Sesampainya di pintu, ia di sambut oleh pelayan rumah megah tersebut, wanita tua itu mempersilahkannya menunggu di ruang tamu.
“ Non, tunggu disini dulu ya, soalnya tuan besar datang, jadi mereka sedang rapat.” Ujar sang pelayan itu meminta Vania untuk sabar, karena Tuan Besarnya sedang datang dan mereka tengah berkumpul di ruang kerja beserta beberapa orang,
Vania tersenyum dan mengangguk, ia dengan sabar menunggu, walau jauh di lubuk hatinya resah dan gelisah.
Jantungnya berpacu sangat cepat, karena ia sebenarnya hanya sekali datang kesini, Keringat dingin mengalir deras membasahi tubuhnya, bak pelari 10 Kilometer,
Ternyata, ruangan ber Ac tidak mampu menghalangi keringat nya tuk keluar membakar kalori di tubuhnya.
15 Menit berlalu, dan akhirnya salah seorang memanggilnya menuju ke ruangan kerja dimana Boss mereka berada.
Seorang pria yang di duga boss mereka, saat ini tengah duduk membelakangi meja seraya memainkan Pulpen di jarinya dengan lihai bak permainan sulap.
Terlihat ia memejamkan mata dan mendengus kesal, karena kedatangan tamu yang tidak di undang dan mengganggu mereka yang tengah mengatur strategi, dalam memajukan bisnis.
Vania memasuki ruangan dengan gemetar, setelah Vania memasuki ruangan, sang boss mengibaskan tangannya keatas menandakan yang tidak berkepentingan untuk keluar ruangan kantor, seolah sudah mengetahui maksud sang boss, mereka berjalan keluar, meninggalkan ruangan, hanya tersisa sang Boss dan 1 orang lainnya, dia lah yang Vania kenal, ya pria ini adalah donaturnya.
Donatur alias sang pemberi pinjaman yang waktu itu memberinya pinjaman,dan menyelamatkannya bak dewa.
Dengan wajah menunduk dan gemetar karena ketakutan, walau kawatir akan gagal menguasai hatinya, tapi sekali lagi demi sang buah hati, ia memberanikan diri menyapa pria - pria yang ada di ruangan itu.
" Selamat malam tuan...maaf mengganggu tuan, Ssa...sa...ya maaaa...”
PLAAAAAK.!!
Belum sempat Vania melanjutkan kalimatnya, pria yang telah memberinya pinjaman itu menamparnya dengan keras seraya berkata
"Siapa yang menyuruhmu, sehingga kau dengan gagah berani mendatangi rumah ini? Kau tau perjanjian kita di awal? tidak akan pernah datang ke tempat ini, kecuali kau mau melunasi hutang itu.! Atau jangan - jangan kau datang untuk melunasi hutangmu..”
Darah segar mengalir dari bibir Vania yang telah dengan sengaja ia olesi lipstick hasil dandanya agar terlihat fresh.
" Maaf tuan, ampuni sayaaa tuaan..saya mohon....beri saya waktu melunasinya, sampai saya dapat mengover kreditkan rumah saya..."
Vania memohon sambil berlutut di hadapan dua pria itu.
Tapi ternyata, berlututnya Vania, tak lantas membuatnya mendapat perlakuan baik, ia justru mendapat bonus tendsngan tepat di perutnya, dari sang pria yang menamparnya tadi.
Vania meringis, menahan sakit yang saat ini ia rasakan, tak hanya hatinya tapi tubuhnya sakit akibat tendangan pria itu.
" Siapa kau prempuan jalaaanggg..! Beraninya kau melakukan negoisasi denganku? mau ku kuliti anakmu sekarang juga, Hahh.!! “
Hardik pria berbadan tinggi besar itu tanpa ampun.
Vania yang tersungkur ke lantai, akibat tendangan pria itu, perlahan bangun dan beranjak, dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Ia memang berusaha untuk kuat, tapi ia adalah seorang wanita yang akan jatuh mentalnya ketika mendapat perlakuan kasar dari pria, teringat akan perlakuan kasar dari mantan suaminya.
" Saya mohon, kasihani saya tuan, anak saya tidak berdosa dan tidak terlibat dengan perjanjian antara saya dan tuan, Kalau tuan mau, tuan boleh mengambil ginjal saya satu, tapi jangan sakiti anak saya tuan, dia masih kecil, tidak tahu apa - apa, saya mohonnnn....."
Isak tangis Vania semakin menjadi, karena ia takut puterinya akan celaka akibat kekurangannya sebagai orang tua, dan Pria itu hendak menjambak rambut Vania, tetapi terhenti karena suara tepukan tangan sosok pria dari balik Kursi yang membelakangi mereka.
Pria itu perlahan memutar kursinya lalu menghadap ke arah Vania yang sudah berurai air mata dengan darah yang masih mengalir di bibirnya.
" Ini, wanita titipan itu dam?? "
Ujar pria tampan itu kepada lelaki tinggi besar yang sudah memindahkan posisi tangannya dari rambut vania ke sikap tegap bak prajurit.
" Iya boss, seperti yang saya bilang kemarin detailnya Boss..!!! "
Sang boss menatap Vania lalu tertawa terkekeh - kekeh lalu memberi isyarat ke anak buahnya untuk meninggalkan ruang kerjanya.
Adam sang anak buah pun mengikuti perintah sang boss, sembari menunduk hormat lalu meninggalkan ruangan itu.
" Saya beri kamu pilihan, mau mati berdua sekarang bersama anakmu, atau lunasi hutangmu dalam waktu 24 Jam dari sekarang, karena kau telah berani mengganggu waktu rapatku?? "
Suara pria itu berbeda dengan wajahnya, wajahnya terlihat sangat tampan dan ramah, tetapi siapa sangka suaranya dingin sedingin musim salju di gunung es.
Vania tersentak mendengar suara dingin nan menyeramkan itu, tubuhnya semakin lemas, ia tak punya cukup nyali untuk mengajak pria di hadapannya nego.
Entah mengapa, tubuhnya seketika seperti tak memiliki tenaga sedikitpun, mendengar kata demi kata yang terdengar pelan tapi sangat menakutkan.
Siapa yang tidak akan takut, jika nyawa puterinya menjadi jaminan.
" Jangan diam saja, kamu pikir kata kata saya hanya lelucon???"
Ujar pria yang sudah berdiri di hadapannya dan mengangkat tubuh vania untuk berdiri sejajar dengannya.
Lalu ia mengangkat dagu Vania, dan memperhatikan darah segar yang mengalir di sudut bibir wanita itu, dengan senyum miring.
Vania yang memahami situasi mengerikan itu tak berani sedikitpun menatap sang pria di hadapannya, dengan suara bergetar ia menjawab
" Tiii...tidak Tuan..sssa..ya tii... "
Belum selesai ia mengucapkan kalimatnya, bibirnya telah di bungkam dengan bibir pria di hadapannya itu, dan pria itu memelukknya erat ,dengan seringai di wajahnya, tanpa basa - basi pria itu membuka baju yang telah di kenakan Vania dengan kasar lalu meremas payudaranya dengan sangat brutal, Vania meronta - ronta sekuat tenaga, ia lupa bahwa nyawa puterinya berada di tangan pria ini, ia dengan sekuat tenaga mendorong pria itu lalu meludah tepat kewajah pria tampan yang mencoba melakukan pelecehan s****l terhadapnya.
" Maaf tuan, seperti yang tuan janjikan, saya memilih pilihan kedua, saya akan bayar lunas hutang saya dalam waktu 24 jam, jadi tunggu saja kehadiran saya dalam waktu 24 jam dari sekarang...”
Ujar Vania sembari menghempaskan tangan pria yang terlihat menahan amarah dengan wajah yang merah padam, sembari mengelap air ludah yang mengenai wajah tampannya.
Vania tak lagi menghiraukan bagaimana nasibnya, jika tak mendapat uang untuk membayar hutang dalam waktu 24 jam, yang ia inginkan saat ini adalah berlari sekencang - kencangnya, keluar dari ruangan yang menakutkan itu, Ia tak memperdulikan baju yang sudah tak berkancing,
Ketika pintu terbuka, sang penjaga hendak menangkap Vania, tetapi sang boss melarangnya, dengan memberi isyarat, agar membiatkan Vania pergi, mereka hanya mengangguk patuh atas perintah bossnya.
Vania sembari memegangi bajunya dengan sekuat tenaga, ia menangis berlari keluar gerbang menuju jalan raya dan terus berlari sampai, tak terasa bahwa sepatunya sudah lepas satu dari kakinya, ia berlari sambil menangis dan tanpa menghiraukan bahwa kakinya yang telah berdarah.
Setelah lelah berlari, ia berhenti di sebuah Halte yang kosong malm itu.
Vania duduk dan menangis tersedu sedu seraya memperbaiki Baju dan rambutnya yang acak acakan.
" Yaa TUHAN..!
KENAPA BERAT SEKALI UJIANMU..! Tidak sudikah engkau memberiku sedikit saja cahayamu, berilah aku keajaiban, berilah aku jalan keluar atas permasalahanku, jangan sampai anakku menjadi korban atas kekejaman dunia...”
Jerit Vania dalam hatinya, mulutnya terkatup rapat, tapi air matanya semakin deras saja mengalir membasahi pipi mulusnya.
hatinya sakit seperti tertusuk jutaan duri tajam dan beracun, sakit dan sesak, ia mengingat akan perlakuan pria tadi yang dengan brutal hendak memperkosanya, ia merasa dirinya hina, ia merasa dirinya kotor, Ia menyesali kebodohannya mendatangi rumah itu, berharap akan ada solusi berharap mereka mau menerima ginjalnya.
Sungguh ia sangat menyesali hingga tanpa sadar ia telah menangis meraung di halte di malam nan gelap dan dingin itu, bagaimana mungkin seorang mafia mau memberikan kelonggaran, tapi yang ia sesalkan mengapa tiba - tiba mafia itu menagih hutangnya, tak seperti cerita yang ia dengar bahwa mafia ini termasuk yang paling baik diantara yang lain, dengan bunga yang lumayan rendah dan persyaratan mudah tanpa membutuhkan agunan seperti di perbankan.
Siapa sangka semua berantakan seperti ini.
Disaat ia sedang menghiba, tiba - tiba ada Sebuah mobil mewah berhenti di halte tempatnya berhenti.
Menyadari ada yang datang, Vania menghentikan tangisnya, lalu ia mengelap air matanya dengan cepat, ia tak ingin orang lain melihat air matanya.