Ia Pun Mendengar

1274 Words
Namanya Leandra Putri Abimana. Seorang wanita karir yang terbilang sukses. Ia bekerja di balaidesa, sebagai salah satu pamong. Diangkat sebagai pegawai negeri saat usianya masih dua puluh lima tahun. Sekarang ia sudah mencapai golongan tiga, karena dedikasinya yang tinggi. Leandra hidup dalam keluarga yang bahagia. Orangtuanya bukan orang kaya. Namun ia sekeluarga hidup sederhana dengan damai. Leandra adalah putri tunggal. Ia adalah harapan satu - satunya dalam keluarga. Sayang, Leandra kurang beruntung dalam satu hal. Nasib percintaannya, belum pernah mujur. Bisa dibilang, Leandra telah menyia - nyiakan kehidupan mudanya demi karir. Alhasil, sekarang ia menyesal. Materi ia dapat, namun jodoh tak kunjung datang. Padahal usia Leandra sekarang sudah lebih dari kata matang. Bisa - bisa ia sulit memiliki keturunan nanti, karena tingkat kesuburannya pasti akan menurun seiring dengan berjalannya waktu. Leandra jarang memperlihatkan kesedihannya akan status single yang masih setia ia pegang. Ia berusaha terlihat baik - baik saja. Meskipun sebenarnya tidak sama sekali. "Nduk, Mas Hanung udah hubungin kamu lagi?" tanya Ibu pelan. Seketika Leandra meletakkan sendok dan garpunya pada piring yang masih terisi cukup banyak makanan. Leandra terdiam cukup lama. Kemudian menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman palsu. "Belum, Bu. Mungkin Mas Hanung masih repot," jawabnya. Bapak menunduk mendengar jawaban putri semata wayangnya. Bapak juga menghentikan aktivitas sarapannya, sama seperti Leandra. Ia merasa sedih dan merasa bersalah atas nasib malang putrinya. Saat sebagian besar dari wanita seusianya sudah menggendong anak, Leandra masih saja belum menikah. Hanung adalah lelaki yang datang untuk bertaaruf dengan Leandra beberapa hari yang lalu. Entah ia lelaki yang ke berapa. Karena sejauh ini sudah cukup banyak. Namun tanpa sebab yang jelas, mereka selalu enggan melanjutkan hubungan dengan Leandra. Padahal wanita itu terbilang cantik dan memiliki tubuh yang proporsional. Ia juga memiliki sifat yang baik dan berbakti pada orang tua. Selain dua sisi positif itu, Leandra juga cukup religius. Ia tak pernah meninggakan sholat lima waktu. Bahkan semenjak setahun yang lalu, ia sudah mulai menutup aurat sepenuhnya. Leandra memang terlihat baik - baik saja. Namun, Bapak dan Ibu sangat tahu apa yang sesungguhnya dirasakan olehnya. Dan mereka juga tahu, bahwa Hanung belum menghubungi bukan karena sibuk, melainkan karena ... seperti yang sudah - sudah. Lelaki itu juga enggan melanjutkan hubungan dengan Leandra. "Pak, Buk, Lele berangkat dulu, ya. Sudah mepet jam masuk, nanti dimarahin Pak Lurah." Leandra mencium tangan orang tuanya bergantian. "Iya, Nduk. Hati - hati, ya!" "Iya. Assalamualaikum.". "Waalaikum salam." *** Ayla merah milik Leandra terparkir di antara jajaran kendaraan perangkat desa lain di area parkir balai desa. Wanita itu berjalan anggun menuju ruangan para perangkat desa. Setelah mengucap salam, ia disambut riuh oleh godaan - godaan ala bapak - bapak dari para perangkat. Leandra memang satu - satunya pamong wanita di sini. Dan ia terhitung memiliki usia termuda. Maka itulah, pamong yang lain sangat menyayanginya. Leandra sudah dianggap seperti anak sendiri. Apalagi Leandra sangat cerdas. Sering membantu urusan yang tak bisa dikerjaan para pamong gagap teknologi macam mereka. Leandra lebih melek teknologi, dan selalu punya cara menyelesaikan pekerjaan dengan lebih efisien dan efektif. "Gimana si Hanung, Le?" tanya Pak Lurah. Leandra hanya melempar sebuah senyuman. Ia meletakkan tas di atas meja. Mulai berkutat dengan komputer untuk mengetik surat keterangan miskin yang diminta oleh salah satu warga, untuk mengajukan beasiswa ke sekolah. Para perangkat sudah bisa mengartikan ada apa gerangan di balik senyuman penuh luka milik wanita itu. "Nggak apa - apa, Le. Sabar dulu. Insyaa Allah, Allah akan ngasih kamu yang terbaik!" nasihat salah satu pamong. Lagi - lagi Leandra hanya tersenyum. Kata - kata menenangkan seperti itu, mereka lontarkan dengan maksud baik. Sebagai dukungan moril pada Leandra yang malang. Namun ada kalanya, kata - kata seperti itu justru berfungsi sebaliknya. Justru membuat d**a semakin sesak. Juga membuat hati semakin resah. Ingin rasanya Leandra menangis sekarang juga. Setiap hari ia tak pernah lelah memohon untuk dipertemukan dengan jodohnya. Namun sepertinya, saat ini memang belum waktunya ia menikah. Leandra berusaha yakin bahwa Tuhan memiliki rencana yang lebih indah. Sayang, ada kalahnya manusia mengalami fase terpuruk. Di mana dalam keterpurukan itu, manusia ingin melampiaskan segala kekesalan dan ganjalan di hati dengan cara meluapkan semuanya secara gamblang. Ada kalanya manusia berprasangka buruk pada Tuhan. Meski pun mereka tahu secara pasti, bahwa itu adalah perbuatan yang salah total. Karena di saat bersamaan manusia juga tahu persis, bahwa Tuhan adalah sang maha pembuat rencana. Apa punbyang sudah ia rancang, pasti akan indah pada waktunya. Sayangnya, saat diterpa musibah, pemikiran seperti itu akan langsung hilang dari otak. Didominasi oleh pikiran - pikiran beraura negatif. Yang memancing untuk terus - menerus mencela rencana Tuhan itu. *** Leandra benar - benar melakukannya. Ia tak tahan lagi. Ia sudah menelepon Banyu, sahabatnya sejak masih kecil. Banyu adalah satu - satunya orang yang membuat Leandra merasa leluasa untuk berbagi segala hal. Di hadapan Banyu, Leandra bisa mengungkapkan segalanya yang selalu ia tutupi dari semua orang. Leandra bisa benar - benar menjadi manusiawi saat bersama dengan Banyu. Terlebih, saat ini Banyu berprofesi sebagai bapak rumah tangga, yang sangat piawai dalam menjaga ketiga anaknya di rumah. Istrinya bekerja di Taiwan, menjadi TKW. Leandra pun bisa mengajak Banyu keluar dengan lebih leluasa. Tanpa takut dicemburui oleh istri Banyu seperti dulu. Padahal Leandra dan Banyu tidak ada apa - apa. Leandra tak mungkin memiliki rasa khusus pada Banyu. Mereka sudah seperti saudara. Apalagi lelaki itu sudah menikah. Leandra menunggu Banyu dalam diam, di bawa pohon sawo manila, yang berada di SDN Rembang II. SD ini adalah tempat Leandra dan Banyu bersekolah dulu. Letaknya tepat di belakang balaidesa. Makanya Leandra bisa menyelinap ke sini dengan mudah. Sekarang sudah sore. Makanya sekolah sangat sepi. Dulu di lapangan sering digunakan anak - anak sekitar sini untuk bermain bola. Tapi sekarang tidak lagi. Karena anak-anak zaman sekarang lebih senang berkutat dengan handphone masing - masing. Lagi - lagi Leandra menatap ke gerbang, mengantisipasi kedatangan Banyu. Wanita itu sangat lega, ketika melihat Banyu datang dengan vespa tua -- warisan dari mertuanya. Suara keras khas motor vespa segera merajai suasana. Banyu mematikan mesin saat sudah sampai di bawah pohon sawo manila. Ia segera menghampiri sahabatnya, duduk di sebelahnya. Banyu sudah hapal dengan gelagat Leandra. Makanya ia hanya diam, menunggu sampai Leandra siap untuk bercerita. Bukannya bercerita, Leandra justru menangis keras seperti bayi minta s**u. Banyu jadi takut, jangan - jangan wanita ini sedang kesurupan hantu pohon sawo manila. Tapi sepertinya tidak. Karena ... ya memang begini adanya Leandra. Leandra yang sesungguhnya. "Gardner yang lahir di Mars aja, langsung dapet jodoh begitu dia sampai di Bumi. Terus kenapa gue yang dari lahir tinggal di sini, belum dapet jodoh juga sampai sekarang?" Leandra menangis sesenggukan seakan melupakan fakta bahwa tahun ini ia genap berusia tiga puluh dua tahun. "Sabar, Le, sabar!" Banyu mengelus pundak sahabatnya. "Ngomong - ngomong Gardner itu siapa? Emang ada orang yang lahir di Mars?" Leandra menggeleng. "Gardner itu tokoh dalam film 'The Space Between Us'. Gue baper nontonnya." "Ya Allah, gue kira beneran! Inget umur dong lo! Udah tua, ya kali mau baperin film terus - terusan?" "Ya makanya itu, Nyu. Gue udah tua. Dan belum dapet jodoh. Lo aja yang laki - laki -- seumuran sama gue -- sekarang udah punya buntut tiga. Sementara gue? Gue perempuan. Gue seorang perawan tua! Kapan jodoh gue dateng, Nyu? Kapan?" Banyu bingung harus menjawab apa lagi. Ia begitu prihatin dengan nasib Leandra. Namun juga tak tahu harus bagaimana. Ia juga tak tahu kapan jodoh sahabatnya ini akan datang. Karena itu adalah rahasia Tuhan. Banyu tak bisa apa - apa lagi, selain merangkul pundak sahabatnya. Memberinya dukungan moril. Berusaha menguatkannya. Baik Leandra ataupun Banyu sama - sama tidak tahu, bahwa ada sosok lain yang sedari tadi ikut mendengarkan curahan hati si Wanita, dari atas pohon, tempat mereka berteduh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD