“Nanti jadi fitnah,” kata Albie.
Haura tyang mendengar apa yang dikatakan oleh Albie langsung mengerucutkan bibirnya, “Kok fitnah sih?” tanyanya.
“Ya, memang begitu,” kata Albie,
“Tapi sih aku mau tetep upload fotonya,” kata Haura.
Albie seketika langsung menajamkan pandangannya, “Kamu kan tadi bilang tidak akan diupload,” kata Albie.
“Kan tadi, sekarang nggak lagi,” kata Haura sambil mengedipkan sebelah matanya.
Albie hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakukan Haura. Baru kemarin Haura marah-marah kepadaya, kini sudah mulai ganjen lagi. Abie memang tidak mengerti mengapa emosi perempuan bisa berubah dengan begitu cepat.
“Kak, makan siomai yuk, aku laper,” kata Haura.
“Yaudah sana ambil saja sendiri,” kata Albie.
“Ih, nggak mau sendirian. Kayak anak ilang,” kata Haura.
“Ya bukannya emang begitu,” kata Albie.
“Enak aja,” protes Haura.
Albie pun tersenyum.
“Yaelah kalau mau ketawa-ketawa aja kali nggak usah ditahan. Udah ayo kak. Pegang nih, pegang,” kata Haura yang mengangkat tangannya dan hendak menyentuh tangan Albie.
Albie pun langsung berdiri, “Yaudah ayo,” kata Albie.
Haura pun langsung tersenyum dan bangkit.
Lalu mereka berdua pun langsung berjalan menuju tempat siomai dan mengambil es krim sekalian. Setelah siomai, mereka juga mencicip makanan-makanan yang ada di sana.
“Haura, kamu sama siapa, Nak?” tanya Ibunya Haura.
Wajah Ibunya Haura seketika terlihat begitu cemas, begitu juga dengan ayahnya Haura. Kedua orang tua Haura tentulah sangat cemas karena anaknya kini tengah duduk dengan seorang anak laki-laki. Sejak kejadian masa lalu anaknya tersebut, kedua orang tua Haura menjadi sedikit mencemaskan hubungan anaknya dengan sorang laki-laki.
Haura yang menangkap sinyal kepanikan di raut wajah kedua orang tuanya pun langsung tersenyum dan langsung memperkenalkan.
“Ini, Ma. Ini namanya Kak Albie, dia teman Haura di sekolah. Ketua rohis,” kata Haura.
“Saya Albie, Om,” kata Albie yang mengulurkan tangannya kepada Ayahnya Haura. Ayahnya Haura pun langsung menjabat tangan Albie.
“Saya Ayahnya Haura,” terang ayahnya Haura.
Albie pun mengangguk dengan sopan
“Saya Albie, Tante,” kata Albie sambil menyatukan tangan di depan d**a.
Ibunya Haura pun jadi teringat sesuatu. Beliau jadi teringat pada cerita anaknya beberapa waktu yang lalu tentang ketua rohisnya.
“Oh, ya … kamu ketua rohis yang nyebelin itu kan?” tanya Ibunya Haura.
Mati gue. -batin Haura.
Albie yang mendengar hal itu langsung menoleh ke arah Haura. Haura pun terkejut setengah mati karena tidak siap untuk mendapatkan tatapan itu dari Albie. Haura sontak lagsung mengalihkan pandangan ke arah lain dan berpura-pura tidak ada yang terjadi dan dia memasang wajah tanpa dosa.
Albie pun hanya tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Pasti Haura ya tante yang mengatakannya? Maaf ya, Tante, belakangan kami memang tidak akur di sekolah. Jadi,maaf kalau saya terkesan jahat kepada Haura,” kata Albie dengan sopan.
Ibunya Huara pun tersenyum mendengar apa yang diaktakan oleh Albie. Seketika raut cemasnya hilang begitu saja melihat bagaimana Albie yang sebenarnya terlihat anak baik-baik.
“Iya, tidak apa-apa. Haura sudah cerita semuanya pada saya,” kata Ibunya Haura.
Apa yang aku katakan kepada Mama memangnya? -batin Haura.
“Kamu datang dengan orang tuamu?” tanya Ayahnya Haura.
“Iya, Om. Saya datang dengan orang tua saya,” jawab Albie.
“Di mana orang tuamu?” tanya Ayahnya Haura.
Beliau belum bisa percaya seratus persen kepada Albie. Bagi ayahnya Haura yang memang sangat menyayangi putrinya, beliau ingin mengetahui dari mana Albie berasal karena tidak mau kalau anaknya berteman dengan laki-laki yang salah lagi.
Belum genap Albie menjawab, telepon Albie pun berdering begitu saja.
“Maaf Om, Tante,” kata Albie.
“Iya, angkat saja,” kata Ayahnya Haura.
Albie pun langsung mengangkat telepon tersebut. “Halo Assalamualaikum. Iya, Ma? Oh, yaudah kalau gitu biar Al pulang sendiri aja. Iya nggakpapa, Ma. Al tutup ya, Ma, Assalamualaikum.”
Haura tersenyum dalam hati, ‘Al’ nama yang lucu.
“Maaf, Om, Tante, sepertinya ssaya harus pulang,” kata Albie.
“Oh kalau begitu pulang bersama kami saja,” kata Ayahnya Haura.
Haura terkejut setengah mati mendengar apa yang dilontarkan oleh ayahnya. Haura tidak pernah menyangka kalau Ayahnya akan menawarkan tumpangan pada Albie. Dia bukannya tidak mau klau ada orang yang akan menumpang di mobilnya. Dia hanya takut kalau Albie ikut bersamanya, Albie akan mengetahui di mana rumahnya.
Bagaimana pun ayahnya Haura sebenarnya masih ingin tahu siapa Albie sebanrnya. Dia ingin tahu siapa orang tua Albie, dan dia juga ingin tahu di mana rumah Albie. Pokoknya beliau sangat ingin mengetahui mengenai siapa Albie sesuangguhhnya. Kenapa Albie bisa mendekati anaknya.
Ayahnya Haura memanglah paham kalau Albie adalah ketua Rohis di sekolah Haura jadi tentulah mengenal Haura, namun ntah mengapa beliau masih ingin memastika siapa Albie yang sesungguhnya.
“Tidak perlu repot-repot, Om,” kata Albie.
Haura yang mendengar jawaban Albie langsung bisa bernafas lega, “Nah, kan Pa, Ma. Kak Albienya nggak mau,” kata Haura.
“Ikut saja bersama kami, Albie. Hitung-hitung saya berterima kasih karena sudah menjadi teman anak saya di sekolah,” kata Ayahnya Haura.
“Ya, Nak. Ikut ya?” kata Ibunya Haura. Ibunya Haura tentulah mengetahui apa yang ada di dalam kepala suaminya.
“Ma, a, Kak Albienya nggak mau. Iya kan kak?” tanya Haura.
Albie terdiam melihat Haura. Dalam hati dia merasa penasaran mengapa Haura terkesan tidak mau mengantarkan dirinya padahal kalau dilihat dari bagaimana sikap Haura selama ini yang centil padanya, harusnya Haura merasa senang karena satu mobil dengannya.
“Bagaimana, Albie?” tanya Ayahnya Haura yang seakan tidak memperdulikan Haura. Haura pun cemberut namun dia tahu kalau Albie akan menolak permintaan dari kedua orang tuanya.
“Baiklah, Om. Saya ikut Om,” kata Albie.
Seketika Haura melotot kaget. Dia tidak menyangka kalau Albie ternyata mau ikut dengan mobilnya. Haura pun jadi cemas sendiri. Dia tidak mau dicap sebagai pembohong meski dia memang berbohong kepada Albie.
“T-tapi …” kata Haura.
“Udah! Kita pulang yuk!” kata Ayahnya Haura.
Kemudian setelah kedua orang tua Haura berpamitan dengan penyelenggara acara akhrinya mereka berempat pun berjalan menuju mobil milik ayahnya Haura.
Albie pun diminta untuk duduk di depan di samping ayahnya Haura yang berada di kursi pengemudi. Ayahnya Haura memanglah sedang tidak memakai supir sehingga ayahnya Haura sendiri yang membawa mobil tersebut.
“Keluarga kamu ke mana?” tanya Aynya HAura.
“Ternyata mereka sudah pulang, Om. Katanya ada urusan mendadak dan lupa memberitahu saya,” kata Albie.
“Oh, seperti itu. Seberapa kenal kamu dnegan anak saya?” tanya Ayahnya Haura.
“Kami hanya sebatas kenal karena satu ekskul dan satu sekolah saja, Om.” Terang Albie kepada ayahnya Haura.
Ayahnya Haura pun menganggukkan kepalanya, “Oh iya, di mana rumah kamu?” tanya Ayahnya Haura.
JLEB!
“Mati aku!” gumam Haura sangat pelan.