Amelia akhirnya tidak dapat melanjutkan tidurnya. Perbuatan Leonardi barusan membuat Amelia merasa bingung setengah mati. Pria itu sungguh dapat menjungkirbalikkan perasaannya.
Apalagi Leonardi menciumnya dengan penuh rasa kepemilikan. Punggung tangannya yang basah menyadarkan Amelia kalau dia menangis. Dengan kasar dia mengusap matanya menggunakan punggung tangan.
Amelia menghapus air matanya dan berusaha untuk menenangkan diri. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk ke dapur dan membuat segelas s**u agar perasaan membaik.
Sementara itu di dalam kamarnya, Leonardi duduk di tepi ranjangnya dengan sebotol wine di tangan. Pikirannya dipenuhi oleh bayangannya yang mencium Amelia barusan.
Tak dia sangka hanya melihat Amelia berduaan dengan Raka membuatnya bertindak impulsif. Lagipula setelah Leonardi pikir, ini bukan murni kesalahannya saja. Dia sudah pernah memberi 'pelajaran' kepada Raka, tapi pria k*****t itu seakan tak jera dan nekat untuk mendekati Amelia.
"Amelia … kenapa kamu bisa membuatku seperti ini?" gumamnya lirih.
Leonardi tahu apa yang dia lakukan salah, tidak seharusnya dia memperlakukan Amelia seperti tadi. Tapi rasa cemburu dan obsesi dalam hatinya terlalu kuat untuk diabaikan.
Pikirannya semakin kacau ketika ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Alena.
Leonardi menghembuskan napas, muak dengan semua kepura-puraan ini, tetapi ia tak punya pilihan lain. Perjodohan dengan Alena adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaan ayah angkatnya.
"Leon, jangan lupa lusa kita ada pertemuan dengan Papa di restoran. Kita harus memakai baju yang senada agar terlihat kompak."
"Pertemuan untuk apa?" tanya Leonardi dengan dingin.
Hening sejenak dan Leonardi tahu jika dia telah melontarkan ucap yang menyinggung tunangannya itu, tapi apa pedulinya? Alena sendiri yang menyetujui perjodohan ini dan siap menerima segala resiko yang ada.
"Papa ingin ... mulai memperkenalkan kamu sama kolega bisnisnya. Ya ... meskipun aku tahu kalau klien kalian itu sebagian besar dari perusahaan yang sama."
Leonardi mengerutkan keningnya saat Alena menyelesaikan kalimatnya, ternyata sang tunangan tidak terlalu buta mengenai urusan bisnis orang tuanya.
"Oke. Katakan saja pakaian warna apa yang harus kupakai," ucap Leonardi.
"Aku sudah memesan pakaian pasangan untukmu. Mungkin besok siang atau sore akan tiba di rumahmu. Tenang saja aku sudah meminta mereka untuk me-laundry pakaian itu sebelum diantar."
Leonardi mendengarkan penjelasan Alena dengan perasaan yang berkecamuk. Ada rasa jengah yang menghantui setiap kali ia harus memikirkan perannya dalam pertunangan ini.
Namun, sebelum ia sempat menjawab, Alena kembali berbicara dengan nada ceria yang terkesan manja.
“Oh iya, Leon. Aku sudah bilang ke Papa kalau kita pasti akan jadi pasangan yang sempurna."
Leonardi hanya menggumamkan jawaban singkat. Setelah panggilan berakhir, ia membuang ponselnya ke atas sofa dan memijit pelipisnya.
"Pasangan sempurna? Lucu sekali," gumamnya sambil menatap kosong ke arah botol minuman di meja.
Di satu sisi, dia tahu Alena berusaha keras mempertahankan citra mereka sebagai pasangan ideal. Namun di sisi lain, hatinya terusik oleh bayangan Amelia yang berduaan dengan Raka, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih.
***
Amelia yang baru pulang dari jogging, terkejut saat mendapati seorang kurir mengirimkan paket atas nama Leonardi. Pasalnya saat ini masih pukul 07:20 dan akhir pekan, tapi sudah ada orang yang bekerja di haru yang terbilang cukup pagi ini.
Setelannya Rina dengan antusias mengeluarkan isi dari kotak yang dibungkus rapat itu. Mengabaikan sarapannya.
"Wah, kemeja ini pasti akan pas saat kamu mengenakannya," ucap Rina sembari menyentuh kemeja berwarna biru navy itu.
Setelah puas, Rina beralih kepada celana dalam bahan berwarna hitam itu dengan diiringi decakan kagum. Sementara Reza hanya mengamati dalam diam.
"Jadi kenapa Alena mengirimkan kamu pakaian semahal ini?" tanya Rina setelah selesai menggantung pakaian itu di kamar Leonardi.
"Kata Alena, papanya mau mengenalka aku sama kolega bisnisnya," jawab Leonardi sembari memgoleskan selai kacang ke atas rotinya.
"Rupanya dia benar-benar memanfaatkan kesempatan," ucap Reza yang disertai hembusan napas kasar..
"Papa ... kita sekarang lagi di meja makan, loh. Bisa nggak Papa jangan bicara seperti itu. Malah bikin tegang suasana."
Rina yang tidak mau ada perdebatan lagi saat sarapan memutuskan untuk mengambil alih. Keempatnya pun akhirnya sarapan dalam keheningan. Meskipun agak canggung karena suasana sunyi itu tapi ini lebih baik daripada Reza yang akan memulai pertengkaran. Entah itu dengan Leonardi ataupun Amelia.
"Hari ini kami akan pergi ke Papua selama 10 hari, kamu baik-baik saja ya di sini sama Leo," ucap Rina saat keduanya sudah mencuci piring di dapur.
"Kok mendadak banget sih, Mah ke Papua-nya." Protes Amelia tak lama kemudian.
"Kami lupa bilang, Mel. Kamu tahu sendiri 'kan kalau kita dari kemarin itu sibuk banget urusin pertunangannya kakak kamu," ucap Rina.
Dan saat Rina mengatakan kakakmu perasaan Amelia menjadi berat, dia tersadar kalau orang tuanya hanya menganggap hubungannya dan Leonardi hanya sebatas adik kakak Meskipun tidak ada hubungan darah di antara mereka berdua.
"Amel. Kenapa kamu melamun? Itu piring belum dibilas air." Teguran Rina membuat Amelia melanjutkan pekerjaannya.
"Mah ... aku mau mandi dulu, ya. Kalian masih lama 'kan berangkatnya? Pokoknya tungguin Amel jangan pergi dulu," ujar Amelia yang segera bergegas ke kamarnya.
Rina hanya memandang punggung anak gadisnya salah diam, tak terasa putri kecilnya sekarang sudah dewasa dan akan memiliki tambatan hati.
"Waktu berlalu begitu cepat. Sudah 19 tahun berlalu dari kecelakaan itu. Kalau semuanya berjalan lancar seperti ini Amelia pasti akan mendapatkan bagian warisan," gumam Rina yang lalu menyelesaikan pekerjaan di dapur.
1 jam kemudian Amelia sudah selesai bersiap, hari ini dia memakai dress berbahan kaos berwarna lilac dan riasan natural yang membuat wajah Amelia terlihat seperti anak kuliahan saja.
"Mama!"
Teriakan Amelia membuat Rina hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah sang putri yang seperti anak kecil.
"Ada apa, Mel? Kok teriak-teriak seperti itu. Kamu itu kenapa kadang kelakuannya kayak anak kecil aja sih?" celetuk Rina yang kini sedang memeriksa koper-koper yang akan dibawa.
"Kirain aku Mama sama Papa udah jalan," ucap Amelia dengan meringis.
"Ya. Belum lah, Mel. Sekarang juga masih setengah sembilan penerbangan kami itu sekitar jam 01:00 siang. Setengah jam lagi kami akan jalan papamu sedang bicara dengan Leo, mungkin mau memberi wejangan mengenai pertemuan bisnis yang akan dia lakukan bersama dengan calon mertuanya," papar Rina yang hanya ditanggapi diam oleh Amelia.
"Kalau begitu aku mau oleh-oleh saja dari Mama. Jangan lupa beliin aku yang bagus ya, Mah," ucap Amelia yang mengalihkan kesedihannya.
"Iya, Mel. Kamu mau apa biar nanti kami belikan," sahut Rina sembari mengusap pelan rambut Amelia.
"Apa aja boleh, Mah."
Tak lama Reza memasuki ruangan tamu dengan disusul Leonardi dibelakangnya. Saat kedua mata mereka bertatapan, Amelia merasa merinding karena tatapan mata Leonardi yang seakan ingin menembus ke dalam hatinya.
Buru-buru Amelia memutuskan kontak mata mereka dan berpura-pura membantu Rina. Gadis itu merasa Leonardi akan melakukan hal yang diluar nalar saat kedua orang tua mereka pergi.
"Amel. Mau ikut ke bandara apa di rumah aja?" tanya Rina yang seketika memecahkan lamunan Amelia.
"Mau, Mah. Aku ganti baju dulu, ya," jawab Amelia dengan cepat.
"Nggak usah ganti baju, kelamaan nanti. Kamu pakai legging aja." Amelia hanya meringis saat mendengarnya.
Dia melangkah ke arah kamarnya dan keluar dalam kurun waktu 10 menit kemudian.
Perjalanan menuju bandara termasuk lancar, mereka tiba pada jam 11:15. Setelah berpamitan Amelia berniat untuk pergi secepatnya dari tempat ini tanpa Leonardi.
Amelia bahkan mencari alasan untuk ke kamar mandi dan saat merasa keadaan cukup aman, dia berjalan mengendap-endap untuk menghindari Leonardi.
Baru saja Amelia melangkah keluar dari bandara sebuah tangan menariknya dengan kuat. Amelia hampir saja berteriak jika tak melihat raut wajah Leonardi yang dingin.
'Sialan! Pakai ketahuan pula. Apes banget.' Rutuk Amelia di dalam hatinya.