Prolog

1706 Kata
Menyugar rambut, Hasta mengusap wajahnya yang sudah tampak kuyu. Dia benar-benar lelah dan ingin segera melemparkan diri ke atas tempat tidur. Sayangnya, pria itu masih terjebak dengan sang Mama yang tengah semangat menyodorkan beberapa foto wanita dari anak-anak teman arisannya. "Nah, kalau yang ini Dokter, Has. Cantik, baik, pintar, sopan banget lagi. Ngomongnya kalem, pokoknya keibuan. Cocoklah buat kamu yang nggak suka perempuan petakilan dan aneh-aneh." Tersenyum kecil, Hasta mengangguk kaku. "Ma?" "Hm?" Amel masih melihat-lihat deretan foto beberapa perempuan cantik yang merupakan anak dari teman-temannya. Ia begitu antusias menjelaskan satu persatu biodata dari mereka pada putra semata wayangnya. "Jadi gimana? Kamu klik sama yang mana?" Menggaruk belakang kepalanya, Hasta berdeham, "belum tau." "Loh, kok, belum tau?" Mengalihkan pandangan dari foto-foto yang berjajar di atas meja. Amel mencebik sebal. "Has, jangan mulai deh. Pokonya kali ini nggak ada alasan kamu belum ada pikiran buat menjalin hubungan sama seseorang. Mama itu udah pengen gendong cucu, Has ...." "Kan udah ada Tiana, Ma—aduh! Kok kepalaku dikeplak, Ma?" "Ya makanya jangan bikin kesel. Kamu mau Mama nyulik 'Tiana' terus? Nggak enak sama Bastian dan Wening. Kan lebih bagus kalau punya cucu dari anak Mama sendiri." Mengacak rambut, Hasta mengela napas. Dia benar-benar sudah kehabisan tenaga untuk berkonfrontasi dengan sang Mama. Seharian sudah disibukkan dengan urusan kafe. Lalu, di saat ingin mengistirahatkan diri, sang Mama memberi titah agar makan malam di rumah. Hasta tentu tau ada rencana terselubung yang tengah sang Mama susun. Dan benar saja, usai makan malam, ia tak dibolehkan pulang.  Diseret ke ruang santai, Amel merekahkan senyum lebar dengan sebuah amplop coklat yang berada ditangan. Hasta benar-benar tak menyangka jika isi amplop itu adalah foto-foto perempuan asing yang tak ia kenal sama sekali. Nyaris setengah jam sang Mama berceloteh tanpa lelah mengenai profil para perempuan yang berada di foto tersebut. "Ma ... Hasta pasti bakal nikah kok." "Kapan?" "Ya, nanti, kan calonnya juga belum ada." "Nah!" Menjentikkan jari di depan wajah sang putra, Amel kembali menggebu-gebu. "Itu, itu masalahnya! Ca—lon! Gimana punya calon kalau tiap hari kamu sibuk sama panci, wajan, spatula dan saudara-saudaranya yang ada di dapur. Kalau nggak kencan sama peralatan masak, pasti lembur sama tumpukkan laporan tentang kafe kamu. Gimana punya waktu buat cari calon coba?" "Ma—" "Mama nggak mau tau! Pokoknya, kamu harus coba kencan sama mereka. Ayolah Sayang, coba dulu penjajakan. Siapa tau ada yang cocok kan?" Jika sang Mama sudah bertitah, Hasta bisa apa? "Tapi, kalau aku punya calon sendiri, Mama jangan minta aku buat kencan buta kayak gini lagi ya?" "Ya nggaklah Has, kalau kamu udah punya calon. Mama suruh daftar ke KUA langsung." Menggaruk kening, Hasta hanya bisa meringis dengan ucapan Amel yang begitu menggebu-gebu. *** Seharusnya, pulang dari rumah sang Mama, Hasta segera kembali ke kafe yang juga menjadi tempat tinggalnya selama ini. Meski Amel memintanya bermalam di rumah, tapi Hasta tetap izin pulang ke kafenya. Beralasan, jika ada banyak pekerjaan yang belum diselesaikan. Meski mengantar dengan wajah cemberut, Amel akhirnya membiarkan putra semata wayangnya itu pergi. Dengan kedua tangan yang tersembunyi di saku celana. Hasta menyusuri lorong apartemen yang tampak sepi. Mungkin karena waktu pun sudah mulai larut. Sesampainya di unit apartemen yang dituju, keningnya mengernyit, saat mendapati sosok lain yang tengah berdiri di depan pintu unit apartemen yang tengah Hasta tuju. "Bas?" Sosok itu menoleh saat Hasta memanggil namanya. "Oy, Has! Ngapain lo di sini?" "Lo sendiri?" Bukannya menjawab pertanyaan Bastian, Hasta justru melempar balik pertanyaan. Dia memang penasaran, kenapa sahabatnya yang tampak masih mengenakan jas lengkap, meski dasi tak lagi terpasang. Tengah berada di sini, alih-alih pulang dengan istri dan putri cantik yang pasti sedang menunggu. "Nih, kasih titipan si curut. Nggak ada akhlak emang dia. Gue mau balik malah nitip seblak. Kalau aja kemarin nggak berjasa beliin mainan yang lagi dipengen banget sama Tata, ogah banget gue!" Terkekeh, Hasta menepuk-nepuk pundak sahabatnya. "Arya emang paling bisa manfaatin keadaan." "Emang dasar! Eh, gue nitip aja deh sama lo." Bastian baru saja berniat menyodorkan kantung plastik berisi seblak pesanan Arya pada Hasta, agar dia bisa pulang secepatnya. Karena sudah merindukan dua wanita beda generasi yang paling dicintainya. Tapi sahabatnya itu justru merangkul bahunya dan mengajak masuk. "Mampir dulu aja, Bas. Jarang-jarang kan, kita bisa kumpul bertiga kayak gini." Tak mendengar persetujuan Bastin lebih dulu, Hasta sudah membukakan pintu apartemen Arya dan mengajak masuk bersama. Mereka memang tau password apartemen Arya karena sudah biasa bertandang ke sana. Meski akhir-akhir ini sudah sangat jarang karena kesibukan masing-masing. "Kemana si curut? Nggak mungkin udah molor kan itu anak?" Mengedarkan pandangan, Bastian mengernyit melihat keadaan apartemen Arya yang tampak sepi. Melemparkan diri ke atas sofa panjang di ruang santai apartemen Arya. Bastian melepas jas yang dikenakannya dan diletakan pada punggung sofa. Sementara Hasta berlalu menuju dapur, mengambil dua kaleng minuman bersoda untuknya dan Bastian. Bersikap layaknya rumah sendiri. Kembali ke ruang tengah, Hasta meletakkan dua kaleng minuman ke atas meja, sebelum kemudian ikut mendudukkan diri di samping Bastian. "Di kamar kali, nggak mungkin jam segini udah molor itu anak. Dia kan kalong." Pintu kamar tiba-tiba terbuka, di iringi senandung lagu yang Arya nyanyikan dengan suara fals. Dengan boxer bermotif polkadot warna kuning, Arya berjalan santai keluar dari kamarnya. Tangannya sibuk menggosok-gosok rambut yang masih setengah basah dengan handuk.  "Astaga!" Berjengit karena terkejut, Arya mengelus d*danya saat merasakan degup jantungnya yang berdetak kencang. Mendapati dua sosok yang tiba-tiba sudah menempati sofanya. "Heh! Kutil naga! Ngapain lo berdua di sini?" "Amnesia lo? Perlu gue lempar pakai seblak biar ingat?" Menggaruk-garuk ketiak, Arya cengengesan. "Ih ... Bastian ambekan deh." "Lo ngapain sih, keluyuran cuma pakai kolor?" "Ya ampun Bas, di dalam apartemen sendiri ini, nggak bakal ada yang lihat. Jadi kesucian tubuh gue masih terjaga dari jamahan mata-mata lapar penuh kekaguman. Lo berdua pengecualian, gue kasih kehormatan lihat tubuh gue yang ... Uh! Uh! Ini." "Yang ada mata kita ternoda." Celetuk Hasta dengan wajah datar. Tapi berhasil memantik gelak tawa Bastian. "Eh, eh, ini Mas Hasta mulai nakal ya lidahnya. Udah bisa cela-cela orang." "Pakai baju sana! Masuk angin ngerengek minta dikerok." "Tau, mending pas ngerok dapat tulisan berhadiah."  "Heh, Bas! Lo pikir punggung gue minuman kemasan?" Merengut sebal, Arya mengentak-entakan kaki, sebelum kemudian berlalu pergi menuju kamarnya. "Jangan ngintip ya, lo berdua." "Dih, amit-amit. Mending ngintip kucing pacaran daripada ngintip lo ganti baju. Lebih seru." Melengos sebal, Arya menggerutu sembari memasuki kamar. Tak berapa lama, pria itu kembali dengan kaus putih polos dan bawahan berupa celana piyama berwarna hitam. Alih-alih duduk di tempat lain yang masih kosong, dia memilih menyempilkan diri di tengah-tengah Bastian dan Hasta yang melontarkan protes.  "Lo ngapain sih nyempil kayak upil?" Kesal Bastian yang merasa terdesak hingga menggeser posisinya sampai di ujung. "P*ntat lo offside, Ar. Nggak sadar apa makan tempat? Pindah sono!" Kali ini Hasta yang melayangkan protes. Sayangnya, Arya memilih menulikan pendengaran dan tetap bersikeras duduk di tengah. Pria itu justru sibuk membuka wadah seblak yang Bastian bawa. Berdecak, Hasta akhirnya memilih mengalah. Bangkit dari duduknya, ia berpindah ke sofa tunggal yang berada di seberang. "Ih ... Ini kuahnya ketinggalan di mana, Bas? Kok seblaknya gersang gini sih?" "Ya, tinggal lo guyur lagi pakai air sampai luber sana." "Ck! Mana enak? Yang ada hambar nanti rasanya. Ini pasti karena kelamaan deh, jadi menyerap semua kuahnya." "Ah, elah, ribet lo Ar. Kalau hambar lo tambah garam." "Ish! Itu nanti merus*k citarasa racikan yang udah dibuat penjualnya." "Heh! Lo lupa ada sohib kita yang jago masak? Noh, tinggal minta saran si Hasta." Menjentikkan jari penuh semangat, Arya memberi cipokan basah di salah satu pipi Bastian, hingga pria itu menjerit-jerit kesal. "Njir, pipi gue terkontaminasi jigong lo, Ar! Si*lan, mesti beli kembang tujuh rupa buat basuh ini mah." Keluh Bastian, sembari menggosok-gosok pipinya dengan punggung tangan. "Eh, sembarangan ya kalau ngomong. Minta dikecup ubun-ubunnya, Bas?" Mengela napas, Hasta menggelengkan kepala melihat perdebatan Arya dengan Bastian.  Mengalihkan atensi pada Hasta, Arya mengedip-ngedip centil, "ganteng ... Tolongin dong, ini gimana biar seblaknya becek-becek manja? Kalau nggak ada kuah nanti seret makannya." "Ribet lo, tinggal makan doang!" Celetuk Bastian yang membuat Arya melempar pelototan. Tak ingin memperpanjang masalah, Hasta memilih mengalah. Mengambil alih seblak yang sejak tadi diributkan Arya. "Tuh, lihat, begitu jadi laki baik. Nggak kayak lo, dari dulu minim akhlak." Menoyor kening Arya dengan telunjuknya, Bastian mengabaikan sahabatnya yang misuh-misuh. "Lo yang nggak ada akhlak, udah dibeliin malah ngelunjak." Setelah berkutat beberapa lama di dapur, Hasta kembali dengan mangkuk berisi seblak yang tak lagi gersang seperti keluhan Arya sejak tadi. Sahabatnya itu mengucap terima kasih dengan senyuman lebar hingga memperlihatkan deretan giginya saat menerima mangkuk darinya.  "Eh, aduh! Panas!" "Sabar makanya, nggak liat apa, itu uapnya masih tebel gitu." "Nggak sabar gue. Tampilannya makin menggiurkan abis diracik Hasta." Selagi Arya sibuk dengan seblaknya. Hasta dan Bastian terlibat perbincangan ringan.  "Muka lo suntuk banget Has?" Celetuk Bastian tiba-tiba. Saat lebih memerhatikan wajah kuyu sahabatnya. Terlebih, fokus pria itu seolah tengah terbagi. Menyugar rambut, Hasta mengedikkan bahu sembari meringis kecil. "Biasa, nyokap neror gue." "Ditodong kawin lagi lo?" Tanya Arya ikut menimpali.  "Nikah, oy!" Ralat Bastian, membuat Arya cengengesan. "Ar?" "Ape? Kan udah tadi dua rebu." "Astaga ... Lawakan tahun kapan itu?" "Ya lagian, apa sih Mas Hasta?" "Cariin gue cewek." "Uhuk! Uhuk! Uhuk! Njir, tenggorokan gue perih keselek seblak." "Lah, dia aja jones Has, lo ngapain minta tolong sama Arya?" "Eh, bapak-bapak nggak usah ikutan ya, ini pembicaraan para lajang tampan." "Ye! Parutan kelapa! Jangan bawa-bawa status gue yang udah laku ya!" "Maksud lo kita berdua," tunjuknya pada diri sendiri dan Hasta bergantian, "nggak laku?" "Hasta mah pasti laku. Nasib lo yang masih abu-abu." Mendengkus sebal, Arya kemudian meletakkan atensi pada Hasta yang tampak menggalau. "Tenang Has, lo kan tau, gue selain tampan, menawan dan selalu jadi antrian para wanita. Baiknya juga ampun-ampunan. Jadi gue bakal bantu lo dapat cewek yang bisa lo ajak ke pelaminan." Ucapnya dengan bangga. Melihat gelagat Bastian yang pasti ingin mengoloknya, dengan sigap, Arya menjejalkan satu sendok penuh seblak ke mulut sahabatnya itu. Hasta sendiri hanya bisa pasrah. Sejujurnya, ia ragu meminta tolong pada Arya. Bukannya tak percaya pada sahabatnya sendiri. Tapi ... Dia hanya khawatir, pria yang kelakuannya agak ajaib itu, mengenalkannya pada wanita yang agak ajaib juga. Tapi ... Mau bagaimana lagi? Hasta sudah harus cepat bertindak, sebelum sang Mama kembali menerornya dengan kencan buta yang tak diinginkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN