamu."
Liana siap menitikkan air matanya. Dia sedih dan terpuruk, apalagi ketika mendapat respon seperti itu dari Nenda. Lelaki yang sejak dulu sudah menempati hatinya.
"Aku beneran pengen minta maaf, Nenda..."
"Lupakan, Li! Itu udah masa lalu."
"Kamu pasti masih marah."
"Apa peduli kamu meski aku marah?"
Liana sesenggukan. Air mata sudah mengalir di pipinya. Kepalanya tertunduk. Nenda sedikit bereaksi melihat cewek yang disayanginya itu terpuruk. Nenda menghembuskan napas, menatap Liana yang sedang menggigit bibirnya menahan isak tangis.
"Aku emang nggak pantes dimaafin."
"Liana...." Nenda berbisik. Liana mendongak, air mata masih membasahi kedua pipinya. Nenda menghapus air mata itu lembut. Hatinya sudah luluh karena air mata cewek ini. Cinta pertama yang bahkan belum pernah dia lupakan. Nenda menggenggam lembut jemari Liana. Dalam sekejap dia sudah memaafkan Liana, hanya karena melihat Liana menangis.
"Maafin aku, aku hanya masih kecewa kamu pergi dulu Li!" Nenda bicara lembut kali ini. Liana mengangguk pelan.
"Ada alasan kenapa aku pergi waktu itu, Nenda." Liana menjelaskan. Nenda menaikkan alisnya, mencoba membuka telinga untuk mendengarkan ucapan Liana.
"Aku.... sakit, Nen."
Saat itu Nenda tercekat. Sakit? Ini bukan sinetron. Sungguh! Meski alurnya mainstream, namun kalau kalian mengalaminya... maka kalian akan belajar soal sakitnya juga. Pada dasarnya hidup dan akting memang saling bersinggungan.
"Sakit?" Nenda tidak tahu soal itu. Setahunya Liana dan orang tuanya pindah ke luar negeri. Rumah Liana dihuni oleh tantenya. Karena terlalu menyakitkan, akhirnya Nenda sengaja membeli villa yang agak jauh dan melupakan Liana.
"Setahun aku berobat, Nenda..."
"Kamu nggak bohong, kan?" Nenda gemetar. Kenyataan kalau Liana meninggalkannya waktu itu karena sakit, membuat Nenda jadi kesal pada dirinya sendiri. Liana tidak menceritakannya, namun Nenda tidak mencari tahu alasan kepergian Liana. Dia hanya takut makin terluka ketika tahu. Jadi cowok itu melarikan diri ke villa mewahnya.
"Aku nggak bilang karena nggak mau kamu berkorban buat aku, Nenda! Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa cek dokumen kesehatanku."
Nenda mengusap wajahnya. Dia kacau saat ini. Dia merasa sudah bodoh. Bagaimana bisa dia berpikir sedangkal ini soal Liana?
"Lalu kesehatan kamu gimana sekarang?"
"Aku sembuh, Nenda." Liana tersenyum paksa. Nenda menggenggam jemarinya makin erat. Liana membalas genggaman Nenda.
"Aku kangen kamu, Nenda...." Cewek itu menatap Nenda. Nenda bungkam. Lalu seorang Nenda yang dulu orang katakan sebagai seseorang yang kaku dan membosankan itu menangis.
Menangis karena mengutuk kebodohannya sendiri.
Dua tahun ini dia merasa sangat kesepian. Dia ketakutan setengah mati ketika ada petir yang menyambar tiba-tiba. Dia selalu ingat Liana. Dia mengharapkan Liana untuk ada di sampingnya.
"Apa kamu mau memberi aku kesempatan untuk menebus kesalahanku, Nenda?" Liana berbisik lembut. Tidak perlu waktu bagi Nenda untuk menjawa pertanyaan seperti itu. Nenda tersenyum kali ini. Senyuman yang untuk pertama kalinya dia persembahkan untuk seseorang setelah sekian lama.
"Kita bukan memperbaiki, Li! Kita mulai dari awal."
Hari itu sebuah pencapaian baru sudah Nenda gapai. Dia kembali mendapatkan apa yang sudah hilang darinya. Cinta. Cinta pertamanya sudah kembali. Nenda tidak perlu apa-apa lagi sekarang.
***
Hubungan Nenda dan Liana membaik. Nenda sudah kembali ke rumahnya yang berada di depan rumah Liana. Mereka kembali menjadi sepasang kekasih. Mungkin. Namun Nenda tidak pernah mengikat Liana dengan pernyataan dan status sebelumnya. Hubungan itu mengalir begitu saja.
"Nenda, kamu masih ikut homeschooling?" Liana bertanya cepat. Cewek itu sedang sibuk memasak di dapur. Membantu pak Gito di sana. Pak Gito akan selalu diboyong kemana pun Nenda pergi.
"Iya. Kenapa, Li?"
"Kenapa nggak milih sekolah publik?"
"Males. Aku juga harus ngurusin ini itu di perusahaan. Sekalian juga belajar soal ekonomi manajemen, kan?"
"Kamu nggak kesepian?" Liana tersenyum. Dia tahu kalau Nenda tidak terlalu suka dengan bersosialisasi. Nenda lebih suka damai di dunianya sendiri. Ngomong-ngomong soal itu, akhir-akhir ini Nenda jadi jauh lebih bersemangat dibanding sebelumnya.
Ada Liana sekarang.
Bahkan cewek itu sudah mendaftar sekolah di Indonesia. Nenda juga ingin menemani Liana bersekolah di sana, namun sayangnya dia harus fokus pada perusahaan. Anak SMA diberikan tanggungan sebesar itu pasti merepotkan kalau Nenda harus bersekolah di sekolah umum. Lagipula om dan kerabatnya yang lain juga membantu Nenda selama ini. Nenda tidak sepenuhnya bekerja sendiri.
"Kamu butuh teman, Nenda."
"Nggak butuh! Mereka hanya baik kalau ada butuhnya aja! Mereka selalu ada maunya."
Liana menatap Nenda dengan raut kesal.
"Tapi nggak semuanya kayak gitu. Teman yang baik dan nggak modus bakalan menerima kamu, tanpa melihat apa yang kamu punya Nenda!"
Nenda sudah mendapatkan teman yang seperti itu, namun dia sudah melepaskannya. Nenda sudah jadi lebih lunak dan juga lebih lembut sekarang. Liana pergi ke sekolah setelah membuat sarapan untuk Nenda. Nenda sangat terharu dengan perhatian Liana. Bahkan cewek itu masih sempat memikirkannya meski harus ke sekolah.
Ketika Liana sudah berangkat dengan supir, Nenda menunduk melihat HPnya. Tiba-tiba dia ingat seseorang yang dia tinggalkan beberapa hari lalu di pameran. Lukisan yang diberikan orang itu masih belum Nenda ambil. Nenda mencari nama cowok itu dan dia tergelak geli ketika melihat nama mencurigakan di HPnya.
Cowok absurd itu menamai dirinya di kontak HP Nenda sebagai "Tukang Lukisan". Nenda tidak tahu sejak kapan selera humornya mendadak bangkit. Apa karena Liana?
Nenda mengirimi cowok itu SMS singkat.
"Ini aku, tukang lukisan."
Tak lama setelah itu HPnya bergetar, ada SMS masuk membalas pesannya.
"Pemesanan lukisan sudah berakhir. Silakan datang ke even kami selanjutnya. Terima kasih."
Nenda mengernyit.
"Ini aku, woy! Nenda."
Nenda menunggu balasan Arbi.
"Ah, iya! Lukisan mas Nenda nanti saya antarkan via kurir saja. Minta alamatnya mas."
Nenda sudah merasa bersalah karena merepotkan cowok absurd itu. Namun setelah mengirimkan alamat rumahnya, Nenda kembali membaca balasan cowok itu.
"Setahu saya bukan ini alamat mas Nenda. Ini kan perumahan."
Nenda menepuk dahinya sendiri.
"Aku balik ke rumahku, kok! Jadi udah nggak tinggal di villa lagi."
Lalu setelah itu Arbi tidak membalas pesannya. Apa pulsa cowok itu habis? Nenda curiga, namun setelah itu SMSnya dibalas oleh cowok absurd itu dengan satu kalimat – ah tidak, melainkan hanya tiga huruf yang membuat Nenda meradang.
"Thx."
Nenda punya niatan lain kenapa harus mengirimi Arbi SMS. Dia ingin minta saran. Siapa tahu saja saran cowok absurd itu berguna untuknya.
"Aku mau nanya. Atau konsultasi namanya."
Arbi di sana sedang dalam keadaan mengantuk. Konsentrasinya bubar. Semalam dia sibuk mengadakan acara tasyakuran bersama anak seni lukis yang lain.
"Apa, mas?"
"Aku dan pacar pertamaku balikan. Beri tips biar kami bisa bertahan, kalau perlu sih naik ke jenjang yang lebih lanjut gitu!"
Arbi mengetik semaunya sekarang.
"Mas Nenda jangan lupa ruwat biar tidak sial."
Nenda mengernyit membaca SMS dari Arbi. Dia menggeleng geli. Ternyata Arbi masih saja tipe orang yang tidak akan pernah bisa dia mengerti. Cowok itu selalu sibuk dengan pemikirannya sendiri dan bicara dengan bebas.
Nenda tidak sempat membalas pesan Arbi karena sekretarisnya sudah sampai. Sekretarisnya harus melaporkan keuangan bulan ini. Nenda mulai fokus dengan pekerjaannya. Mungkin benar kalau sifat kakunya itu akibat kepergian Liana. Sekarang Liana sudah ada di depannya, jadi tidak ada alasan baginya untuk terpuruk dan kaku seperti itu.
Hubungannya membaik....
Benar-benar membaik dan berkembang. Mereka sering kencan saat malam minggu, sering jalan-jalan juga. Berciuman sesekali. Meskipun Nenda ingat kalau dia belum mengikat Liana dalam kasta status. Tidak ada kata berpacaran di statusnya.
Hubungannya benar-benar membaik.
Lukisannya sudah sampai dua hari kemudian. Nenda memajang lukisan itu di ruang keluarga. Maka ketika semuanya selesai, Nenda tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Arbi. Semuanya sudah kembali pada yang seharusnya. Ketika hubungannya bersama Liana membaik, lalu lukisan Arbi sudah sampai...
Maka Nenda dan Arbi tidak punya hubungan apa-apa lagi. Tidak ada.
Ketika Nenda dan Liana menikmati masa mesra-mesraan mereka yang dibumbui cinta, Arbi juga sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dia jadi anak seni yang jadi perhatian sekarang. Lukisannya jadi lukisan yang ditawar paling mahal, namun sayangnya dia menolak menjualnya.
"Ya saya memang tidak tertarik menjualnya, pak!" Arbi mengeluh pada pak Puhi. Pak Puhi menanyainya macam-macam soal itu.
"Jarang-jarang ada murid baru yang menolak tawaran sebesar itu!"
Arbi menunduk, lalu menggeleng.
"Jadi, boleh kita fokus dengan lukisan aliran kubisme saja, pak?" Arbi tersenyum. Pak Puhi menghela napas, lalu meninggalkan Arbi sendiri. Arbi sibuk mencari benda yang bisa jadi panutan garisnya.
Dia tidak terlalu suka dengan aliran kubisme.
"Kok mukamu suntuk gitu, mas?" Gita lagi-lagi celingukan di jendela lab seni.
"Saya benci aliran kubisme." Bibir Arbi melengkung ke bawah. Melengkung imut begitu saja. Gita juga ikut melengkungkan bibirnya.
"Aku juga benci sama balet, mas!"
"Saya ingin melukis apa yang saya inginkan!" Arbi mengeluh lagi. Pak Puhi melotot, lalu masuk ke laboratorium seni. Gita melarikan diri setelah itu.
"Kok kamu nggak selesai dari tadi, Bi?"
"Saya cinta Salvador Dali!" Arbi menjawab sumbang seperti biasa.
"Jangan terpaku pada satu aliran saja, Bi!" Pak Puhi berdecih. Arbi memanyunkan bibirnya lagi.
"Baik, saya cinta Amang Rahman kalau begitu."
Pak Puhi menepuk kepala Arbi.
"Mereka sama-sama dari aliran surealisme, Bi! Lagian kamu kok ya tertarik sama aliran mimpi, sih?"
"Saya hanya ingin bebas dari kontrol kesadaran, kebebasan yang menuju realistis namun masih dalam hubungan yang aneh."
"Kamu salah satu contoh aliran surealisme, Bi!"
Arbi sadar itu.
Pasca pengiriman lukisan kemarin dia dan Nenda sudah tidak berhubungan lagi. Arbi menjalani kehidupannya sendiri dengan bebas seperti sebelumnya. Keduanya lost contact meski sudah punya nomor HP masing-masing. Namun Arbi lupa kalau di saat seperti ini ibunya menelepon. Katanya beliau sedang hamil. Arbi menduga kalau ibunya sengaja menyuruhnya sekolah di sini agar bisa optimal dalam menciptakan manusia baru.
Arbi tahu itu!
Namun semalam, ketika ibunya mengabarkan berita mengejutkan namun membahagiakan itu kesialan sedang melanda. Karena terkejut itulah HPnya meluncur di WC. Tercelup air. Basah. Dan mati. HPnya mati, namun Arbi tidak cemas sama sekali. Tidak ada yang mau menghubunginya juga lagipula.
Itu juga jadi alasan kenapa dia dan Nenda jadi lost contact.
Bel pulang sekolah berbunyi. Arbi beranjak pulang ke asrama. Hari ini dia harus memikirkan lukisannya yang belum jadi. Kotak-kotak. Segitiga. Kubisme. Kubis. Sayur. Kepalanya tertunduk, tanpa melihat jalan. Juga tanpa melihat siapa yang sedang menunggunya di depan gerbang sekolah.
"Hai, mas!" Bedanya, kali ini mereka menyapa Arbi terlebih dahulu.
Persamaannya, mereka mengangkat tubuh Arbi lagi dan mendorong Arbi masuk ke dalam mobil. Untuk yang kedua kalinya Arbi diculik. Juga, oleh orang yang sama.
TBC