Tantangan Demokrasi Politik Jelang Pemilu 2024

1335 Kata
Tantangan Dan Sistem Demokrasi Indonesia Jelang Pemilu 2024 Sistem dan praktik demokrasi di seluruh dunia dapat dikatakan sedang menghadapi tantangan besar. Termasuk di sejumlah negara yang selama ini dianggap sebagai kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat dan India. Di Amerika Serikat, aksi barbarian mewarnai pemilihan presiden yang lalu dimana massa pendukung presiden yang kalah tanpa sungkan menduduki dan merusak gedung-gedung perwakilan rakyat. Sementara di India, praktik pemilihan umum mengobarkan politik identitas di tengah masyarakat, khususnya etnisitas dan agama. Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan ‘kekitaan’ yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Penguatan politik identitas sangat kentara sekali menjelang Pemilu 2024 belakangan ini. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Munculnya penguatan politik identitas karena, pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta. Catatannya Bawaslu, daerah yang rawan adalah daerah yang punya kesenjangan ekonomi. Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut. Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. Kita paham bahwa salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian adalah Medsos. Tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta. Faktor ketiga yakni buruknya kelembagaan politik. Kondisi ini terjadi karena partai-partai cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Partai dianggap sering kali gagal mengelola konflik yang berimbas ke level masyarakat. Hampir selalu gagal mengelola konflik. Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konflik akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut. Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas mulai mencul di tahun 2016. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat.Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik untuk memicu konflik yang menyebabkan perpecahan dan pembelahan di internal partai politik. Praktik demokrasi Indonesia yang merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India menawarkan semacam pendekatan yang berbeda di tengah tantangan ini. Sistem presidensial yang dilakukan di Indonesia memberi ruang pada rekonsiliasi yang signifikan. Kebesaran jiwa pihak yang kalah untuk membantu pihak yang menang dalam kontestasi patut dihargai dan dipandang sebagai gaya khas demokrasi Indonesia yang positif. Karenanya untuk mengantisipasi tantangan dan sistem. demokrasi yang berat menjelang Pemilu 2024 perlu dilakukan sosialisasi dan penyebaran informasi Pemilu 2024 yang lebih masif oleh berbagai pihak, terutama oleh penyelenggara dan pengawas pemilu (KPU dan Banwaslu) serta yang tidak penting Pers, sebagai agen penyebar informasi publik untuk mewujudkan keinginan masyarakat dalam Tantangan Dan Sistem Demokrasi Indonesia Jelang Pemilu 2024 Sistem dan praktik demokrasi di seluruh dunia dapat dikatakan sedang menghadapi tantangan besar. Termasuk di sejumlah negara yang selama ini dianggap sebagai kampiun demokrasi, seperti Amerika Serikat dan India. Di Amerika Serikat, aksi barbarian mewarnai pemilihan presiden yang lalu dimana massa pendukung presiden yang kalah tanpa sungkan menduduki dan merusak gedung-gedung perwakilan rakyat. Sementara di India, praktik pemilihan umum mengobarkan politik identitas di tengah masyarakat, khususnya etnisitas dan agama. Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan ‘kekitaan’ yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Penguatan politik identitas sangat kentara sekali menjelang Pemilu 2024 belakangan ini. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Munculnya penguatan politik identitas karena, pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta. Catatannya Bawaslu, daerah yang rawan adalah daerah yang punya kesenjangan ekonomi. Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut. Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. Kita paham bahwa salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian adalah Medsos. Tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta. Faktor ketiga yakni buruknya kelembagaan politik. Kondisi ini terjadi karena partai-partai cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Partai dianggap sering kali gagal mengelola konflik yang berimbas ke level masyarakat. Hampir selalu gagal mengelola konflik. Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konflik akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut. Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas mulai mencul di tahun 2016. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat.Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik untuk memicu konflik yang menyebabkan perpecahan dan pembelahan di internal partai politik. Praktik demokrasi Indonesia yang merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan India menawarkan semacam pendekatan yang berbeda di tengah tantangan ini. Sistem presidensial yang dilakukan di Indonesia memberi ruang pada rekonsiliasi yang signifikan. Kebesaran jiwa pihak yang kalah untuk membantu pihak yang menang dalam kontestasi patut dihargai dan dipandang sebagai gaya khas demokrasi Indonesia yang positif. Karenanya untuk mengantisipasi tantangan dan sistem. demokrasi yang berat menjelang Pemilu 2024 perlu dilakukan sosialisasi dan penyebaran informasi Pemilu 2024 yang lebih masif oleh berbagai pihak, terutama oleh penyelenggara dan pengawas pemilu (KPU dan Banwaslu) serta yang tidak penting Pers, sebagai agen penyebar informasi publik untuk mewujudkan keinginan masyarakat dalam mengawal proses pemilu agar benar-benar berlangsung dengan baik dan menjadi mekanisme transfer kekuasaan yang dapat diandalkan dan menjadi basis legitimasi yang solid. Dengan kerjasama berbagai pihak,terutama untuk suksesnya Pemilu dan Pilkada 2024. Dimana, hal itu merupakan tanggung jawab bersama untuk memperkokoh demikrasi Indonesia. Harapannya Pemilu 2024 dikawal oleh banyak pihak agar setiap tahapan Pemilu menjadi arena konstestasi gagasan-gagasan besar demi kemajuan bangsa dan negara.(***) Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah masi yang solid. Dengan kerjasama berbagai pihak,terutama untuk suksesnya Pemilu dan Pilkada 2024. Dimana, hal itu merupakan tanggung jawab bersama untuk memperkokoh demikrasi Indonesia. Harapannya Pemilu 2024 dikawal oleh banyak pihak agar setiap tahapan Pemilu menjadi arena konstestasi gagasan-gagasan besar demi kemajuan bangsa dan negara.(***) Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN