PROLOG

556 Words
Amy berlari cepat melintasi sebuah terowongan kubah yang gelap, panjang nan kotor. Seluruh dindingnya sudah retak, sebagian berlumut serta ditumbuhi rumput liar. Tak ada pilihan lain, tak ada tujuan lain, selain lurus ke depan. Entah mengapa ia yakin bahwa di ujung terowongan ini adalah tempat yang aman. Dia merasa tak pernah kemari sebelumnya, tapi tak mampu mengingat itu. Kakinya seolah sudah tahu kemana harus berlari saat situasi genting. Tolong, teriaknya dalam hati. Saking paniknya, ia tak mampu mengeluarkan suara dari kerongkongan. Hari semakin gelap. Dia berulang kali menoleh ke belakang, memastikan sesuatu. Paras cantiknya mulai dibasahi oleh bulir keringat. Kedua mata hijaunya diliputi kecemasan tinggi, diperparah dengan alur napas memburu, serta kondisi jantung terlalu keras memompa. Takut. Dia ketakutan. Dimanakah mereka? Mengapa tak ada siapapun? Apakah sudah menyerah?, sederet pertanyaan memenuhi kepalanya. Tiba-tiba seseorang muncul di ujung terowongan. Langkah Amy terhenti seketika. Karena terlalu panik, dia mendapat serangan sesak napas. Dia tak ingat kapan terakhir sesak napas itu terjadi, karena memang harusnya sudah sembuh. Namun kini dadanya makin berat ketika satu per satu pria hadir di ujung terowongan. Lima orang. Kini jumlah mereka lima orang. Ia berbalik—ingin berlari, tapi lututnya lemas, lalu ambruk. Batinnya terus mempertanyakan, siapa mereka? Kenapa ingin menculikku? Tangan ramping wanita ini mengelus d**a, menenangkan diri, tapi tak sanggup. Keinginan hati tak mendukung kondisi raga rapuhnya. Tarikan napas kian memendek, oksigen tak lagi masuk ke pembuluh otak, penglihatan pun membayang. Satu-satunya yang mampu ia lontarkan hanya satu kata, “tolong ...” itupun terdengar lirih hingga tak mungkin didengar oleh orang biasa, kecuali dia— Tahu-tahu dia ada di belakang para penjahat. Dia, sosok itu, seorang pria lain, bermantel biru cerah—sangat cerah hingga membuatnya mencolok di tempat temaram begini. “SIAPA KAU!” teriakan salah seorang pria bertopeng hitam sembari mengeluarkan sepucuk s*****a api. Temannya menyahut, “demi Tuhan, dia aneh, Ty, lihat atas kepalanya! Tembak-tembak!” Bunyi letusan terdengar berkali-kali. Mereka menembaki pria bermantel biru itu, namun anehnya terjadi sesuatu yang di luar dugaan—seluruh peluru berhenti di hadapan pria itu, lalu malah berbalik menembus ke tubuh penembaknya. Jerit rasa sakit pun terdengar ngilu di telinga Amy. Wanita ini masih sesak napas hingga matanya tak lagi awas. Meskipun demikian, dia masih bisa melihat kejadian tak masuk akal barusan. Mengapa tembakan mereka berbalik pada diri mereka sendiri? Siapa pria itu? Semua penembak jatuh tersungkur di atas tanah, mati satu per satu, akibat peluru mereka sendiri. Darah mulai merembes keluar baju mereka, membasahi jalanan beraspal rusak. Sementara pria bermantel biru itu tak melakukan apapun, bahkan kedua tangannya masih di dalam saku. Dia sungguh mengalahkan mereka tanpa menyentuh. Ia melompati tubuh para penjahat, lalu berjalan cepat menuju Amy. “Sia—pa—” Amy tak bisa menahan lebih lama lagi. Kesadaran sudah di ujung batas, kelopak terlalu berat untuk dibuka, kepala terlalu sakit. Oksigen, oksigen, pintanya dalam hati. “Kudengar kau meminta tolong,” kata pria asing itu seraya berjongkok untuk memeriksa keadaan Amy. “Kau pucat sekali, Amy, kelihatannya sesak napasmu kambuh lagi.” Siapa—kau? Kenapa kau mengenalku?, tanya Amy dalam hati. Sorot matanya agak sulit menangkap rupa pria ini, terlebih di dalam terowongan ini cahayanya makin hilang. Sekilas dia yakin kalau di atas kepala pria ini ada dua tanduk runcing kecil dengan warna senada dengan surai lembutnya yaitu hitam kelam. Bentuk bagian tubuh tak wajar itu tak terlalu besar, malahan imut mirip milik domba. “Rusa?” sebut wanita ini sebelum akhirnya pingsan di tangan pria aneh ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD