Evan langsung memandang Ivy saat mendengar suara gadis itu mengibai.
"Yang, aku bisa jelaskan! Niatku hanya ingin membalaskan sakit hati sahabatku. Hanya itu saja."
Evan mendengkus sebal. Oh, yang benar saja. Membalaskan sakit hati katanya? Apa ia tak salah dengar? Bukan Liana yang seharusnya sakit hati, tapi dia. Jika Liana mau mengabulkan keinginannya, ia tentu tak akan memutuskan gadis itu. Bahkan mungkin, sekarang ia sudah menikahi Liana.
"Aku kecewa padamu, Vy! Sangat kecewa!"
Reyhan memandang Ivy tajam lalu beranjak berdiri, melangkah cepat meninggalkan Ivy dan Evan. Reyhan sama sekali tak mempedulikan teriakan sang kekasih yang terus menyeru namanya.
"Apa aku harus berkata pada cowok malang itu agar meninggalkanmu? Yaa tentu saja dia harus meninggalkanmu karena kita telah menikah. Bukan begitu, Sayangku?" Evan berkata penuh ejekan.
Evan menyeringai puas melihat wajah gadis di hadapannya begitu pucat dan basah oleh keringat. Diambilnya tisu lalu diulurkannya kepada gadis yang tampak sedih itu dengan maksud untuk mengejeknya.
Ivy langsung menerimanya, membuat Evan menatapnya tak percaya.
"Jangan lakukan itu, kumohon," desis Ivy penuh permohonan. Ia mengusap wajahnya lalu memandang Evan sungguh-sungguh.
"Kamu sudah tau alasanku yang sebenarnya. Jadi ...." Ivy menatap Evan ragu. Namun akhirnya, memilih melanjutkan ucapannya.
"Bisakah kamu memaafkanku?" Ivy menatap Evan sungguh-sungguh.
Evan tersenyum penuh kemenangan. Saking senangnya melihat Ivy begitu terpukul, ia sampai melupakan tujuannya untuk menyeret Ivy ke hadapan Tari lalu membawanya ke penjara.
Tanpa mengatakan apa pun, Evan menggeser kursi ke belakang lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Senang sekali rasanya bisa memberi gadis sial itu pelajaran.
Sambil berjalan menuju kendaraannya diparkir, Evan membayangkan wajah gadis itu yang terlihat sangat tersiksa. Memaafkannya? Yang benar saja. Tidak ada maaf untuk orang yang dengan sengaja mempermalukannya. Apa kata teman-temannya nanti saat bertemu dengannya di tempat kerja? Dan pasti, semua undangan telah berpikir macam-macam tentangnya.
Evan tersenyum, entah mengapa membayangkan wajah Ivy yang pucat membuatnya sangat senang. Terlihat jelas gadis itu takut kehilangan Reyhan. Apa Ivy sangat mencintai Reyhan? Kalau ia, maka ia akan membuat keduanya berpisah. Bukankah kejahatan harus dibalas pula dengan kejahatan? Ivy telah mengacau di hari pernikahannya, maka ia akan membuatnya menyesal dengan mengacau dalam hubungannya mereka.
Evan merogoh saku lalu mengeluarkan HP. Kemudian menekan nomer Lestari.
Aktif. Tapi tidak diangkat. Evan kembali menekan nomer kekasihnya. Pandangannya terus tertuju ke layar HP yang menampilkan fotonya dan Tari yang sedang tersenyum lebar.
Evan terus menekan nomer itu walau tak juga diangkat. Wajahnya yang tadi penuh dendam dan amarah, kini terlihat begitu sedih.
"Tari, angkat. Kumohon segera angkat," gumamnya parau. Lagi, tangannya kembali menekan nomer Tari. Tatapannya berpijak pada fotonya dan gadis itu di layar HP-nya yang terang.
Tidak juga diangkat. Evan mendesah frustrasi. Ia segera menaiki motornya lalu melajukannya dengan cepat tak peduli beberapa pengendara yang dilaluinya mengumpat sebal. Saat sedang marah, mengemudi ugal-ugalan seperti ini adalah pelampiasan terbaik. Ia sangat menyukainya.
***
Tiba di halaman rumahnya yang luas, Evan berhenti karena HP di saku celananya berbunyi. Ia sangat berharap Lestari yang menghubunginya. Maka tangannya segera merogoh saku lalu neraih benda berisik itu, menempelkan ke telinga.
"Cepat pulang, Kak. Nenek marah-marah."
Evan mendesah kecewa saat mendengar suara sang adik. Tari, apa kamu begitu marah?
Evan mematikan HP lalu melangkah cepat menuju rumah. Tiba di dalam, ia melihat sang nenek sedang cemberut di sofa. Disamping nenek, sang adik tengah mengusap-usap bahunya. Tangan keriput wanita itu terus saja menepis tangan Andini.
"Aku datang," ucap Evan sambil melangkah mendekat, kemudian duduk di sofa berhadapan dengan nenek. Wanita itu langsung mengangkat wajah.
"Beraninya kamu ...."
"Aku tak ada maksud menyakiti gadis kesayangan nenek. Nenek, kan, tahu aku sangat mencintainya." Evan segera menjelaskan.
"Lalu apa yang kamu lakukan padanya? Apakah menghamili gadis lain adalah bukti sayangmu pada wanita yang kamu cintai?!" hardiknya, ia berdiri lalu memajukan tangannya ke wajah Evan seakan hendak menampar. Tapi tiba-tiba, tangan itu berhenti di udara dan bergetar. Air mata sang nenek merembes turun. Wajahnya terlihat sangat sedih.
Sejak Evan mengenalkannya dengan Tari, ia langsung menyayangi gadis itu. Berbeda dengan anaknya yang tak mau merestui Evan menikahi Tari, ia justru sangat mendukung. Mungkin karena ia sangat menyayangi Evan. Jadi apa pun pilihan Evan, ia akan selalu mendukung.
"Nek." Evan meraih tangan nenek. Tapi langsung disentak.
"mencintainya tapi malah menikahi gadis yang kamu hamili! Apa otakmu sedang tak terganggu?! "Sang nenek kembali duduk dan terisak pelan. Di sampingnya, Dini menepuk bahu nenek, mencoba menenangkan.
Evan menarik napas dalam. Ia sungguh menyesali pernikahan itu. Mungkin memang tak seharusnya ia menikahi gadis itu. Mungkin, lebih baik dicap tak bertanggungjawab. Tetapi semua sudah terjadi. Mau bagaimana lagi?
"Itu karena ... semua sudah terjadi, Nek. pesta pernikahan begitu mewah, sudah banyak uang yang dikeluarkan juga para kolega ayah sudah jauh-jauh datang dari luar negeri. Aku pasti dicap pengecut jika hanya diam saja," jelas Evan dengan wajah sedih. Ia mencoba menjelaskan seolah dirinya telah bertindak benar, padahal sebenarnya menyesali keputusannya. Bodoh. Aku memang bodoh.
"Jangan kamu pikir nenekmu ini akan percaya! Sekali kamu berbuat hina, maka bertanggung jawab lah. Mulai sekarang, pergi dari sini! Pergi!!"
"Nek ....." Evan menatap nenek dengan wajah terkejut. Wajahnya terlihat tak percaya. Begitu pula dengan sang adik.
"Nek, tolong maafkan kakak. Nenek mau tinggal dengan siapa kalau kakak diusir? Aku harus segera kembali ke Jakar--"
Dini langsung terdiam saat mendapat pandangan memperingatkan dari nenek. Gadis itu menghela napas panjang. Lalu kembali berkata,
"Nek, jangan hanya karena Kak Tari, nenek jadi kejam pada kakak," pinta dini mengibai. Wajahnya terlihat begitu memelas. Kalau kak Evan diusir, bisa-bisa ia yang harus tinggal dengan nenek. Tak mau.
Dini menggeleng. Ia lebih senang tinggal jauh dari nenek dan membuktikan pada ayah bahwa ia bisa hidup tanpa uang darinya.
"Tari sangat penting bagiku! Aku sudah terlanjur menyayanginya." Tandas sang nenek jengkel.
"Walaupun begitu, kakak dan aku adalah cucumu, Nek. Sementara Kak Tari bukan siapa-siapa Nenek."
"Pergi!" Tangan nenek menuding ke arah pintu yang terbuka lebar.
Evan menatap nenek dengan wajah sedih. Disentuhnya tangan neneknya dengan lembut.
"Aku janji akan menikah dengan Tari, Nek. Aku sangat menyayangi Tari. Beri aku waktu, Nek. "Wajah Evan terlihat memelas.
"Pergi! " Nenek menjulurkan tangan ke arah pintu, tetap bersikeras dengan pendiriannya.
Wajah Evan terlihat frustrasi. Selalu menjadi kebiasaan neneknya, langsung mengusirnya dari rumah saat ia berbuat salah. Dulu, ia tak mempermasalahkan karena murni kesalahannya. Nenek tak suka mendapat laporan tentangnya yang suka tidur di hotel bersama gadis-gadis. Namun kini ... ia merasa tak bersalah.
Evan menatap wajah nenek yang tampak begitu terpukul lantas berdiri, pelan meninggalkan ruang tamu besar itu. Sebenarnya, bisa saja ia menjelaskan runtutan masalah dengan detail. Tapi dalam keadaan kesal seperti ini, ia tahu neneknya tak akan berpikir dengan kepala dingin. Mungkin akan berbeda jika ia tak menikahi gadis berhati jahat itu.
Ya Tuhan ... Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Ia masuk ke mobilnya lalu menghubungi nomor Reyhan. Tidak aktif. Ia mencengkeram kemudi. Wajahnya terlihat jengkel. Pada siapa ia minta alamat gadis terkutuk itu jika bukan pada Reyhan?
Evan duduk di belakang kemudi, telunjuknya mengetuk-ngetuk kepala. Ia tersenyum senang saat teringat pertemuannya terakhir dengan gadis itu. Barangkali, ia masih di situ. Maka segera dikemudikannya mobil menuju kota Metro di mana ia bertemu dengan Reyhan dan gadis yang sangat dibencinya.