Setelah sekian lama mencoba bertahan dengan keanehan Arbi, Nenda punya ide yang lumayan bagus. Kalau memang pada akhirnya dia harus menahan cowok absurd itu untuk sementara di villa ini, maka jalan satu-satunya adalah memanfaatkan cowok absurd itu agar lebih berguna dan punya kesibukan.
Arbi tanpa kesibukan sama halnya dengan bom waktu yang bisa meledak ketika sudah menunjukkan nol. Nenda menggeleng kencang, membayangkan cowok aneh itu meledak tiba-tiba.
"Jadi aku bakalan mengajukan sebuah penawaran." Nenda bicara dengan nada otoriter. Arbi duduk di depannya. Siap menunggu apapun yang Nenda katakan. Arbi sudah siap mendengarkan apapun vonis yang dilayangkan padanya.
"Apa itu, Nen?"
Nenda melotot.
"Maafkan saya, Nenda. Saya tidak peka."
"Jadi, aku bakalan mempekerjakan kamu di sini," jeda sekilas dalam ucapan Nenda hingga dilanjutkan kembali, "itu yang harus kamu sanggupi kalau mau tetep tinggal di sini."
Arbi yang oon dan juga bebal itu tidak akan pernah paham soal penawaran dan otoriter. Dia hanya menurut saja ketika Nenda menawarkan sesuatu padanya. Atau bukan penawaran namanya, tapi sudah memaksa.
"Itu artinya saya akan digaji?" Arbi peka kalau untuk membahas soal duit. Nenda melotot tak terima.
"Jangan ngimpi, deh! Udah untung kamu nggak aku aniaya!"
Arbi menatap wajah Nenda datar. Dia mengembuskan napas, lantas mencoba bicara dengan bahasa yang jauh lebih sederhana. Walaupun pada kenyataannya, bahasa Arbi tidak bisa dikatakan sebagai bahasa yang sederhana. Bahasa itu hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri.
"Saya punya dugaan awal kenapa Nenda menculik saya."
"Karena kecelakaan. Harusnya Gita yang aku culik!" Nenda menjawab terlebih dulu sebelum Arbi mulai dengan dugaan nggak berdasarnya.
"Saya kira karena nama saya."
"Hah?!" Sepertinya Nenda harus mengalami sindrom sambungan putus saat ini. Itu sindrom ketika seseorang tidak paham apa yang dia ucapkan dan malah menjawab di luar topik.
"Nama saya memiliki makna bangsawan Jawa."
Nenda memjiat pelipisnya geram. Dia menatap Arbi tajam, lalu berkata pedas di depan wajah cowok absurd itu.
"Kamu!" Nenda tidak tahu harus merespon seperti apa kali ini. Dia sudah tidak tahan lagi berdekatan dengan cowok aneh ini. Namun dia harus bertahan. Apalagi sekarang dia punya ide untuk membuat cowok absurd ini bekerja di villanya.
"Kamu mau jadi apa? Selain koki tentunya!" Nenda memberi peringatan. Arbi mencoba mencari alternatif atas tawaran Nenda. Jadi tukang bersih-bersih? Yakin? Arbi justru lebih rajin mengotori daripada membersihkan. Satu-satunya pekerjaan paling aman adalah jadi tukang kebun.
"Saya memutuskan untuk jadi tukang kebun saja."
Nenda juga berpikir demikian. Maka sudah diputuskan, Arbi akan menjadi tukang kebun di villa ini. Meskipun Nenda harus mikir beberapa kali untuk mempekerjakannya. Arbi sudah menghasilkan satu buah lukisan. Terinspirasi dari ketakutan Nenda soal petir.
"Jangan potong rumput seenaknya!" Lalu petuah dan juga pesan keramat Nenda terdengar kembali, "jangan rusak bunga-bunga semaunya!"
Nenda jadi seperti seorang narapidana yang sedang menjalani proses persidangan. Nenda adalah pengacaranya, yang memberikan saran agar dia selamat di persidangan. Ketika otaknya sedang mencari analogi yang sesuai dengan kondisinya saat ini, Nendra sudah berdiri tepat di depannya.
"Aku nggak akan gaji kamu, tapi...."
Arbi menunggu.
"Aku bakalan beliin alat lukis baru, lalu memberi kamu makan. Asalkan biayanya nggak gede banget aku sanggup menghidupi kamu."
Arbi mikir.
Nenda sangat pelit dan juga perhitungan. Namun perlahan dia juga sadar diri. Dia sedang diculik, bukannya sedang kerja part time di sini. Diberi makan dan dibelikan alat lukis saja sudah melewati hakikatnya sebagai korban penculikan.
Oke, itu mulai klise!
"Nenda pelit sekali! Padahal uang kamu banyak." Arbi mengeluh.
"Aku hidup bukan buat biayain kamu!"
"Lalu kenapa Nenda hidup untuk menculik saya?"
Nenda dilanda kegalauan. Bagaimana caranya merespon pertanyaan ambigu mencurigakan itu? Nenda mencoba untuk memahami, namun dia gagal untuk tahu. Dia tidak mau jadi seseorang yang mudah terpancing emosi saat ini. Ketika matanya melirik si oon, tiba-tiba dia terusik.
Arbi sedang sibuk berkutat dengan taplak mejanya. Menarik-narik benang di ujung taplak, hingga beberapa kaitan taplak itu terlepas. Nenda melotot horor.
"Kamu ngapain?!"
"Saya sedang mencoba memperbaiki ini, Nenda."
Nenda ingin berteriak kencang sekarang. Dia menatap Arbi dengan wajah kesal, lalu menarik lengan cowok oon itu.
"Jangan pernah menyentuh apapun di rumah ini! Kamu hanya diperbolehkan jadi asisten tukang kebun!" Nenda memberikan titah otoriternya. Arbi sebagai tebenger yang tahu diri, dan juga sebagai penumpang gelap korban penculikan seharusnya tahu diri.
Arbi berdiri, mengabaikan taplak yang sudah tercerai-berai benangnya. Wajahnya tidak menampakkan rasa bersalah sedikit pun. Hari itu Nenda yang kaku dan juga membosankan mulai memberikan kuliah gratis padanya.
***
Arbi mengawasi Nenda yang sedang belajar. Nenda juga siswa sepertinya. Dia satu tingkat di atasnya, sama seperti Gita. Namun Nenda lebih memilih homeschooling daripada sekolah umum.
"Jadi, untuk mencari nilai X kita harus mencari sudut yang ini dulu."
Arbi mengawasi Nenda yang sedang mencoret-coret bukunya. Arbi tidak paham apa yang sedang mereka bicarakan. Angka yang dia suka adalah angka yang tercetak di selembar kertas, yang bisa ditukar dengan barang atau jasa.
Uang.
Nenda melirik Arbi yang sedang duduk mengawasinya. Mulut cowok oon itu melongo tidak paham. Nenda memberi isyarat padanya untuk mendekat. Arbi mundur ragu. Dia tidak ingin sekolah. Dia tidak mau berhubungan dengan buku. Dia senang ketika sekolah meliburkan anak seni lukis untuk project work menjelang pameran lukisan.
"Sini!"
Arbi mundur, bersiap kabur.
"Saya tidak tertarik dengan belajar. Tolong abaikan saya!"
Nenda bergerak lincah, menarik krah baju Arbi seenaknya. Dia menyeret Arbi dan duduk tenang di depan tutornya. Di depannya sudah ada buku matematika.
"Saya masih kelas satu, Nenda. Ini buku kelas dua. EH?!" Arbi sadar kalau cowok di sebelahnya ini lebih tua daripada dia. Dia benar-benar sudah durhaka dan tidak sopan. "Kamu sudah kelas dua, eh... mas?"
"Jadi kamu kelas satu? Tapi Gita panggil kamu mas!"
"Ibu saya budhe dia, mas."
Nenda jadi terusik ketika mendengar namanya berubah jadi mas. Kalau kakak mungkin masih terdengar wajar, namun mendengar seorang cowok yang memanggilnya mas begitu membuatnya mikir.
"Jangan panggil aku mas."
Arbi mengangguk paham.
"Maafkan saya, kangmas."
Nenda spontan memukul kepala Arbi dengan buku. Dia melotot galak. Ternyata bicara dengan Arbi itu tidak ada gunanya.
"Panggil aku sesukanya, asal jangan pake sebutan kangmas itu! Geli dengernya!"
"Baik, mas."
Sudahlah....
"Kamu harus ikut homeschooling ini."
Arbi melongo, menggeleng kencang setelah itu. Belajar bukan keahliannya. Dia sudah melihat silabus jurusannya. Ada beberapa materi. Aliran realis, surealis, naturalis....
Tidak ada kata-kata interval XYZ atau menggambar sudut kayang melengkung manja di atas grafik. Arbi mengembuskan napas, lantas melirik wajah Nenda dengan raut pias.
"Maaf, mas. Saya menolak."
"Kenapa? Kamu nggak perlu bayar. Aku juga udah menyita waktu liburanmu."
"Kenapa mas baik sekali?" Arbi tidak pernah meletakkan rasa sungkan dan berpikir dulu sebelum bicara. Dia lebih senang menceritakan apa yang dia pikirkan saat ini. Meski kadang orang bilang kalau pemikiran Arbi tidak pernah benar dan normal.
"Pokoknya aku mau kamu ikut acara homeschooling ini!"
Arbi masih curiga.
"Kenapa, mas?"
"Biar pinter, nggak oon!"
Arbi selalu datar tiap kali ada orang yang memanggilnya begitu. Dia sudah biasa dihina seperti itu. Arbi mencoba tersenyum, meski dia jarang sekali melakukannya di depan orang lain. Hanya di depan orang tuanya dia bisa tersenyum, nyengir mencurigakan malah. Namun sekarang dia mencoba tersenyum.
"Saya oon atau tidak apa ada pengaruhnya untuk hidup mas?"
Jleb!
Nenda mencoba menjelaskan dengan bahasa yang sederhana. Arbi yang selalu sibuk dengan pemikirannya sendiri dan juga tingkah absurdnya itu harus diajak bicara dengan bahasa yang jauh lebih sederhana.
"Anggap saja ini bayaran karena kamu mau kerja di sini. Cuma sampe kamu aku bebasin."
"Kapan saya dibebaskan?"
"Sampai Gita mau balikan!"
Arbi mengernyit.
"Sebulan lagi ada pameran lukisan. Saya harus menghasilkan paling tidak dua lukisan."
"Dan belajar nggak bakalan butuh waktu lama. Kamu bisa melukis di waktu luang."
Arbi tidak bisa melarikan diri lagi. Mungkin tujuan Nenda memang baik. Dia ingin Arbi memanfaatkan waktunya untuk belajar, agar tidak dianggap oon atau bodoh. Meskipun Nenda salah soal ini. Arbi bukannya butuh belajar soal ilmu pengetahuan, tapi soal kepribadian. Juga sikap.
"Jadi, kenapa mas baik sekali pada saya?"
Nenda mencoba menjawab.
"Kalau memang mas mau cari muka agar Gita menerima mas lagi, mungkin mas salah kalau memanfaatkan saya. Saya tidak berguna dan tidak ada hubungannya dengan kisah cinta kalian."
Nenda berdehem. Private tutornya hanya bungkam, tidak bisa menyuruh Nenda fokus pada pelajaran sekarang.
"Aku takut sama mulut embermu!"
Arbi jelas tidak pernah tersinggung dengan itu. Salah satu keuntungan jadi orang bebal adalah tidak pernah merasa tersinggung atau sakit hati meski dihina. Tidak tersinggung atau karena memang tidak tahu sedang disinggung?
"Saya tidak pernah bermasalah dengan mulut saya."
Tidak nyambung. Lihat, kan?
"Aku bete lihat orang oon di sekitarku. Jadi mau nggak mau kamu harus ikut aturan rumah ini!"
Arbi mengeluh sebentar.
"Lalu pak Gito dan kawan-kawan ikut homeschooling juga?"
Nenda ingin bunuh diri sekarang!
***
Gita menatap HPnya. Menimbang dan memikirkan keberadaan Arbi sekarang. Cemas? Lumayan. Tapi Gita yakin kalau Arbi mampu menyelamatkan diri dimana pun dia berada. Gita tahu itu. Arbi memang super lemot dalam memproses ucapan orang lain, namun dia lebih mudah mengeksplorasi lingkungan sekitarnya.
Lagipula, memangnya Nenda bisa apa? Cowok itu terlalu kaku dan membosankan. Bahkan Gita mengira kalau Arbi akan diabaikan dan dilepaskan secepatnya. Tidak akan ada orang yang bisa tahan kalau berdekatan dengan Arbi.
Iseng, akhirnya Gita mengirimi SMS pada mantannya itu.
"Jagain sepupuku! Kalau dia luka sedikit aja, maka tujuh turunan bakalan neror keluarga kalian!"
Nenda membaca SMS dari mantannya itu, namun tidak ada minat untuk membalasnya. Dia bergerak, melangkah ke ruang keluarga. Namun langkah kakinya terhenti begitu saja melihat cowok absurd yang dia culik sedang duduk terpekur.
Pasca belajar tadi Arbi jadi punya kesibukan.
Mengerjakan tugas matematika soal persamaan. Nenda iseng, ingin tahu. Ketika dia sampai di belakang Arbi, cowok itu mendadak emosi.
"Kamu disuruh ngerjakan tugas, tapi malah...."
Arbi menoleh kaget.
Garis-garis di buku matematika itu sudah berubah bentuk, bertransformasi jadi lukisan. Nenda melongo. Ternyata dia salah sangka. Dia kira Arbi tertarik untuk belajar, namun nyatanya Arbi tetap sama.
"Ini lukisan aliran kubisme, mas!"
Nenda tidak ingin tahu soal itu!
"Aku nggak nanya!"
"Aliran ini didominasi oleh bentuk garis, segitiga, persegi, lalu...."
"Aku nggak nanya!"
"Mas, kenapa mas dan Gita bisa putus?" Kali ini topiknya berubah begitu saja. Nenda bingung bagaimana harus menanggapi tipe orang seperti ini. Dia tipe orang yang kaku dan tidak terlalu cocok dengan orang yang terlalu fleksibel. Sejujurnya Nenda iri. Karena Arbi bisa hidup sebebas mungkin.
"Penting untuk tahu?"
"Peting, mas! Dia sepupu saya."
"Aku nggak mau beritahu!"
"Ya sudah, terserah mas saja!"
Sudah.
Dan obrolan itu berakhir dengan miris. Nenda yang awalnya berharap obrolan itu akan berakhir di pihaknya, maka semuanya terasa menyakitkan. Nenda sudah berbuat kesalahan fatal. Ini bukan sepenuhnya kesalahan anak buahnya yang salah culik. Wajah keduanya mirip. Dia dan anak buahnya hanya sedang misscommunication. Nenda lupa mengatakan kalau yang diculik itu cewek, bukan cowok.
Lagipula di foto itu Gita sedang memakai topi rajut yang menyembunyikan rambut panjangnya. Jadi jelas saja anak buahnya salah culik!
"Saya kepo soal sesuatu."
Nenda awalnya tidak ingin tahu, sungguh! Namun dia tergelitik untuk mengetahui hal itu karena begitu mengganggu.
"Kenapa mas begitu yakin kalau Gita akan balikan kalau mas menculik saya?"
Nenda tahu kalau dia tidak perlu merespon ucapan Arbi. Cowok itu akan selalu bicara semaunya. Meski tidak nyambung.
"Mas, tahu kenapa kita harus menghirup oksigen?"
Nenda tidak pernah memikirkan itu.
"Saya baca buku mas tadi. Api akan semakin besar ketika diberi oksigen. Jadi kenapa manusia harus menghirup oksigen?"
Nenda tidak tahu, juga tidak pernah peduli soal itu!
"Nggak usah nanya aneh-aneh!"
"Saya hanya penasaran." Arbi bicara dengan nada datar. Namun bukan hanya sampai di sana. Arbi masih ingin berkomentar soal sesuatu. Dia penasaran dengan apa yang Nenda lakukan selama ini di villa mewahnya.
"Kenapa mas betah di sini? Kenapa mas tidak ingin keluar mencari angin? Atau berpetualang begitu?"
Nenda terusik dengan pertanyaan itu.
"Aku udah punya semuanya di sini! Untuk apa aku keluar?"
Itu nada sombong yang muncul dari bibirnya. Meski dia sendiri juga tidak tahu kenapa dia mengatakannya. Nenda tidak berniat sombong, namun bagaimana lagi. Dia hanya sedang ingin memamerkan apa yang dia capai di usia muda. Walau itu bukan seratus persen usahanya.
"Jadi mas seperti Doraemon. Bisa mendapatkan apa yang mas inginkan."
Nenda tersenyum geli diam-diam. Untuk pertama kalinya dia bereaksi seperti itu. sebuah ungkapan tulus, tanpa basa-basi seperti saat dia berada di depan client. Senyum itu begitu tulus, meluncur apa adanya dari bibir Nenda.
"Kamu mirip Nobita. Yang oon dan juga kerjanya nyusahin orang."
Arbi menggaruk kepalanya. Benar juga apa yang Nenda katakan. Namun tetap saja, statusnya bukan seperti Doraemon dan Nobita yang asli. Statusnya hanya sekedar penculik dan korbannya.
Arbi tersentak kaget tiba-tiba.
"Saya punya ide untuk lukisan yang kedua!" Arbi beranjak pergi ke kamarnya. Dia mulai sibuk dengan kanvas dan kuasnya. Mengabaikan Nenda yang masih bengong tidak paham tentang perubahan mood yang mendadak itu.
Mungkin dia memang seorang Doraemon untuk Nobita. Atau seekor? Doraemon kucing, kan?
TBC