"Serius, lo nggak bisa?"
Melirik judes, Arya yang baru saja menurunkan cermin kecil untuk memeriksa kondisi wajahnya menatap Hasta dengan sebal. "Nggak! Lo liat sendiri muka gue kayak roti keinjek. Benyek dan nggak tampak lezat seperti biasanya. Ketampanan gue menurun drastis gara-gara tangan berotot lo."
Meringis tak enak hati, Hasta kembali mengucap maaf. Sekarang, dia tengah berada di apartemen Arya. Membawa makan siang dan buah-buahan untuk sahabatnya yang masih merajuk karena bogeman yang dilayangkan berawal dari kesalahpahaman.
"Yaudah sih, lo tinggal temuin itu cewek pilihan nyokap lo, terus ajak basa-basi sebelum kasih penolakan yang sehalus mungkin biar nggak bikin hati anak orang cenat-cenut."
Menyugar rambut, Hasta menyandarkan punggung pada sandaran sofa yang berada di belakangnya. Mengela napas panjang, pria itu masih tampak gamang. "Gue nggak yakin bisa, lo tau sendiri, pemahaman soal cewek minim banget. Makanya, gue butuh bantuan lo."
Meski rasa sebal masih menggelayut, Arya tetap tak tega melihat raut resah yang Hasta perlihatkan.
Astaga ... Susah banget sih, punya perasaan selembut permen kapas? Pikirnya, sebelum berdeham dan menegakan posisi duduk. "Yaudah, gue bakal bantu lo."
"Serius?" Hasta tak bisa menahan diri untuk merekahkan senyuman, mendengar ucapan Arya.
"Iye, gue bantu. Lo kasih tau aja tempat ketemuannya di mana?"
Hasta baru saja akan menjawab, tapi dering ponsel miliknya menginterupsi. Meraih benda pipih itu, Hasta meringis, mendapati nama sang Mama yang tertera sebagai penelpon.
Mengela napas panjang, pria itu menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan, menempelkan ponsel pada telinga kanan dan menyapa sang Mama. "Ya, Ma?"
"Has, jangan lupa hari ini ada jadwal kencan."
"Pengenalan Ma, bukan kencan. Kenal juga belum." Koreksi Hasta cepat, tak memedulikan decakan sebal sang Mama.
"Terserahlah, yang penting, kamu harus bersikap baik kali ini."
"Memangnya kapan aku bersikap nggak baik?"
"Jangan pura-pura, kencan sebelumnya kacau karena kamu sekongkol sama Arya bikin huru-hara."
Mengerutkan kening, Arya mengorek telinga dengan jari kelingking kirinya. "Kok kuping gue berdenging ya?" Gumamnya sembari melirik kearah Hasta yang juga tengah menatapnya. "Susah jadi orang ganteng, pasti digibahin cewek-cewek nih, seberapa rupawanny seorang Arya." Kekehnya sembari mengorek-ngorek telinga.
Mendengkus, Hasta kembali fokus pada obrolannya dengan sang Mama. "Iya, sebentar lagi Hasta berangkat. Udah dulu ya, Ma?"
Meski enggan mengakhiri panggilan, tapi Amel akhirnya menutup telepon, tapi sebelum itu, dia memberi Hasta wejangan selama tiga menit, baru benar-benar mengakhiri sambungan.
Memijat pangkal hidung, Hasta dibuat pening dengan tindakan sang Mama yang kian gencar membuatnya bisa berkencan dengan anak dari teman-teman wanita paruh baya itu.
"Lo mau kencan tapi kayak disuruh gosokin gigi macan, Has." Terkekeh, Arya meringis saat sudut bibirnya yang terluka berdenyut nyeri.
"Gue harus berangkat sekarang, sebelum nyokap neror lagi. Ar, lo beneran bantu kan?"
"Iye, eh, tapi kemananan gue terjamin kan? Kalau kasih bantuan lagi buat gagalin kencan lo?"
"Maksudnya?"
"Ya ... Kali aja, gue dilabrak nyokap lo nanti. Kan serem Has, kalau gue dikutuk jadi pria tampan yang kesepian." Mengela napas panjang dengan ekspresi berlebihan, Arya kembali berkaca. Tak memedulikan Hasta yang memutar mata jengah.
"Gue cabut." Pamitnya yang ditanggapi gumaman tak jelas dari Arya yang masih sibuk berkaca.
Sepeninggal Hasta, Arya mengerutkan kening dengan wajah berpikir. Kali ini, apa yang harus dilakukan untuk membantu Hasta menggagalkan kencan yang tak diinginkan sahabatnya itu?
Jika wajah tampannya tidak bonyok, dia mungkin tak segan untuk turun tangan secara langsung. Sayangnya, Arya enggan keluar dengan keadaannya yang sekarang.
"Ah, iya!" Menjentikkan jari dengan antusias, Arya bergegas meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang yang bisa diandalkan untuk menggantikannya membantu Hasta.
Calya, adik Bastian itu bisa Arya jadikan sebagai senjata.
Dan benar saja, baru membahas secuil soal Hasta dan perempuan lain, gadis muda itu sudah terbakar amarah. Dan tak perlu dua kali untuk membujuk agar bersedia mengikuti rencananya.
Usai memberi arahan untuk Calya, tentang apa saja yang harus gadis itu lakukan untuk membantu Hasta lepas dari kencan buta rancangan Tante Amel. Arya meletakkan kembali ponselnya ke atas meja, sebelum kemudian beranjak dari duduknya.
"Mandi kembang dulu ah ..., biar nggak ketiban si*l lagi." Langkah Arya tiba-tiba terhenti dengan kening mengernyit. "Eh, tapi kan, gue belum beli kembangnya? Semisal keluar, beli dadakan, keburu mager. Ck! Cari seadanya aja deh." Membelok kearah dapur, Arya mencari sesuatu. Tak juga menemukan, ia memeriksa kulkas dan tersenyum sumringah. "Nah, ini juga bisa kali ya? Kan yang penting judulnya kembang." Mengangguk untuk meyakinkan diri, Arya berlalu dari dapur dan menuju kamar mandi, dengan satu kantong plastik berisi ... Kembang kol.
***
Hasta berdeham, berharap bisa meluruhkan rasa canggung yang sejak tadi memerangkap. Pria itu menatap wanita yang duduk berseberangan dengannya. Terus menundukkan kepala, seolah makanan yang berada di atas piring jauh lebih penting dibanding keberadaannya. Meski ... Ia tau, hal itu hanya sebagai pengalihan.
Jika dikencan sebelumnya, Hasta mendapat wanita yang cukup ceriwis, selalu memulai berbagai pembicaraan hingga membuatnya cukup kewalahan. Tapi kali ini, teman 'kencan' yang merupakan rekomendasi sang Mama, sangat amat pendiam. Hingga Hasta kebingungan. Karena sejujurnya, ia pun cukup payah dalam membuka obrolan. Terlebih, pada orang baru.
Hasta membuka mulut, nyaris melempar tanya, tapi bibirnya terkatup lagi, saat rasa ragu kembali datang. Menggaruk-garuk kening, ia benar-benar terjebak dengan situasi canggung yang membuatnya kebingungan.
Suara ponsel membuat Hasta berjengit, meringis sembari menggumamkan permintaan maaf pada wanita di depannya yang hanya menatap sesaat sebelum kembali menundukkan kepala, Hasta bergegas meraih benda pipih yang masih berteriak meminta perhatian. Mengerutkan kening, ia mendapati nama Arya yang tertera di layar ponselnya.
Segera menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan, Hasta menempelkan ponsel di telinga kanannya. "Ya, Ar?"
"Gimana kencannya? Lancar?"
Mencuri pandang pada wanita yang masih sibuk dengan isi piringnya, Hasta sedikit berdeham. "Lo ... Di mana?" Tanyanya balik, tanpa menjawab pertanyaan yang Arya lontarkan, hingga sahabatnya itu mendengkus.
"Gue lagi mandi kembang."
"Ck! Nggak sekalian pake kemenyan?"
"Enak aja, lo kira gue makhluk tak kasat mata? Gue itu makhluk bumi yang ditakdirkan tampan."
"Terus gimana?" Tak memedulikan ocehan sahabatnya, Hasta memilih mengalihkan pembicaraan.
"Apanya?"
"Lo lupa sama yang lo janjiin sebelumnya?"
Pendengaran Hasta menangkap kekehan Arya di seberang sambungan, membuatnya menahan diri untuk tak mendengkus kesal. "Gue udah kirim seseorang buat gantiin."
"Hah? Maksudnya?"
"Ck! Udah, tungguin aja. Tadi dia bilang otw ke tempat kencan lo."
"Siapa yang lo su—"
Tut ... Tut ... Tut ....
Hasta mengump*t dalam hati, saat teleponnya diputus sepihak oleh Arya. Dasar curut! Dia belum mengerti ucapan pria itu tapi sudah di putus.
Tapi, dari apa yang tadi Arya katakan—meski tidak jelas, Hasta menangkap kalau ... Pria itu menyuruh orang lain untuk membantu. Benar-benar tak mau memunculkan diri karena wajahnya yang masih penuh lebam-lebam, hasil pukul*n darinya. Ringis Hasta dalam hati.
Memasukkan kembali ponsel miliknya ke dalam saku celana. Hasta meletakkan atensi pada wanita di depannya. "Ekhm, saya dengar, kamu berniat untuk melanjutkan kuliah S2?" Baiklah, meski tak mahir berbasa-basi, bermodal informasi yang terus dibicarakan sang Mama padanya. Hasta mulai mencoba membuka obrolan. Karena, tidak mungkin kan, mereka terus-menerus berdiam diri satu sama lain?
Meletakkan sendok dan garpu yang tengah dipegangnya, wanita itu mengangguk pelan, sembari mendongakkan sedikit wajahnya.
"I—iya, tapi ... Mama justru mau aku nikah."
"Jika kamu memang memiliki rencana untuk lanjut kuliah, sebaiknya coba bicarakan lagi sama orangtua kamu. Mungkin mereka bisa mengerti."
Menggigit bibir bawah, wanita itu mencuri pandang pada sosok Hasta yang sebelumnya, membuat ia begitu ogah-ogahan dengan kencan buta yang Mamanya siapkan, kini ... Mulai bisa diterimanya setelah bertemu langsung.
Selain karena sosok pria di depannya memiliki wajah rupawan, sikapnya juga sangat sopan dan begitu pengertian. Meski saat awal, mereka sama-sama lebih sering saling diam.
Meremas kedua tangan yang berada di atas pangkuan. Wanita itu berusaha mengais keberanian untuk menatap Hasta lebih lama. "A—aku ... Sepertinya, tidak masalah menunda, atau mungkin ... Membatalkan niat untuk melanjutkan sekolah hingga ke jenjang S2, dan mengikuti usulan Mama agar ... Menikah. Kalau Mas Hasta sendiri, bagaimana?"
Meneguk ludah kelu, Hasta kembali dibuat kebingungan. Ketika wanita di depannya tiba-tiba berubah pikiran dalam waktu yang begitu cepat. Baru saja bibirnya terbuka dan berniat mengatakan sesuatu, suara keras dari sosok lain sudah lebih dulu menginterupsi.
"Oh, jadi gini kelakukan kamu, Mas?!"
Hasta dan wanita yang bersamanya menoleh bersamaan. Keduanya sama-sama terkejut, mendapati seseorang yang kini berdiri di samping meja yang mereka tempati. "Ngakunya urusan kerja, tapi apa? Ketemuan sama perempuan lain? Kamu beneran mau nikah lagi? Istri lima di rumah masih kurang?!"
Ternganga tak percaya, Hasta gelagapan mendapat tuduhan yang membuat semua orang kini meletakkan atensi padanya.
"Kamu siapa?" Lagi, Hasta yang hendak angkat bicara kembali terinterupsi. Kali ini, dari wanita yang menemaninya makan siang.
Tersenyum miring, wanita itu—Calya, dengan daster dan roll rambut yang bergelantungan di atas kepala, serta koyo di pelipis kanan-kirinya, sembari menggendong Tiana yang hanya mengerjap-ngerjapkan mata, memerhatikan para orang dewasa yang tengah bersitegang. "Saya istrinya Mas Hasta—istri pertama lebih tepatnya. Kamu calon istri keenam dia, hah?"
"A—apa? Istri ke enam?" Menatap Hasta dengan sengit, wanita yang sebelumnya bersikap malu-malu itu kini memerah wajahnya. Menahan amarah dengan mata memelotot murka, bak siap mencabik Hasta yang hanya bisa meneguk ludah kelu. "Apa-apaan ini, Mas?! Katanya kamu single? Kok tau-tau punya istri lima?"
"Namanya buaya, di luar sama pas di kandang beda cerita." Sahut Calya santai sembari menahan Nana yang ingin digendong Hasta.
"Ayah ...." Rengek gadis kecil itu sembari berusaha menggapai Hasta yang masih mematung kaku.
"Dengar?" Tanya Calya dengan senyuman sinis. Dia bersyukur karena keponakan cantiknya memanggil Hasta bukan dengan sebutan Om. Karena sejak dulu, gadis kecil itu memanggil Hasta Ayah, dan Dady untuk Arya.
Bangkit dari tempat duduknya, wanita itu meraih kasar tasnya. Jika saja tak ada anak kecil diantara mereka, dia tak segan memberi tamparan pada pria brengs*k di depannya. "Lupain semua yang aku bilang tadi. Aku nggak sudi kenal pria brengs*k kayak kamu!" Berdecih, wanita itu beranjak pergi dengan kemarahan yang menggebuk dad*.
Mengembuskan napas lega, Calya hanya memberi cengiran saat kedua netranya bersirobok dengan Hasta yang kini sudah menggendong Nana.
Jadi ini, maksud si curut Arya? Tanya Hasta dalam hati. Dia harus kembali menelan malu karena menjadi tontonan orang-orang yang pasti menganggapnya pria brengs*k.
Baiklah, jika sang Mama kembali mengatur kencan lagi untuknya, Hasta akan memesan private room, agar tak lagi menjadi tontonan. Sudah cukup dua kali manahan malu karena drama yang Arya ciptakan. Meski begitu ... Hasta tak bisa memungkiri, dia harus mengucapkan terima kasih pada sahabatnya itu, karena sekali lagi, terselamatkan dari perjodohan yang tak diinginkan.