“Aneh banget ya kak aku kayak gini?” tanya Haura.
“Enggak,” jawab Albie.
“Cantik?” tanya Haura.
“Semua perempuan nggak ada yang ganteng,” jawab Albie.
Haura pun terkekeh lagi, padahal jawaban Albie hanya datar-datar saja. Namun di mata Haura hal itu sangat menyenangkan.
“Kakak belum jawab pertanyaanku,” kata Haura,
“Apa?” tanya Albie.
“Kakak pulang ke arah mana?” tanya Haura.
“Ke arah Ciputat.” Jawab Albie.
Haura pun menganggukkan kepalanya, padahal dia tidak tau di mana Ciputat namun dia merasa kalau dirinya harus ikut dengan Albie. Dia ingin berlama-lama dengan Albie, “Sama dong,” katanya.
Hanya itu yang kini terlintas dalam benaknya, menyamakan arah pulangnya dengan Albie. Haura berharap kalau dia akan mendapatkan tumpangan gratis meski ntah di mana.
“Saya nggak mau ngajak bareng,” kata Albie.
Haura seakan mendapatkan ultimatum. Dia pun kini cemberut kepada Albie. Di merasa bingung mengapa Albie bisa begitu blakk-blakan kepada dirinya. Haura tentulah inginnya Albie berbasa-basi dengannya mengajaknya pulang bareng.
“Kak Albie, kan aku anggota kakak, apa nggak bisa bareng kakak?” tanya Haura dengan wajah memelas.
Begitulah Haura, ambisinya begitu besar. Ketika dia menginginkn sesuatu, maka da akan totalitas untuk mendapatkannya. Namun, kali ini Haura seakan harus memeluk bulan, memilih mengejar sesuatu yang dia sendiri tahu endingnya seperti apa. Penolakan.
“Apa empat puluh anggota rohis harus saya antar satu persatu?” tanya Albie.
“Ya enggak juga sih, tapi kan aku satu arah sama kakak,” kata Haura.
“Nggak mau, nanti jadi fitnah,” kata Albie.
“Kak Albie, kan antar aku itu termasuk kebaikan, nah kalau fitnah itu kalau misalnya kita pacaran peluk-pelukan,” kata Haura terlampau jujur.
“Ck.” Albie hanya berdecak.
“Boleh ya, Kak?” tanya Haura.
“Oke,” kata Albie.
“Yes!” seru Haura dengan senang.
Albie pun langsung menoleh ke arah Haura dengan tatapan seakan meminta penjelasan mengapa Haura bisa terlihat senang seperti itu.
“Eh, yes ini tanganku pegel. Hehehe.” kekeh Haura sambil mengatakan hal-hal yang tidak penting sama sekali. Bahkan berada di luar topik.
Albie dan Haura pun langsung berjalan menuju parkiran. Haura pun terus mengekori Albie, dia tidak mau kala kesempatannya bisa hilang segitu saja. Ini adalah kesempatan langka. Dan sebagaimana prinsipnya, Haura tentu tidak akan mau untuk menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan. Dia akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Albie mengambil sebuah helm yang ada dalam jok motornya dan langsung memberikannya kepada Haura. Haura mengambilnya dengan senang hati. Lalu, Albie mengenakan Helmnya yang sebelumnya dia sangkutkan di kaca spion sebelah kanan.
Albie pun sudah naik ke atas motornya, “Ayo, naik!” titahnya.
“Ada tas kakak,” kata Haura.
“Sempit kan?” tanya Albie, berharap kalau Haura tidak jadi ikut dengan dirinya.
“Eh, nggak kok. Akukan gak gendut,” kata Haura.
Haura pun langsung maju dan mamegang bahu Albie untuk naik ke atas motor tersebut. “Sudah,” kata Haura.
Albie pun langsung melajukan motornya menuju gerbang. Di gerbang, ternyata masih banyak anak-anak rohis yang tengah menunggu jemputan orangtuanya masing-masing. Sebagian anak rohis memang suka diantar jemput. Dan ternyata ada juga yang baru saja selesai ekskul lain namun masih belum di jemput juga.
“Duluan,” kata Albie.
Semua orang yang ada di sana pun langsung menatap Albie untuk pertama kali. Ini adalah kali pertama merena melihat boncengan motor Albie terisi dengan seorang perempuan, biasanya selalu kosong dan kalaupun terisi pasti adalah anak laki-laki.
“Hati-hati di jalan, Bang Albie!” seru seorang siswi.
Semua tatapan kini tertuju pada Haura, tatapan berisi keirian. Baaimana pun mereka menutupinya namun karena Haura adalah seorang perempuan, dia tentulah paham ketika melihat tatapan-tatapan itu.
Haura mendekatkan tubuhnya pada Albie, Albie yang merasakan pergerakan di belakangnya pun menghena nafas. “Jaga jarak,” katanya.
Haura hanya bisa terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Albie. “Takut jatuh, Kak,” kata Haura.
“Kamu turun di mana?” tanya Albie.
“Eh?” tanya Haura.
Haura tentu tidak tahu jalan. Dia hanya ingin bersama Albie, namun dia tidak tahu daerah Ciputat. Sebelumnya dia tinggal di Jakarta Utara dan baru sejak dia pindah sekolah, dia pindah ke Jakarta Selatan.
Daerah Jakarta selatan saja, Haura tidak tahu, apalagi ini, Tangerang Selatan.
“Di mana?” tanya Albie.
“Eh, itu, Kak. Nanti aku kasih tau,” kata Haura.
“Kamu nggak lagi berbohong kan?” tanya Albie.
“Eh, e-enggak kok kak, masa aku bohong sama kakak sih,” kata Haura.
Albie hanya diam saja. Dia terus mengemudikan sepeda motornya. Haura hanya bisa tersenyum. Satu hal yang Haura baru tahu, aroma tubuh Albie sangat khas dan menenangkannya. Andai Haura bisa memeluk Albie, tentu dia akan melakukannya dengan senang hati. Namun, mengingat bagaimana perangai Albie, Haura tidak berani melakukannya.
“Kak Albie, gimana rasanya jadi ketua rohis?” tanya Haura yang tidak mau meniti jalan sama sekali.
“Gimana rasanya?” tanya Albie yang belum mengerti arah pertanyaan Haura.
“Ya iya, gimana perasaannya, seneng gak?” tanya Haura.
“Berat.” jawab Albie.
“Beratnya?” tanya Haura.
Albie hanya mengangkat bahunya. Jika saja yang menanyakan hal tersebut adalah orang lain selain Haura, Albie tentulah akan mengatakan panjang lebar namun karena itu Haura jadi dia merasa malas untuk menjawabnya.
“Kak Albie …” kata Haura.
“Turun di mana?” tanya Albie.
“Sebentar lagi.” Jawab Haura denga nasal.
Banyak hal yang ditanyakan oleh Haura saat ini. Hingga Albie lama-lama merasa curiga karena dia hampir sampai rumahnya namun Haura masih belum minta di turunkan.
Albie pun menepikan motornya.
"Loh, kok berhenti, Kak?" tanya Haura dengan wajah tak berdosa.
"Rumah kamu di mana?" tanya Albie.
"Eh, itu deket …” kata Haura.
Haura memandang jauh ke depan dan seketika dia melihat sebuah rumah makan.
"Deket rumah makan padang yang itu, Kak,” kata Albie.
Albie pun melajukan motornya dan langsung menurunkan Haura di depan restoran padang itu. Haura pun turun, dia harus mengakui kalau dirinya tidak bisa lagi berlama-lama bersama Albie.
“Yaudah sana pulang,” kata Albie.
“Eh, kakak nggak usah nungguin aku, soalnya rumahku masuk dalam gang. Kaka berangkat aja langsung ya?” kata Haura.
Albie pun langsung mengklakson sekali dan langsung melajukan motornya untuk pulang ke rumahnya. Haura pun tersenyum melihat punggung itu yang menjauh.
“Manis banget,” kata Haura. “Sayang kita gak searah.” sambungnya.
Haura pun langsung menelepon supirnya dan memintanya untuk menjemput di sana. Haura yang bingung hendak melakukan apapun masuk ke salah satu minimarket yang di dalamnya terdapat bangku. Mini market tersebut berada persis di samping restoran tersebut. Haura pun menunggu sampai jemputannya datang.
***
Keesokkan harinya, Haura pun langsung menjadi bahan perbincangan karena dia berani pulang bersama Albie, ketua rohis yang dikagumi oleh banyak siswi. Dari yang alim sampai yang nakal.
“Gila lo, Ra.” Celetuk Indah.
“Apanya yang gila?” tanya Haura.
“Anjir, progress lo cepet bener. Kemarin kata orang-orang lo balik sama Bang Albie kan?” tanya Indah
“Hahaha, iya. Pulang saja Bang Albie. Kok lo tau sih?” tanya Haura.
“Ya gimana gue nggak tau, orang semua orang lagi ngomongin lo sekarang,” kata Indah.
“Terkenal dong gue?” kata Haura acuh tak acuh.
Haura menjadi sangat senang dengan apa yang terjadi saat ini. Desas-sesus pulangnya dia bersama Albie bisa membuat dia menyampaikan kepada Richo bahwa dirinya memiliki pacar. Richo tentu tidak akan percaya jika hal itu keluar dari mulut Haura sendiri, sehingga ini adalah waktu yang tepat untuk mengumumkan hal tersebut kepada Richo.
“Anjir, parah sih. Lo nggak takut dilabrak atau gimana gitu sama kakak kelas?” tanya Indah.
“Ya emang gue ngapain? Lagian kakak kelas yang mana sih yang mau labrak gue?” tanya Haura.
“Ya kakak kelas rohis lo semuanya suka sama Bang Albie,” kata Indah.
“Apa masuk akal kalau mereka sampe ngelabrak gue?” tanya Haura.
Indah pun terkekeh. “Ya enggak sih,” katanya.
“Yaudah,” kata Haura.
Saat sedang berbincang-bincang dengan Indah, tiba-tiba Haura pun dihampiri oleh seseorang, “Ra … kita harus bicara,” kata Samantha.
Indah terkejut, baru saja mereka membicarakan apakah Haura tidak akan dilabrak oleh kakak kelas, sekarang Haura sudah dipanggil oleh Samantha. Haura pun dengan tenang menganggukkan kepalanya.
“Bentar ya, Ndah,” kata Haura.
“Tiati lo,” kata Indah.
“Ck, santai,” kata Haura.
Haura pun berjalan mendahului Samantha. Indah yang melihat bagaimana Haura terlihat tidak takut sama sekali dengan Samantha pun hanya bisa menggelengkan kepalanya. Indah sebetulnya merasa bingung dengan Haura. Haura adalah adik kelas yang baik untuk kakak kelasa yang lain, namun ntah mengapa bila bersama Samantha sikap Haura cenderung tidak sopan.
“Ada apa?” tanya Haura dingin.
Sikap Haura kembali dingin, berbeda dengan saat bersama dengan Indah.
“Kenapa anak-anak bilang kamu pulang sama Bang Albie?” tanya Samantha.
“Ya emang gue pulangnya sama Bang Albie,” kata Haura.
“Ra, kayaknya aku salah deh ngomong soal Bang Albie, kita bisa cari orang lain. Aku aku akan carikan- …” kata Samantha.
Haura menghela nafas, “Kenapa? Karen lo cemburu sama gue?” tanya Haura to the point.
Samantha menunduk dan menggeleng.
“Gue nggak akan takluk sama lo. Jadi, nggak usah masang tampang kayak gitu ke gue,” kata Haura dengan kejam.
“Tapi, Ra. Kita akhiri saja ya?” tanya Samantha.
“Nggak bisa. Gue udah terlanjur cinta sama Kak Albie. Gue nggak akan mundur, gue akan dapetin Bang Albie,” kata Haura menyampaikan tekadnya.
“Dia nggak akan pernah mau pacaran, Ra, kamu pasti akan terluka,” kata Samantha.
“Gue bakal buktiin kalau dia bisa deket sama gue,” kata Haura.
“Ra …” kata Samantha lelah.
“Kenapa? Bukannya bagus? Dulu waktu gue sama Richo pacaran, lo juga gangguin pacar gue, lo ambil dia, lo nyuruh dia macem-macemin gue biar gue ngerasa …”
“Cukup, Ra.”
“Nggak akan pernah cukup, Tha. Lo enak. Lo bisa berdamai, dia gak bakalan gangguin lo. Sedangkan gue …”
“Kata siapa, La. Kata siapa dia gak gangguin gue?” kata Samantha.
Samantha pun berlari meninggalkan Haura. Haura hanya bisa memandangi punggung Samanttha yang kian menjauh. Haura menggelengkan kepalanya.
Haura pun berbalik dan berjalan menuju kantin dengan cepat. Dia tidak suka berada di belakang gedung sekolahnya karena di sana cukup sepi.
BUG!
Tak sengaja, Haura pun menabrak seseorang. Haura pun mendongak melihat siapa orang yang dia tabrak di pertigaan. Laki-laki itu tersenyum, tangannya masih melingkar pada pinggang Haura.
“Lepasin gue!” seru Haura.
Tubuhnya seakan menjadi kaku. Kaku sekali. Dia merasa katakutan namun dia terus menyemangati dirinya sendiri dan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia tidak takut.
“Gue nggak akan ngelepasin lo,” kata Richo.
Haura pun langsung menendang bagian sensitive Richo dengan lututnya. Mau tak mau Richo pun mengaduh dan langsung melepaskan pelukannya. “Lo!” seru Richo marah.
“Apa? Gue bukan Haura yang dulu ya? Gue bukan Haura yang bakalan ketakutan sama lo!” seru Haura.
Haura pun berlari, namun tiba-tiba Richo mencekal pergelangan tangan Haura, “Tunggu, siapa cowok yang pulang sama lo kemarin?” tanyanya.
Haura pun langsung melepaskan cekalan tangan Richo pada tangannya dan menyusapnya seakan membersihkan debu yang menempel. Lalu, Haura tersenyum licik, “Dia pacar gue. Liat kan gue nggak bohong. Gue harap lo nggak ngejar-ngejar gue lagi,” kata Haura.
“Gue bakal abisin dia, Ra!” seru Richo.
“You wish!” seru Haura.
Haura pun langsung berlari meninggalkan Richo. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia mencoba mencari sebuah tempat yang bisa dia datangi sekadar untuk menghembuskan nafasnya. Dadanya terasa sesak, dia membutuhkan sebuah pelampiasan.
Haura memilih naik ke lantai atas sekolahnya. Lalu dia pun langsung menyenderkan tubuhnya ke tembok yang ada di sana. Dia tidak peduli kalau seragamnya akan kotor.
“b******k!” umpat Haura.
Haura pun mengusap wajahnya. Dia mengusap air matanya dengan kasar. Dia kesal sekali. Tangannya bahkan sudah bergetar. Dia begitu ketakutan.
Haura memang bisa bersikap galak dan dingin di depan Richo namun jauh di dalam hati Haura, dia sangatlah rapuh.
“b******k!” seru Haura lagi dia terus meluapkan emosinya.
Dia jongkok sambil memegangi kepalanya. Bayangan itu kembali dalam kepalanya,Haura mencoba melupakan bayangan itu namun semakin dia melupakan, dia semakin tidak tahan dengan isi kepalanya sendiri.
Keadaan di sana sepi, sangat sepi. Haura tidak bisa mengandalkan siapapun dalam hal ini. Dia bahkan tidak berani meminta bantuan karena dia tahu kalau semua orang tentu akan menganggapnya sebagai orang gila.
“Aku harus ke kelas!” seru Haura.
Haura terus berjalan seakan tidak memiliki nyawa, dia berjalan dengan tatapan kosong, persis seperti zombie. Dia sudah membersihkan wajahnya, namun karena apa yang ada di dalam pikirannya tidak bisa hilang akhirnya dia pun memilih untuk kembali ke kelas. Dia butuh seseorang yang mampu mengalihkan pikirannya pada hal tersebut.
Di perjalanan, Albie yang melihat Haura hendak memutar balik, dia terlalu malas bertemu dengan Haura, namun seketika dia menghentikan langkahnya ketika melihat tatapan kosong dari Haura.
Dia kenapa? -batin Albie.
Haura semakin dekat dengannya dan Albie pun memilih untuk berhenti. Mencoba melihat respons yang akan diberikan oleh Haura. Namun, Haura tidak melihatnya padahal dia dan Haura sangat dekat.
Haura terus berjalan hingga Haura hampir sama menabrak tembok.
“Awas tembok!” seru Albie sambil menarik baju Haura bagian belakang. Namun, Albie tidak sengaja menarik sesuatu yang seharusnya tidak dia tarik hingga terlepas.
Haura pun seketika langsung sadar.