My Soul Is You - 9

1986 Kata
"Ya ampun, Ar. Harusnya nggak perlu merepotkan diri seperti ini." Tersenyum sumringah, Amel menatap bingkisan pemberian Arya. Terkekeh hambar, Arya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah dengan gerakan tak acuh, "nggak masalah, Tan. Cuma anggur," memalingkan wajah, ia meringis pedih. Iya, cuma anggur. Tapi harganya bikin lutut Arya lemas. Awalnya, dia berniat membelikan melon Jepang seharga dua juta untuk Amel, seperti yang Hasta informasikan padanya. Tapi di tengah jalan, ia mendapat pesan jika ibu dari sahabatnya itu sedang menginginkan anggur seperti foto yang dikirimkan padanya. Dan, saat akan membayar. Arya dibuat ternganga usai mendengar harganya. Seratus empat puluh juta!  Astaga ... Pas nanem ditaburi serbuk berlian apa ya? Keluh Arya tak habis pikir. Tapi, karena sudah terlanjur. Maka ia tetap membeli. Tak apalah, yang penting Tante Amel senang. Semoga saja, dengan anggur yang harganya membuat dompet bolong, wanita paruh baya itu tak mengutuknya karena membantu sang putra menggagalkan acara kencan buta yang dibuatnya. "Ar?" Panggil Amel, membuat lamunan Arya koyak. Mengerjap-ngerjapkan mata, Arya berdeham, sembari menegakkan posisi duduknya. "I—iya Tante, kenapa?" Amel mengela napas panjang, wajah sumringah yang tadi diperlihatkannya berganti resah. "Kamu tau kan, Tante sudah sangat ingin melihat Hasta menikah?" Meneguk ludah kelu, Arya mengangguk kaku.  "Tapi gimana mau menikah, calonnya aja dia nggak punya." Mencondongkan tubuh, Amel menyipitkan mata dengan raut curiga. "Ar, kamu sama Hasta ... Benar-benar hanya sebatas sahabat kan? Nggak ada hubungan yang iya-iya kan di antara kalian?" Arya ternganga, sebelum kemudian tertawa hambar, "astaga Tan, jangan bilang, Tante curiga kami punya hubungan romantis?" Menegakkan tubuh, Amel mengedikkan bahu, sebelum kemudian bersedekap tangan, "tentu saja Tante tak mengharapkan itu. Kalau sampai benar—astaga, Tante karungin kamu, terus kenyutin ke sungai. Biar jauh-jauh dari Hasta." "Dih, kok saya? Bukan si Hasta anak Tante sendiri yang dikenyutin?" "Ya jangan, kasihan anak Tante yang tampan dan baik hati itu." Menyugar rambut, Arya membenahi kerah kemejanya dengan tampang angkuh, "tapi ketampanan anak Tante masih di bawah saya." Mendengkus, Amel memutar bola mata jengah. "Pokoknya ya Ar, jangan mengacau lagi kalau Hasta sedang kencan."  Meringis, Arya menggumamkan permintaan maaf. "Habisnya, hati aku itu kaya cotton candy, terlalu lembut. Hasta yang biasanya bermuka lempeng, tiba-tiba memelas minta tolong. Gimana hati aku nggak lumer, Tan? Susah sih, jadi orang tampan dan berhati berlian kayak aku tuh. Nggak tegaan terus bawaannya." "Pokoknya nggak boleh. Awas aja, kalau masih berani bantu Hasta. Itu kamu," Amel mengedikkan kearah bawah tubuh Arya yang tertutupi meja, "Tante goreng mau?" E—buset! Apa-apaan? Kok ancamannya masa depan? Kalau sudah dapat ultimatum begini, Arya bisa apa? Diem aja deh. Demi ketampanannya yang tiap hari kian mengkhawatirkan dan masa depan yang kini terancam. ***  Menggaruk ujung hidung, Hasta terduduk kaku di samping ranjang perawatan yang kini di tempati wanita asing yang tak sengaja ditabraknya—eh, ralat, wanita itu yang tiba-tiba menabrak mobilnya.  Berdeham untuk meluruhkan rasa canggung, Hasta berusaha menciptakan obrolan, setidaknya, tak berlama-lama terjebak hening yang benar-benar membuat mereka tak nyaman. "Gimana keadaannya? Sudah lebih baik?" Wanita asing yang sebelumnya menatap nyalang langit-langit ruang rawatnya, kemudian mengalihkan pandangan. Membalas tatapan Hasta dan mengangguk pelan. "Ya," jawabnya dengan suara serak, "terima kasih atas bantuannya, Tuan." Meringis, Hasta menggelengkan kepala, "jangan panggil Tuan." Rasanya aneh mendengar seseorang memanggilnya dengan sebutan Tuan. Itu ... Terkesan dia sudah sangat tua, seumuran Papanya yang sering di panggil Tuan oleh para pekerja di rumah mereka. "Namaku Hasta, jadi, cukup panggil saja dengan Hasta. Dan ... Hm, kalau boleh tau, siapa nama Anda?" Tersenyum kecil, wanita itu menjawab, "namaku Rena, dan ... Biasakah jangan pakai kata 'Anda?' itu terdengar sangat kaku." "Baiklah, Rena, itu nama kamu?" "Ya, dan kata ganti 'kamu' terdengar lebih nyaman."  Hasta mengangguk sembari tersenyum. Sepertinya, wanita asing—ah, ralat, maksudnya, Rena. Adalah sosok yang bisa mencairkan suasana. Meski pada awalnya, tampak kaku sepertinya. "Hm ... Ren, boleh aku tanya sesuatu?" Sejujurnya, ada hal yang ingin Hasta tanyakan usai wanita itu akhirnya sadar. Tapi dia mencoba mengulur waktu, memastikan Rena sudah baik-baik saja dan tampak tenang.  Tidak mungkin Hasta memberondongnya dengan banyak pertanyaan, di saat wanita itu baru saja sadar, kan? "Tentu, kamu boleh tanya apa pun. Tapi sebelumnya, aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku beruntung di tabrak sama kamu." Jika saja tak bisa menjaga ekspresi wajahnya, Hasta yakin, dia pasti sudah ternganga lebar. Mendengar pengakuan aneh yang Rena utarakan.  Baru kali ini, Hasta mendapati seseorang yang merasa beruntung karena sudah ditabrak. Mungkin, karena melihat raut terkejut bercampur kebingungan di wajah Hasta. Membuat Rena mengulum senyum geli, sebelum kemudian kembali angkat bicara untuk menjelaskan. "Aku merasa beruntung di tabrak sama kamu, bukan karena yang nabrak orang tampan." Berdeham untuk mengalihkan rasa salah tingkah, Hasta menggaruk belakang lehernya yang sejujurnya, sama sekali tak gatal. Setidaknya, Hasta lakukan itu untuk peralihan dari perasaannya yang tiba-tiba malu. Dengan ucapan Rena yang menurutnya cukup frontal. Astaga ... Rena ternyata sosok yang penuh kejutan. Bukan tipe pendiam dan pemalu seperti dugaan Hasta pada awalnya. Karena setelah sadar dan mendapat pemeriksaan dari Dokter. Gadis itu lebih banyak diam, dengan tatapan yang seolah menyiratkan kesedihan. Membuat Hasta hanya diam di sampingnya. Menunggu saat yang tepat untuk mengajak bicara. Siapa sangka, baru beberapa menit memulai obrolan, Hasta dibuat tercengang. "Maaf ya," ringis Rena yang melihat wajah Hasta sedikit memerah. Dan ia yakin, itu bukan efek panas dari ruangan yang di tempati sekarang. "Maksud aku dengan kata beruntung karena ditabrak kamu, karena kamu sangat bertanggung jawab Has. Terlebih, sudah jelas-jelas, aku yang ceroboh sampai menabrak mobil kamu. Bukan sebaliknya. Mungkin, kalau saat itu, pemilik mobil sosok yang tak peduli dan malas berurusan dengan orang asing, apalagi jelas-jelas bukan salahnya hingga tertabrak. Bisa saja dia pergi meninggalkan aku yang terletak di jalanan. Tapi kamu nggak, bersedia di repotkan oleh orang asing sepertiku." Hasta tersenyum simpul usai mendengar penjelasan Rena. "Nggak mungkin aku tinggalin kamu yang pingsan di tengah jalan. Bisa-bisa, aku digerogoti rasa bersalah seumur hidup." Mengangguk, Rena menatap penuh rasa terima kasih, "makanya tadi aku bilang beruntung, yang nabrak itu kamu." Sejenak, keduanya tiba-tiba kembali terjebak senyap saat tak ada lagi yang bersuara. Sebelum akhirnya Hasta melempar tanya selanjutnya. "Tapi Ren, kalau boleh tau, apa yang bikin kamu lari ketakutan? Sampai-sampai tidak memerhatikan jalan dan tak sadar ada mobil yang melintas?" Tersenyum muram, Rena mengela napas panjang, kembali menatap langit-langit ruangan kamar rawatnya dengan tatapan menerawang. "Aku kabur," ucapnya pelan, tapi masih tertangkap pendengaran Hasta yang segera menegakkan posisi duduknya.  "Kabur?" Beo Hasta dengan raut penasaran. "kabur dari siapa?" Mengerutkan kening, pria itu mencoba mencari tau lebih dalam, saat dirasa, jika Rena tengah dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan. Kembali menolehkan kepala kearah Hasta, Rena mengusap sudut matanya yang berair dengan tangan yang tak terpasang infus. "Majikan—oh, mungkin, bisa dibilang, mantan majikanku, Has." Mulainya yang memberanikan diri untuk bercerita.  Rena tampak ragu, apalagi, Hasta masih terbilang sebagai sosok asing. Mereka belum ada satu hari saling mengenal, dan baru beberapa menit yang lalu saling mengetahui nama masing-masing. Apa tidak aneh, jika Rena menceritakan kisah hidupnya yang kelam? Hanya saja ... Meski baru mengenal Hasta, itu pun melalui insiden yang membuatnya harus berakhir di rumah sakit. Rena menaruh percaya pada Hasta. Terlalu dini memang. Tapi ... Dia butuh menceritakan semua beban yang mengendap hingga terasa menyesakkan. Seolah bisa memahami sorot ragu yang berpendar di kedua netra coklat milik Rena. Hasta mengulas senyum tipis, "tidak apa jika sulit untuk diceritakan. Jangan memaksakan diri. Yang penting sekarang, kamu fokus untuk kesembuhan kamu. Dokter bilang, hanya ada beberapa luka luar yang tak tergolong serius. Tapi, untuk tau lebih lanjut, dilakukan pemeriksaan agar lebih jelas, apa benar-benar tak ada luka dalam. Makanya, kamu harus menginap semalam di sini, tidak apa kan?" Rena menggeleng, "tidak, tapi ...," Menggigit bibir resah, wanita itu tampak ragu, sebelum akhirnya memutuskan mengucap apa yang bercokol di kepalanya, usai memerhatikan ruang rawatnya lebih detail. "Kenapa di tempatkan di ruangan bagus seperti ini, Has? Pasti mahal kan? Aku ... Tidak ada uang, bahkan lima ratus perak pun tak ada di kantong." "Astaga, jangan pikirkan soal itu, Ren. Semua biaya, aku yang tanggung. Mana mungkin membebankannya sama kamu? Jelas-jelas kamu celaka karena tertabrak mobilku." "Tapi kalau kamu lupa, aku ingatkan, yang nabrak aku, bukan kamu. Jadi aku rasa, sudah seharusnya aku menanggung biayanya sendiri. Tidak ditinggal tergeletak di jalan saja aku sudah bersyukur." "Hei, sudah, jangan lagi bahas soal biaya. Yang terpenting sekarang, adalah kamu fokus untuk sembuh." Tersenyum, Rena mengangkat lengannya yang terdapat luka gores, "luka-luka seperti ini bukan masalah Has. Beberapa hari juga sudah sembuh sendiri. Aku ... Pernah mendapat yang jauh lebih buruk." Kekehnya muram. Hasta yang sebelumnya tak ingin tau, kembali digelayuti rasa penasaran, saat Rena berbicara dengan nada menyakitkan seperti itu. Beruntung, kali ini wanita itu tak tampak mencoba memendam sendiri, cerita menyakitkan yang sebelumnya urung diutarakan. "Aku kerja sebagai asisten rumah tangga," mulai Rena, meski Hasta tak memintanya bercerita. Tapi dia rasa, pria itu perlu tau. "Majikan perempuanku sangat pencemburu, sementara yang pria, kadang suka bersikap genit." Mengela napas panjang, seolah mengais secuil ketenangan agar menguatkannya, Rena meremas pelan selimut yang menutupi tubuh. "Jika majikan pria tengah menggodaku dan diketahui majikan perempuan, maka aku yang disalahkan. Tak jarang, selain caci maki yang aku dapat, Nyonya tak segan memberi hukuman fisik. Dan hal itu menjadi hiburan tersendiri untuk majikan pria." Hasta terdiam, mendengarkan dengan seksama cerita pilu yang tengah Rena bagi padanya.  "Sebenarnya, aku sudah tidak tahan dan ingin resign. Tapi tidak bisa karena terikat kontrak. Kalau sampai keluar sebelum masa kontrak habis, aku harus membayar denda yang jumlahnya tak sedikit. Meminta tolong pada agen yang menyalurkan aku ke sana pun tak bisa. Mereka seolah lepas tangan." Hasta hanya mendengarkan cerita Rena, tapi entah kenapa, dia merasa gatal ingin mendatangi mantan majikan wanita itu dan memberi mereka pelajaran yang setimpal. "Puncaknya, saat ini, ketika majikan priaku kembali bersikap kurang ajar. Melihat ada kesempatan, akhirnya aku kabur. Tapi dia meminta pekerja pria di rumahnya untuk mengejarku. Panik, aku tidak memedulikan dan memerhatikan apa pun, karena sibuk memikirkan cara agar bisa lolos dari kejaran mereka. Dan, seperti yang kamu tau kisah akhirnya." Terkekeh parau, Rena menatap Hasta yang masih setia dengan bungkam. "Aku nabrak mobil kamu dan berakhir di rumah sakit ini. Maaf, dan terima kasih, Has." Hasta mengangguk, membalas senyuman Rena meski tampak samar. "Kalau tidak ingat keluarga di kampung. Mungkin aku sudah kabur sejak pertama kali mendapat ketidak adilan dari mereka. Sayangnya, nanti Ibu dan adik-adikku mau makan apa? Ayah sudah tidak ada, dan sebagai anak tertua, aku menggantikan tugasnya sebagai tulang punggung keluarga." Hasta kagum, Rena mampu bertahan dengan semua kesulitan yang menghimpitnya. Bertahan di kota besar seorang diri, demi keluarganya yang menaruh harap sepenuhnya padanya. "Lalu, setelah ini bagaimana?" Akhirnya, setelah cukup lama memilih diam, Hasta kembali angkat bicara.  Menggeleng pelan, Rena tersenyum muram. "Aku belum tau. Mungkin, mau cari pekerjaan lagi. Meski tau, itu bukan sesuatu yang mudah di kota besar. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin cuma diam meratapi nasib kan? Perut butuh di isi dengan makanan, begitu juga dengan keluargaku yang berada jauh di sana." Sebuah ide kemudian menyusup ke dalam kepala, membuat Hasta menatap Rena yang masih berekspresi muram. "Bagaimana ... Kalau kamu kerja di tempatku?" Mengerjap, Rena menatap Hasta ragu-ragu. "Kerja ... Di tempat kamu?" Mengangguk, Hasta memberi penjelasan agar Rena tak merasa ragu. Hal yang wajar sejujurnya. Wanita itu pasti lebih berhati-hati lagi. Terlebih, meski tadi meyakininya sebagai orang baik, tapi mereka tetap saja baru saling mengenal. "Aku punya kafe. Jika kamu bersedia, bisa kerja di sana. Setidaknya untuk sementara. Nanti, kalau di rasa menemukan pekerjaan yang lebih baik dan menjanjikan, kamu boleh resign." Tersenyum haru, Rena mengangguk penuh semangat. Meraih salah satu tangan Hasta dan meremasnya pelan, tapi tetap membuat pria itu terkejut. "Terima kasih, Has. Aku benar-benar tidak salah, kamu memang sosok yang baik. Aku beruntung ditabrak kamu." Ucapan Rena seharusnya membuat Hasta terenyuh dan ikut terharu. Tapi pria itu justru tertawa, merasa geli mendengar Rena yang lagi-lagi merasa beruntung karena ditabrak olehnya. Astaga ... Bagaimana bisa tertabrak dan berakhir di rumah sakit menjadi sebuah keberuntungan untuk wanita itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN