MCKR 27 – Perhatian

2141 Kata
Akhirnya, waktu pengumuman datang. Haura pun tiba-tba ingin ke kamar mandi. Haura pun mencari toilet. Haura tidak mau ditemani oleh siapapun karenna diamemang merasa tidak dekat dengan siapapun walaupun Samantha dan Sarah terus menemaninya. “Gak usah, gak usah ditemenin. Gue bisa sendiri,” kata Haura. Haura pun langsung prig ke kamar mandi. Dia memang merasa malas menunggu di ruangan pengumuman karena dirinya tahu kalau dirinya tidak akan mendapatkan juara apapun, karena dirinya merasa apa yang dia tulis tidak terlalu baik. Setelah selesai dari kamar mandi, Haura pun keluar dari toilet. Dia mencoba mencari jalan untuk kembali ke ruangan sebelumnya, namun dia lupa jalan untuk kembali. “Duh, ini ke mana deh?” tanya Haura. SMA 39 memanglah sangatlah besar dan luas. Dan karena sekolah tersebut tidak ada aktivitas membelajaran untuk hari itu sehingga Haura tidak bisa melihat orang di sekitarnya. Haura memang sebelumnya mencari kamar maandi sendiri. Jadi tanpa sadar dia mendapatkan kamar mandi yang jauh. Haura pun mengeluarkan ponselnya. Dia tidak bisa menghubungi Indah karena Indah memang tidak ikut dnegan dia ke sekolah tersebut. Indah bukanlah anak rohis. Haura mengeluarkan ponselnya dan mencari nomor seseorang yang bisa dia hubungi. Dia merutuki dirinya sendiri yang kembali ke tempat semula saja tidak bisa. “Masa gue harus telpon Kak Albie sih?” tanya Haura. Haura pun langsung menelepon Albie tanpa berpikir apa-apa lagi. TErserahlah apa yang dikatakan Albie tentang dirinya namun dirinya hanya memiliki nimir Albie saja. Dia tidak memiliki anggota rohis yang lain. Di saat panik seperti ini, dia tidak ingat kalau dirinya memiliki media sosial isntagrim yang di dalamnya berisi teman-temannya, termasuk teman-temannya yang satu ekskul dengan dia. “Halo?” salam Haura. “Kak Albie, tolong aku,” kata Haura. “Kamu di mana?” tanya Albie yang seketika panik. Bagaiman atidak panik, mendengar temannya menelepon dna mengatakan minta tolong. Itu artinya temannya sedang dalam kesusahan. “Aku nggak tau kak. Tadi aku ke toilet sendiri. Nah aku gak bisa balik ke ruangan,” kata Haura. “Di sana nggak ada siapa-siapa?” tanya Albie. Haura menoleh ke kanan dan ke kiri, “Nggak ada kak,” jawab Haura. “Yaudah kalau begitu, coba videocall saya akan akan ke sana,” kata Albie. Haura pun langsung membuka kameranya. Dan mereka pun langsung videocall. Haura pun langsung melihat wajaah Albie. Albie terlihat berjalan. “Coba kamera belakang, kalau cuma wajah kamu saya tidak tahu kamu di mana,” kata Albie. “Ish, …” kata Haura. Haura pun langsung mengikuti instruksi. Albie pun mencoba mengamatinya. “Oke, tunggu saya di sana,” kata Albie. Haura pun langsung mematikan sambungan teeponnya. Namun. persis                                                                                                       ketika dia ingin berbalik, dirinya langsung melihat ada Anjar di sana. “Haura.” Panggil Anjar. Haura pun langsung mendongak dan langsung terkejut, dia tidak pernah memberitahukan namanya kepada ketua rohis yang bernama Anjar tersebut. “Dari mana kamu tau nama saya?” tanya Haura. “Ternyata emang kamu,” kata Anjar sambil tersenyum. “K-kamu siapa?” tanya Haura. Anjar mendekat kea rah Haura hal itu membuat Haura mundur. Bagaimana pun Haura memanglah memiliki ketakutan berlebih melihat orang yang datang mendatanginya. Haura benar-benar ketakutan sekarang. “Jangan takut. Ini aku. Kita pernah bertemu sebelumnya di rumah sakit. Dokter Maria, ingat?” kata Anjar. Jantung Haura berdegub dnegan sangat kencang. Bagaimana dia tidak ingat siapa Dokter Maria? Beliau adalah dokter yang menangani keadaan mentalnya. “S-siapa kamu?” tanya Haura. “Mungkin kamu lupa. Tapi, kita pernah mengobrol bersama ketika di rumah sakit,” kata Anjar. Haura pun langsung mundur. Haura mencoba mengingat-ingat dan benar saja. Dia teringat siapa Anjar sebenanrya. Dia ingat kalau Anjar adalah laki-laki yang juga pasien dari Dokter Maria. “Kalian sakit?” tanya Albie yang tiba-tiba datang. Haura langsung berlari kea rah Albie. Dan dengan refleks langsung memegangi tangan Albie. “Iya, ternyata kita pernah saling mengenal. Kita pernah sama-sama jadi pasien-…” kata Anjar. Jantung Haura berdegub dengan sangat cepat. “Kak, aku harus pulang!” kata Haura tiba-tiba. Albie menoleh ke arah Haura yang sudah menempel pada lengannya. “Ra, tangannya,” kata Albie. Haura pun langsung melepaskan tangannya pada lengan Albie. Dia hanya refleks. “Aku mau pulang,” kata Haura pada Albie. “Ada apa sebenarnya?” tanya Albie. Albie melirik Anjar. Anjar hanya diam. Dia tentu mengerti apa yang dirasakan oleh Haura. Apalagi jika melihat gelagat dari Haura, dirinya bisa melihat bagaimana haura yang terlihat tengah menutupi apa yang terjadi. Haura pun langsung berbalik dna berjalan dnegan cepat meski dia tidak tahu ke mana anarh keluar dari sana. “Ra, tunggu!” seru Albie. Albie pun mengejar Haura yang berlari begitu saja. Haura ingin pulang. Dia sangat takut kalau Anjar akan menejlaskan kepada ssemua orang aklau dirinya adalah orang sakit. Karena jalan tanpa tahu arah akhirnya Haura sampai di jalan buntu. Haura menoleh. “Kak Aku mau kelaur rohis,” kata Haura matanya sudah berkaca-kaca. “Kasih saya alasan,” kata Albie. Haura menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu saya nggak bisa kasih izin kamu keluar,” kata Albie. “Aku mau pulang,” kata Haura. “Yaudah ikut saya, saya akan antar,” kata albie. Haura pun langsung mengekori Albie yang sudah berjlaan terlebih dahulu. Di perjalanan ternyata ada yang mengenali Haura. “Haura!” panggil seseorang perempuan. Haura pun menoleh dan langsung menegang, dia sangat tahu kalau siswi itu adalah salah satu teman sekolahnya di sekolahnya dulu. “Bukan, saya bukan Haura,” kata Haura yang langsung pergi begitu saja. Kini Haura merasa kalau keputusan Haura untuk pergi sudah sangat tepat. Kalau tidak, dirinya tentulah memiliki banyak kemungkinan bertemu dengan orang yang dia kenal. Karena lomba itu memang diadakan sejabodetabek. Albie hanya bisa mengamati Haura dari samping. “Ke sini,” kata Albie. Lalu Albie dna Haura pun sampai di luar sekolah. “Di mana alamat rumah kamu? Biar saya antar,” kata Albie yang sduah emmegangi ponselnya. Albie hendak memesankan taksi online untuk dirinya dan juga Haura. Albie adalah ketua rohis jadi dia merasa bertanggung jawab atas anggotana. Itulah mengapa dia ingin mengantarkan Haura. Meski Haura sangat menyebalkan. “Nggak usah, Kak. Aku pesen sendiri aja. Kaka mending ke dalam. Temen-teman pasti bakalan cariin kakak,” kata Haura. Haura langsung memesan taksi online. Karena ke rumahnya sangat jauh dan dia sepertinya takut naik motor jauh. “Nggakpapa, nanti saya balik lagi,” kata Albie. “Nggak usah, Kak. Makasih,” kata Haura sambil tersenyum. Albie pun langsung menganggukkan kepalanya. Lagi pula ada anggota-anggota lain yang juga harus dia perhatikan. Tak lama kemudian, taksi online Haura datang dan Haura langsung berpamitan dengan Albie. “Duluan, Kak,” kata Haura. Albie pun membukakan pintu, “Pak, tolong antar teman saya ke tujuan ya, jangan ngebut, Pak,” kata Albie. Haura terdiam. “Kabari saya kalau sudah sampai,” kata Albie. *** Sesampainya di rumah, Haura pun lupa kalau harus mengabari Albie. Dia memilih untuk merenungi dirinya di kamarnya. Dia pun mmebuka sebuah buku yang berisi curhtan-surahatan dia selama ini. Menurut Dokter yang menanganinya, Haura memang dianjurkan untuk menulis karena Haura tiikal orang yang suka memandam apa yang terjadi dan memenadam perasaannya jadi menulis adalah salah stau metode yang dianjurkan dokter tersebut untuk kesembuhan Haura. Sabtu, 15 Januari 2021 Aku mengira dengan pindah sekolah dan menyembunyikan identitas akan membuat aku senang. Namun, aku salah. Semesta emamng sepertinya masih ingin mengajakku bercanda. Pertama, Richo. Semesta mempertemukan kembali aku dengan Richo. Lalu Samantha. Bagaimana aku bisa bertemu dengan Smaantha dan Richo di waktu yang bersamaan? Aku sepertinya tidak diperkenankan untuk bangkit. Bukan hanya itu, Aku kembali dengan Ajar, seorang laki-laki yang pernah aku temui di rumah sakit. Dia adalah salah satu pasien Dokter Maria. Aku tidak tahu mengapa aku dipertemukan lagi dengannya. Hidup ini lucu. Lucu sekali. Kadang suka memaksakan apa yang sebenanrya tidak lucu menjadi lucu. Ketika dunia tertawa, semuanya harus ikut tertawa. Ketika Dunia melontarkan lelucon yang tak lucu, kita tetap dipaksakan untuk tertawa. Apakah ini adil? Haura meletakkan pulpennya dan langsung menatap sebuah figura dirinya yang tengah tersenyum. Dia pun mengambil figura itu. Sebuah figura yang dilipat. Haura mengambil figura itu dan langsung membukanya dari beakang. Dia keluarkan foto itu dari bingkai yang membingkai. Haura pun melebarkan lipatan. Di sana ada tiga orang yang tengah tersenyum. Dirinya, Richo, dan Samantha. Mata Haura pun mulai sayu. *** “Ta, aku nggak mau ikut kamu. Aku takut dimarahin sama mama. Kita masih kecil, Tha.” Kata Haura. Haura memandangi sekitarnya, dirinya masih menggunakan baju seragam sekolah yang sudah ditutupi jaket yang terlihat begitu kebesaran dia pakai sampai lutut. Haura menatap sebuah café yang dia sangat kenali kalau di dalamnya bukan hanya sekadar café. “Nggakpapa, Ra. Mumpung kita masih muda.” Kata Samantha yang langsung menarik tangan Haura. Haura langsung menepis tangan itu, “Nggak, Tha. Aku nggak mau. Udah deh mending kita pulang aja. Lagian. Kita itu masih anak SMP masa boleh masuk ke tempat kayak gitu?” tanya Haura. Haura tidak bodoh, meskipun dia polos. Dia sering mendengar rumor yang beredar tentang café tersebut. Yang, sekali dia masuk, dia tidak akan pernah keluar lagi. “Ini Café punya bokap gue. Jadi lo nggak usah khawatir. Kita nggak minum-minum kok. Gue bawa lo ke sini suma mau kaasih liat ke elo kalau dunia ini gak melulu soal sekolah.” Kata Samantha berbohong. Café tersebut memanglah bukan milik Samantha. Samantha hanya berbohong agar Haura bisa masuk ke dalam sana. “Eh, gimana? Ya gak bisalah, Ta, kita belum cukup umur.” Kata Haura yang terus inin pulang. Samantha pun langsung memutar otak agar Haura tetap mau masuk ke dalam café tersebut, dia tidak bisa menunda-nunda lagi. Dia sudah memiliki janji dengan orang yang ada di dalam café itu jadi dia tidka bisa mangkir lagi. “Gini deh. Kita mending masuk dulu. Nah, abis itu kalo lo mau pulang, pulang gakpapa. Gue Cuma mau kasih liat lo doang.” Kata Samantha. Haura akhirnya pasrah. Dia menghela nafas, dan akhirnya mengangguk. Rasanya percuma saja kalau dirinya menolak karena sahabatnya itu tetap akan membujuknya agar mau masuk ke dalam sana. Ini kali pertama Haura menjejaki tempat seperti itu. Dalam hidupnya, dia memang tidak pernah terbesit sama sekali mengetahui apa yang ada di dalam sana, karena itu adalah kehidupan gelap orang dewasa dan dia merasa tidak igin dan belum siap untuk menegtahuinya. Haura tentulah gadis yang polos namun tidak bodoh. Jadi, dia pun memilih masuk saja dan berniat untuk pulang segera. Samantha sangat baik kepada dirinya meski Haura sangat tahu kalau Samantha itu bukan murid baik-baik. Namun, bagi Haura, dia tidka suka memilih-milih teman. Selama temannya baik kepada dia, maka tanpa melihat background temannya tersebut, maka dia akan terus menganggap sahabat juga. “Yaudah, tapi kamu janji ya? kalau di dlaam aku nggak betah, aku boleh pulang. Kamu juga gangan minum. Aku nggak mau liat kamu mabuk.” Kata Haura. Wajah Samantha kini menjadi sangat cerah. Sangat cerah. “Beres. Nah, gitu dong. Kalau gitu ayo ikut sama aku.” Kata Samantha yang langsung menggandeng lengan sahabatnya itu. Haura dan Samantha pun langsung masuk. Dan herannya, mereka lolos begitu saja tanpa ada pemeriksaan. Padahal rok pendek abu-abu Haura dan Samantha masih bisa terlihat, namun mereka tetap diperbolehkan untuk masuk. Suara bising seketika terdengar. Asap rokok pun mulai masuk ke indra penciuman Haura. Rasanya aneh sekali. Haura merasa pusing dengan suara yang begitu emmekakkan telinga. Di sana dia melihat banyakk orang yang tengah duduk-duduk terlihat tertawa. Ada yang terlihat begitu frustasi dengan sebuah minuman di tangan, dan ada yang tengah menikmati aktivitas tak senonoh. Haura mengalihkan pandangannya. Samantha mengedarkan pandangannya kea rah lain, “Ra, liat deh ada temen kita!” kata Samantha sambil menujuk tiga orang laki-laki yang sudah berganti pakaian menggunakan celana dan kemeja. Haura terdiam. Salah satu dari ketiga laki-laki itu adalah orang yang dia suka dalam diam. Haura memang sudah lama meperhatikan laki-laki itu, menurutnya, laki-laki itu begitu menarik pehartiannya. Terlihat ramah, baik, cerdas, dan terlihat tenang. Namun, melihat fakta dia ada di club malam berkedok café tersebut membuat Haura merasa sedih sekali. Dia seperti diputuskan namun belum jadian. Rasanya begitu aneh. “Eh, … mending kita pulang deh.” Kata Haura. Saat ini perasaannya campur aduk. Belum genap dirinya merasakan cinta namun ternyata dia harus patah. Dia tidak mungkin berpacaran dengan seorang laki-laki yang masuk klub malam bukan? Dia anak baik-baik jadi sudah sewajarnya kalau dia juga mendapatkan pria yang baik-baik pula. Dia masih anak SMP, rasa penasarannya masih sangat tinggi. “Tanggung, Ra. Eh, itu Richo nengok. Richo!” seru Samantha memanggil Richo. Samantha melambaikan tangan. Richo yang melihat mereka hanya tersenyum. Haura berbalik. Dia merasa malu dilihat oleh Richo. Dia merasa takut kalau Richo menganggapnya sebagai perempuan tidak baik. “Ayo, Raa!” ajak Samantha yang langsung menarik tangan Haura. “Duh …” ringis Haura. Haura jadi takut kalau di sekolah, semua orang tahu kalau dirinya masuk ke club malam tersebut. Haura benar-benar tidka bisa membayangkan kalau semua orang tahu dan mengecapnya sebagai perempuan tidka baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN