Tidak Ingin Menyerah

1086 Kata
'Bagaimana kalau sampai Mbak Ayla menyalahkanku?' Dalam hati, Pierre sangat cemas. Setelah cukup lama Pierre berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa. Ia tak berniat selamanya di sini. Idenya masih sama, mencoba mengirim sinyal bantuan untuk pusat. “Yapp!!" Tubuhnya sudah terangkat setengah, dengan bantuan kakinya ia akhirnya bisa memanjat. Sampai di atas, ia langsung berlari dengan nafas memburu. Matanya melirik mencari arah tempat awal mereka. Jujur karena berlari ia jadi tidak tahu di mana posisinya sekarang. Pierre hanya mengandalkan nalurinya supaya sampai di barak sementara mereka. Dalam kepanikan ia berusaha mengingat dengan jelas. Setelah ia yakin. Segera Pierre pergi ke baraknya tanpa pikir panjang. "Hahh!! Hah!" Nafas memburu, tangannya yang gelagapan mencari alat komunikasi serta bibirnya bergetar juga pucat, sebuah perpaduan yang bisa membuat seseorang menyerah apabila ia di tempatkan pada posisi yang sama dengannya. Jangan katakan apa yang Pierre lakukan adalah tindakan bodoh. Karena setiap manusia memiliki alasan untuk mengambil tindakan itu. Ia cuma berfikir akan percuma jika ia maju seorang diri menyelamatkan Fawaz. Entah keputusan ini akan ia sesali nantinya atau tidak. Hanya Tuhanlah yang tahu Ttuutt! Tttuut! Suara sambungan dari mesin HT yang sangat ia harapkan bisa mendatangkan keajaiban untuk Fawaz mulai mengedar di telinganya. 'Tuhan, aku memang belum menyembah-Mu. Aku masih selalu terlena untuk mengingkari semua hidayah-Mu yang KAU tunjukkan padaku. Tapi lelaki yang tengah berjuang itu adalah hamba-Mu yang baik. Dengan segala kerendahan hati aku berharap ia bisa selamat,' rancau Pierre dalam hati begitu tulus. "Halo!" suara seseorang berhasil mengangkat HT itu. "Halo ... halo ... di sini dengan Letnan Dua, Pierre Nasution. Saya ingin melaporkan jika Letnan satu Fawaz Omar hisyam hilang di titik koordinat 10.3 arah timur!" Bunyi pesan Pierre yang ia gaungkan penuh pengharapan. "Halo." Pria yang di ujung telepon justru mengulang kalimat sapaannya lagi. "Iyah ... halo, tolong kami. Kami dalam bahaya!" ulang Pierre tak lagi memakai cara lapor yang sesuai perintah atasan. Persetan dengan aturan. Nyawa Fawaz jauh lebih penting. "Maaf tapi di sini kita tidak bisa mendengar apapun. Kkrriiinngg! HT itu berdengung seakan menulikan rungunya. "Tolong, Tolong kami. Fawaz di kejar dua babi hutan," lirihnya memelas. Hatinya hancur, seakan tak ada lagi harapan untuknya menolong Fawaz. "Lebih baik anda mencoba menghubungi kami lagi nanti!" Alat penghubung satu-satunya terputus. Itu artinya, putus juga harapannya. Pierre tertunduk. Air matanya jatuh. Sedang tangannya mengepal kuat. "Maafin aku, Mas!" Setelah mengatakan itu justru Pierre merasa semakin kuat. Ada sisi hatinya yang menolak untuk menyerah. Ia menatap sebuah senapan. Tak perlu pikir panjang. Pierre keluar lagi dari baraknya membawa senapan itu untuk menembak mati kumpulan babi hutan. Saat ini semua hal sangat ingin ia kerahkan untuk Fawaz, untuk tawa yang begitu menyejukkan hatinya dikala memandang. *** Sementara itu, Setelah kawanan babi mengepungnya. Fawaz justru dengan nyali yang besar ikut mendekat dan menaiki tubuh babi yang jauh lebih kecil. Pria itu langsung menancapkan pisaunya. Dan karena kulit babi itu keras, pisau belatinya justru tertancap tidak mau ditarik lagi. Amukan sang babi semakin tidak terkendali. Saat itu Fawaz turun dan berlari sekencang-kencang. Ia belum bisa bernafas lega. Ada satu babi lagi yang mengejarnya dengan tatapan murka. Sepertinya yang Fawaz lukai adalah 'istrinya' dan setiap pejantan memang selalu memiliki insting untuk melindungi betinanya. Fawaz mencoba bersembunyi di pohon besar. Kakinya terasa sakit karena saat ia turun dari badan sang babi ia malah terkena tancapan ranting pohon yang cukup besar. Fawaz menarik ranting itu tanpa bantuan obat bius. Ia mengerang di dalam tenggorokannya karena tidak mungkin jika ia mengeluarkannya langsung. Tetes demi tetes darah mengalir. Tapi Fawaz tidak ingin tubuhnya menjadi santapan si babi hutan itu. Jiwa primitif-nya mengatakan jika manusia selalu berada di rantai makanan teratas. Jadi konyol baginya jika ia berakhir menjadi sajian lezat bagi para babi. Krreekk! kreekkk! Babi itu mendekat dan Fawaz merasa siap bertarung sekali lagi. Ia tidak mungkin melewati kehadiran babi itu. Fawaz tidak mau kalau babi itu menemui kawanan temannya yang lainnya. Fawaz memilih memutari pohon, berjalan sangat hati-hati dengan ranting runcing di tangannya. 'Bisa ... aku bisa menancapkan sekali lagi!' suara hatinya penuh keyakinan "Bismillah ... Allahu Akbar!" Ranting itu sudah tertancap seiring gaungan kalimat tauhid dari bibirnya. Fawaz melotot. Babi kali ini tidak langsung lemas seperti yang tadi. Ia malah semakin terlihat marah. Seperkian detik Fawaz tidak mampu mencerna saat si babi mengobrak-abrik tubuhnya dengan moncongnya yang berruncing. Ia hanya mampu mencoba memegangi perutnya yang perih, meremas darahnya yang keluar. Ooh, bukan lebih tepatnya ia sedang meremas isi perutnya yang terkoyak. Darah keluar dari mulutnya. Entah luka apa yang Fawaz terima. Seluruh tubuhnya mati rasa. Matanya berkunang, tanpa sadar, ia merasa ingin pingsan. Lima menit berlalu. Saat tidak ada lagi harapan hidup yang tersisa. Remang di saat ajal menjemput, diantara alam bawah sadarnya, Fawaz masih bisa mendengar bunyi seseorang menarik sebuah pelatuk. Ddorr! doorr! Disaat itu pula ia betul-betul tak sadarkan diri. *** Selang tiga puluh menit dari tragedi berdarah itu. Pierre akhirnya menemui tempat kejadian. Ia terjongkok seraya meremas sisa kain dari baju yang Fawaz kenakan. Hatinya luruh. Ia betul-betul gagal untuk menyelamatkan Fawaz, mungkin saja jenazahnya telah dibawa binatang liar itu ke habitatnya. Untuk bersama menikmati setiap daging Fawaz yang tersayat karena gigitan mereka. "Huhuhu ... Mas Fawaz!" Pierre menjatuhkan kening ke tanah dengan senapan di sampingnya. Belum pernah ia merasakan dirinya sebodoh ini sampai tega meninggalkan Fawaz seorang diri. Kenapa tidak mati bersama saja? Untuk apa dia berlari demi bertahan hidup? Bukankah dia berniat untuk mati cepat? Khayalan Fawaz tergeletak lemah dengan kawanan babi mengelilinginya semakin membuat batinnya pedih. Ahkk ... Membayangkan saja membuat Pierre ingin bunuh diri. Sayang, ia baru tahu dari Fawaz. Jika kematian dengan cara seperti itu hanya akan mengenaskan di alam sana. *** Langit semakin menyingsing cahaya mentarinya. Berganti pekat dengan cahaya bulan yang menerawang dari sela-sela dedaunan. Pierre menghembuskan nafasnya. Seolah baru saja tersadar dari keterkejutannya. Berkali-kali ia menimbang ingin menempelkan senapan ke pelipisnya dan memuntahkan dua atau tiga peluru. Tapi Pierre tahu, bunuh diri adalah hal yang dilarang agama. Lagipula Fawaz memberikannya mandat yang harus ia jalankan. Menjaga dan merawat anak dan istrinya. Ia merasa harus kuat. Lagipula tak ada ujian yang didatangkan dengan persetujuan orang tersebut terlebih dulu. Ini Qonnah-Nya dan ia harus menerima dengan tangan terbuka Pierre juga pernah dengar. Tuhan tidak mungkin memberikan beban di pundak yang salah dan itu artinya ia harus siap. Ia memutuskan bangkit sambil membawa potongan baju Fawaz sebagai bukti kalau Fawaz telah gugur. Tidak ada lagi yang Pierre pikiran kecuali senyum Ayla yang sempat ia lihat sebelum mereka pergi. Mungkin itu adalah saat terakhir wanita itu tersenyum. Karena setelah ini hanya ada airmata, menangisi belahan jiwanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN