Kedua tangannya menampung kucuran air yang mengalir dari keran. Ketika akhirnya penuh, Calya basuhkan pada wajah. Hal yang sama ia lakukan beberapa kali. Berharap, segarnya air bisa memadamkan gebukan rasa kesal dan mengembalikan kewarasan agar bisa berpikir jernih. Dengan napas tersengal-sengal, padahal seingatnya, Calya sama sekali tak sedang berlari memutari lapangan. Tapi napasnya seketika memburu, hanya dengan mengingat, jika pria yang dia cinta, pergi begitu saja. Mengabaikannya, hingga terlihat menyedihkan, usai mendapat telepon dari wanita yang bahkan baru dikenalnya. Terkekeh miris, Calya mencengkram pinggiran wastafel. Lalu mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk. Hingga tatapannya bersirobok dengan bayangan dirinya dalam pantulan cermin. Wajahnya basah, dengan sorot mata y