Ketika mereka akhirnya tiba di depan rumah Amelia, Raka memarkir mobilnya dan menoleh kepadanya. "Kalau ada apa-apa, telepon aku, oke? Aku nggak peduli dia kakakmu atau siapa pun dia."
Amelia menatap Raka, hatinya terasa hangat meski situasinya mulai terasa canggung. "Terima kasih, Raka. Aku ... aku akan berhati-hati."
Raka menatap Amelia dengan pandangan memuja, membuat Amelia seketika salah tingkah. Gadis itu memalingkan wajah tak berani untuk balik menatap Raka.
Raka yang merasa situasinya mendukung memegang pipi Amelia, sementara tangannya yang satu lagi menggenggam tangan gadis yang jantungnya semakin berdegup kencang.
"Amelia." Raka memanggil Amelia dengan lembut.
Sementara di luar mobil, langit malam dihiasi bintang-bintang yang terlihat redup. Angin dingin dari AC mobil berhembus, namun tidak mampu meredakan kehangatan yang memenuhi pipi Amelia.
Wajah Raka berada tepat di depannya, menatapnya penuh kelembutan. Tangan Raka perlahan mengusap pipi Amelia, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.
"Amelia," bisik Raka, suaranya berat dan semakin mendekatkan bibirnya untuk mencium Amelia.
"Aku mencintaimu, Amelia."
Amelia terdiam, matanya membulat karena terkejut. Tubuhnya menegang, namun bukan karena kata-kata dan tindakan Raka, melainkan karena bayangan Leonardi yang mendadak memenuhi pikirannya. Ingatan tentang pria itu yang menciumnya dengan penuh hasrat, membakar kenangan yang tak bisa Amelia hapus.
Amelia menarik tangannya dari genggaman Raka lalu mendorong d**a pria itu agak kuat.
"Raka … jangan lakukan ini."
"Kenapa, Mel?" Raka menatapnya penuh kebingungan, namun tetap menatap lembut Amelia.
Amelia menunduk, air mata menggantung di sudut matanya. Raka mencoba menggenggam kembali tangannya, tapi Amelia menepis tangan pria itu. Gadis itu menatap Raka, matanya basah oleh air mata.
"Maafkan aku …," bisik Amelia pelan, sebelum dia keluar dari mobil, meninggalkan Raka yang masih termangu.
Raka terkesiap dan hanya dapat menggantung tangannya di udara, memandang punggung gadis yang ia cintai dengan sepenuh hati.
***
Amelia memutuskan untuk membasuh dirinya di bawah pancuran shower. Air hangat yang mengenai kulitnya menyegarkan tubuh, seperti sensasi dipijit oleh tenaga profesional di spa mahal.
Gadis itu merenungkan kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Pertunangan Leonardi, pernyataan cinta Raka dan ... ciuman membara yang Leonardi lakukan kepadanya.
Amelia tiba-tiba merasa berdosa kepada Alena, sama saja dia berselingkuh kalau tetap menanggapi perbuatan Leonardi.
Perasaan ingin menjadikan Raka sebagai pelarian pun sama besarnya dengan rasa bersalahnya kepada pria itu. Raka begitu tulus dan lembut kepadanya, membuat Amelia tidak enak hati.
Suara bersin yang keluar dari mulutnya, membuat Amelia tersadar kalau dia sudah terlalu lama di bawah pancuran shower. Bahkan kulit jarinya sudah mengerut semua.
Amelia berbaring saat selesai melakukan perawatan wajah. Tubuhnya terasa lelah tapi matanya tak mau terpejam, akhirnya dia membuka media sosial dan berselancar untuk mengundang kantuk.
Namun niat itu harus pupus saat melihat akun media sosial milik Alena, calon kakak iparnya menggungah beberapa foto mengenai pesta pertunangannya dengan Leonardi.
Gurat bahagia sangat jelas terpancar dari wajah Alena yang bersanding dengan Leonardi yang menampilkan wajah datarnya.
Sebuah notifikasi pesan dari Raka muncul dan membuat Amelia akhirnya beralih pada aplikasi perpesanan yang memiliki logo telepon berwarna biru itu.
Raka : [Kamu udah tidur belum?]
Amelia : [Aku nggak bisa tidur, Raka.]
Keterangan Raka sedang mengetik membuat Amelia menunggu. Tapi sudah ada magnet Amelia menunggu sampai di dalam ponselnya membuatnya kembali beralih kepada akun media sosial miliknya.
Saat sedang serius melihat cara membuat kue yang anti gagal untuk pemula, Amelia dikejutkan dengan dering ponsel yang memekakan telinga.
Gadis itu sontak memegang dadanya guna untuk menetralkan debaran jantung yang berpacu kencang, dia lalu mengangkat panggilan yang ternyata dari Raka.
"Hai. Kenapa kamu nggak bisa tidur?"
Suara Raka yang lembut membelai indra pendengarannya, membuat Amelia reflek tersenyum meskipun Raka tak dapat mendengarnya.
"Mungkin aku terlalu banyak minum kopi tadi sore, aku baru inget kalau udah ngabisin 1 gelas ekpreso dan 1 gelas ea capucino," ucap Amelia sambil meringis.
"Kamu itu kebiasaan kalau suka pasti kalap. Mau aku temenin sampe tidur? Untung besok kita libur jadi nggak perlu bangun pagi."
Amelia hanya tersenyum saat mendengar nada suara khawatir dari Raka, dia bersyukur karena mereka sudah tidak canggung lagi.
Raka membuktikan ucapannya, pria itu baru mematikan sambungan teleponnya ketika mendengar dengkuran halus yang terdengar dari mulut Amelia.
***
Kamar Amelia hening dalam gelap. Hanya ada cahaya bulan yang menerobos melalui celah tirai, memberikan kilauan lembut pada wajahnya yang damai saat tertidur.
Napasnya teratur, tubuhnya meringkuk dalam selimut. Namun, kedamaian itu terusik oleh suara pintu yang berderit pelan.
Leonardi berdiri di ambang pintu, tubuhnya sempoyongan. Aroma alkohol dan nikotin menyeruak dari tubuhnya, berpadu dengan parfum mewah yang memudar.
Matanya merah bukan hanya karena mabuk, tapi juga kemarahan yang dia pendam sejak pesta pertunangannya sendiri.
Pemandangan Amelia yang tertidur tenang membuat dadanya bergemuruh. Dia teringat senyuman gadis itu, tawa kecil yang tadi dia berikan untuk Raka.
Leonardi mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Tanpa berpikir panjang, dia berjalan mendekat, langkahnya berat tapi pasti.
Dia duduk di tepi tempat tidur, menatap wajah Amelia yang polos dalam tidurnya. Tangannya terangkat, menyentuh pipinya dengan kasar namun penuh gairah, membuat Amelia bergumam pelan dalam tidurnya.
"Kenapa kamu tersenyum seperti itu kepada pria lain?" tanya Leonardi dengan emosi yang menggelegak.
Amelia bergerak sedikit, tapi tetap tertidur. Leonardi menunduk, aroma lembut gadis itu memasuki indra penciumannya, mengaburkan logikanya yang semakin dikalahkan oleh efek alkohol.
Bibirnya langsung menyentuh bibir Amelia. Ciumannya panas, penuh amarah yang tak terucapkan. Amelia akhirnya terbangun dan membelalak, tubuhnya kaku saat ia menyadari apa yang terjadi.
“Kak Le … Leo?!" Amelia berusaha mendorong tubuh pria itu, suaranya pun penuh kepanikan.
Leonardi menarik diri, namun tangannya tetap menahan Amelia untuk berbaring. Matanya gelap, tatapannya penuh dengan sesuatu yang tak bisa Amelia pahami, antara hasrat dan dendam.
"Beraninya kamu berduaan dengan pria lain." Leonardi berbicara dengan nada rendah, hampir seperti desisan.
"Kamu dan pria itu berduaan. Apa kamu menikmati saat dia menyentuhmu?”
Amelia terengah, tubuhnya gemetar.
"Berhenti Kak. Kakak mabuk. Lepaskan aku!"
Leonardi mencengkeram tangan Amelia lebih erat, wajahnya mendekat lagi.
"Aku mabuk? Ya. Tapi bukan itu yang membuatku gila. Kau tahu apa yang membuatku seperti ini? Kamu, Amelia! Kamu dan senyuman itu. Kamu memberikannya pada orang lain, sementara aku yang harus menikahi seseorang yang bahkan tidak aku cintai!"
Air mata mulai menggenang di mata Amelia.
"Ini bukan salahku! Kakak sendiri yang menyetujui pertunangan ini. Jadi jangan salahkan aku jika mau melupakan Kakak!"
"Melupakanku? Kamu pikir semudah itu melupakanku."
Leonardi berkata dengan sinis dengan tatapan yang membuat Amelia gemetar. Tanpa sadar sekujur tubuhnya bergetar dan giginya bergemeletuk. Leonardi menyadari itu dan mengendurkan cengkramannya.
Amelia merasa tubuhnya melemas setelahnya, tapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Leonardi berdiri dari tempat tidur.
"Jangan sampai aku melihatmu bersama Raka lagi," ucapnya dingin sebelum berbalik menuju pintu. "Kamu milikku, Amelia. Bahkan jika aku tidak bisa memilikimu."
Leonardi meninggalkan kamar itu, pintu tertutup dengan dentuman pelan. Amelia terduduk di tempat tidurnya, air mata mengalir deras di pipinya. Kata-kata Leonardi terus terngiang di telinganya, membuat hatinya semakin kacau.
Dia semakin merasa bingung dengan jalan pikiran Leonardi yang tak dapat dia tebak. Leonardi sendiri yang menolak Amelia dan menyetujui perjodohan dengan Alena. Tapi pria itu juga merasa memiliki Amelia.
"Kak Leo sepertinya sudah gila," gumam Amelia dengan lirih.